
Solo — Persekutuan antara masyarakat Tionghoa dan Jawa selama ini sering dipinggirkan dari sejarah. Padahal, realitas koalisi masyarakat Tionghoa dengan Jawa menjadi kekuatan ampuh melawan penjajah pada abad 18, tepatnya era Kerajaan Mataram Kartasura.
Persekutuan Tionghoa dan Jawa yang tidak banyak terungkap itulah yang coba ditampilkan dalam Buku Geger Pacinan karya RM Daradjadi, seorang sejarawan otodidak yang juga Pembina Yayasan Suryosumirat, Mangkunegaran.
Buku tersebut dibedah di Balai Soedjatmoko, Minggu (15/12). Hadir dalam bedah buku itu, dua sejarawan yakni Andreas Susanto dan Didi Kwartanadi. Selain itu dalam bedah buku yang dimoderatori sejarawan muda Heri Priyatmoko itu, hadir pula penulis buku Geger Pacinan, RM Daradjadi.
Geger Pacinan, 1740-1743, berawal dari pembantaian masyarakat Tionghoa oleh VOC yang menelan korban 10.000 orang pada 1740. Jumlah korban yang sangat fantastis kala itu mengingat populasi warga Tionghoa saat itu berjumlah 15.000 orang. Terjadinya pembantaian itu kemudian membuat reaksi dan gejolak komunitas Tionghoa di luar Batavia yang saat itu tersebar di sepanjang Pulau Jawa.
Adalah Khe Pan Chiang, yang kemudian orang Jawa memanggilnya Khe Panjang, yang memimpin pasukan Tionghoa dari Batavia hingga ke Jawa Tengah. Di sepanjang perjalannya dari Batavia, Khe Panjang mendapat dukungan komunitas-komunitas Tionghoa dalam menggelorakan perlawanan terhadap VOC.
Perjuangan Khe Panjang ini kemudian disambut Raja Kerajaan Mataram Kartasura waktu itu yakni Paku Buwana II (PB II). Koalisi warga Tionghoa yang dengan masyarakat Jawa yang direpresentaskan PB II itu terbukti mampu menghancurkan benteng VOC di Semarang.
Namun, saat VOC mendatangkan pasukan tambahan dari Sulawesi Selatan, PB II kemudian merasa tidak yakin menang dan berbalik mendukung VOC. Kecewa dengan sikap PB II, laskar Tionghoa kemudian mengangkat Raden Mas Garendi, cucu Amangkurat III, menjadi Sunan Mataram dengan gelar Sunan Kuning.
Dari pelariannya di Ponorogo, PB II dengan bantuan VOC kemudian menyerang Sunan Kuning yang sudah bertahta di Kerajaan Kartasura. Atas serangan tersebut, Sunan Kuning akhirnya kalah dan hanya bertahta selama 6 bulan. Kemudian PB II kembali ke Kartasura dan memindahkan kerajaannya ke Surakarta yang saat ini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta.
Meski kalah, laskar Tionghoa ternyata tidak menyerah. Dari penelusuran Daradjadi dibukunya itu, ditemukan banyak kelenteng di sepanjang Jawa Tengah yang berkaitan dengan laskar Khe Panjang. Diantaranya kelenteng Cu Hwie Kong di Rembang, kelenteng Tay Kak Sie di Semarang serta Kelenteng Tek Hay Kiong di Tegal.
Ditemui Timlo.net, usai bedah buku, Daradjadi mengatakan melalui buku tersebut, dirinya ingin menyampaikan pesan bahwa warga Tionghoa dan Jawa memiliki sejarah kebersamaan.
“Sejarah kebersamaan inilah yang harus kita pelihara,” ujarnya.
Sementara, Sejarawan Didi Kwartanadi mengungkapkan dalam sejarah nasional, koalisi antara Tionghoa dengan Jawa nyaris tidak pernah ditampilkan. Apa yang disampaikan Daradjadi dalam bukunya diharapkan dapat menjadi penyusunan sejarah nasional di kemudian hari.
Foto: Timlo.net by Daryono: Bedah Buku “Geger Pacinan”