Wibawa negara dan aparatnya sedang dipertaruhkan hari-hari ini. Ini menyusul rencana Deklarasi Aliansi Nasional Anti-Syiah di Bandung, Jawa Barat, pada hari Minggu (20/4). Acara yang digagas oleh Forum Ulama Umat Islam Indonesia (FUUI) itu bahkan disebut-sebut mengundang Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan.
Mengapa peristiwa ini menjadi pertaruhan wibawa negara? Jika menyelisik judul kegiatan itu saja, kata “anti” sudah terang-benderang menunjukkan sikap melawan dan memusuhi golongan Syiah, salah satu kelompok minoritas di Indonesia. Apalagi, acara itu dikemas dalam bentuk deklarasi yang bersifat mengajak dan mengerahkan massa.
Bahkan, panitia deklarasi menyatakan, gerakan ini bersifat masif dan masuk ke masjid-masjid di seluruh Indonesia. Tujuannya adalah membentuk aliansi anti-Syiah di berbagai daerah. Padahal, selama ini saja, sudah banyak perlakukan intoleran pada kelompok Syiah. Misalnya, pembakaran rumah Muslim Syiah di Sampang akhir Desember 2011 lalu yang membuat mereka jadi pengungsi. Tahun lalu, pada pertengahan November, kegiatan jemaah Syiah di Jawa Barat yakni Asyura, untuk memperingati terbunuhnya cucu Nabi Muhammad, Imam Husein, juga dibatalkan.
Kita berpendapat, negara tidak boleh diam dalam menyikapi deklarasi ini. Kalau perlu, Presiden harus turun tangan sendiri. Jika negara bergeming dan mengganggap angin lalu rencana itu, kelak akan menjadi preseden buruk negeri ini. Sikap intoleran dan diskriminasi kelak akan dianggap lumrah alias lazim oleh masyarakat kita. Mungkin kelak akan muncul deklarasi serupa seperti anti-Kristen, anti-Ahmadiyah, atau “anti-anti” lainnya yang berbau suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Karenanya kita mendesak negara melalui aparatnya menolak dan membatalkan kegiatan tersebut. Pejabat negara yang diundang, seperti Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, semestinya menyatakan menolak hadir. Sebab, sebagai pejabat ia harus mengayomi dan memberikan rasa aman bagi seluruh warganya, tak pandang agama dan golongan.
Sementara, terkait perbedaan pandangan agama, negara melalui aparatnya seharusnya menjadi “lokomotif” pendorong upaya dialog antara golongan Syiah dan penentangnya. Alih-alih mencari perbedaan, sebaiknya diupayakan mencari persamaan. Sebab, jika mau jujur, di kalangan internal kedua kelompok itu pun pasti ada perbedaan pandangan soal ajaran agamanya.
Kita meyakini, jika negara melalui aparatnya bisa seperti itu, tidak akan ada pertentangan dalam kehidupan antarumat beragama. Negara pun mempunyai wibawa yang kuat di mata masyarakat karena bersikap tegas dalam menjaga kebebasan beragama warganya seperti amanat konstitusi.
Pertanyaannya, beranikah Presiden mencegahnya?
Sumber: http://portalkbr.com/opini/editorial/3214021_4307.html