Perawakannya kecil. Banyak orang tidak akan menyangka sosok yang tenang ini sudah ‘melangkahi’ banyak proses dehumanisasi yang telah dilakukan negaranya.
Eunju Kim, perempuan penyintas dari Korea Utara. Ia lahir di Eundeok, Propinsi Hamkyeong Utara. Sedari kecil, bersama ibunya, Eunju Kim ditahan oleh rezim totalitarian Korea Utara. Ia berhasil melarikan diri dari Korea Utara pada tahun 1999, 2002, dan masuk ke Korea Selatan pada tahun 2006.
Eunju Kim, bersama dengan Jae Wom (Profesor Seoul University), Gina Park (Kedutaan Republik Korea Selatan) dan Sohee Kim (Citizen’s Alliance for North Korean Human Rights/ NKHR) pernah berkunjung ke Komnas Perempuan (30/04/2014). Citizen’s Alliance for North Korean Human Rights sudah dua kali mengajak perempuan penyintas. Sebelum Eunju Kim, lembaga ini juga menghadirkan Hye Sook Kim, yang berhasil melarikan diri dari kamp tahanan Gwalliso. Saat datang ke Komnas Perempuan, ibu tersebut membawa peta Gwalliso berukuran besar yang menunjukkan kamp di mana dia pernah ditahan.
Kedua perempuan penyintas ini ditahan dalam usia dan kondisi yang berbeda. Selanjutnya Eunju Kim, perempuan berusia muda ini, kini tengah dipersiapkan untuk menjadi aktivis HAM.
Keluarga Buruh Pabrik Senjata
Sebanyak 80% pengungsi yang berhasil keluar dari kamp tersebut adalah perempuan karena di Korea Utara laki-laki hanya diwajibkan untuk bekerja, seperti pabrik-pabrik dan basis-basis militer.
Eunju Kim berbeda dengan Hye Sook Kim, yang dimasukkan ke dalam kamp Gwalliso. Dia dilahirkan pada musim panas 1986, di desa Eundok (Aoji) Korea Utara, dari ayahnya yang merupakan seorang buruh di pabrik senjata. Ibunya bekerja pada sebuah kantin rumah sakit milik pertambangan batu bara. Kim merupakan anak perempuan kedua dari keluarga kecil yang mendapat subsidi dari pemerintah Korea Utara. Masa kecilnya bersama keluarga yang indah, seperti mendaki gunung bersama ayahnya, mendadak sirna tak lama semenjak dia mulai memasuki sekolah dasar.
Pada tahun 1990-an, Korea Utara mulai mengalami krisis pangan, warga mengalami kelaparan akibat kekurangan distribusi pangan oleh negara. Belum lagi rezim totalitarianisme yang tidak mengijinkan warganya untuk bebas mengolah hasil bumi dan ekonomi. Alhasil, keluarga Eunju Kim pun mengalami kelaparan. Seringkali saat pulang sekolah, dia terjatuh pingsan karena kekurangan darah, gizi dan tak mampu berobat. Kelaparan yang terjadi turut membuat keluarganya semakin miskin terutama setelah ayahnya meninggal pada tanggal 10 November 1997. Sebelumnya dia juga sudah kehilangan kakek dan neneknya.
“Saat saya masih kecil, ayah saya meninggal karena kelaparan bukan karena penyakit tapi karena lamanya masa kelaparan,” katanya. Rezim Korea Utara juga memberitakan kelaparan tersebut disebabkan karena panen gagal dan dengan alasan adanya mata-mata dari Korea Selatan atau Amerika Serikat yang memberikan bibit yang membuat panennya gagal. Menurut Eunju Kim, hal ini disebabkan karena,”Warga Korea Utara sejak kecil mendapat pendidikan yang tertutup dengan dunia luar dan mendapatkan pendidikan hanya dari yang punya kekuasaan seolah-olah mereka itu seperti Tuhan.” Sehingga banyak orang Korea Utara percaya mengenai masalah kelaparan dengan alasan yang telah dinyatakan oleh pemerintah, bahkan ketika berhasil melarikan diri ke Cina pun mereka belum memikirkan mengapa kelaparan itu terjadi? Setiba di Cina mereka harus survival dulu. Saat masuk ke Korea Selatan barulah mereka bisa melihat dunia luar secara lebih obyektif. Sampai saat ini Eunju Kim masih merasa kasihan kepada warga Korea Utara karena mereka mengalami kelaparan dan tanpa mengetahui apa sebabnya? Apa yang salah? Dan sampai meninggal pun mereka tidak mendapatkan ruang untuk memikirkan dan bertanya tentang hal itu.
Setelah krisis pangan di Korea Utara semakin parah, maka rezim pun mengubah kebijakan dengan memperlakukan hukuman tembak mati di tempat-tempat umum. Rezim khawatir kalau krisis pangan ini akan menimbulkan kerusuhan di masyarakat. “Dahulu memang pernah ada namun setelah bencana kelaparan hukuman tembak mati semakin sering dan dilakukan di tempat umum terbuka,” kata Kim. Yang paling mengkhawatirkan adalah anak-anak dibawah umur 10 tahun pun diwajibkan menyaksikan hukuman tembak mati tersebut. Hukuman tembak mati ini dipertontonkan kepada seluruh masyarakat agar masyarakat hidup dalam teror dan ketakutan.
Surat Wasiat
Kondisi inilah yang akhirnya membuat dia menulis surat wasiat. Di dalam surat wasiatnya ketika masih berusia 11 tahun, dia menuliskan,”Kematian adalah hal yang sering dijumpai dan sudah biasa. Bagi saya yang sejak umur 9 tahun sering menyaksikan eksekusi terbuka, kematian anak-anak di jalan, dan kematian tetangga sanak saudara, kematian tidak lagi menakutkan. Tinggal menunggu giliran. Akhirnya saya menulis surat wasiat pada umur 11 tahun.” Dia menulis wasiatnya dengan sebuah pensil dan tangan yang “membiru”, ketika menunggu ibunya pulang ke rumah namun tak kunjung membawa makanan.
Tahun 1999, ibunya memutuskan untuk menyeberangi sungai Duman bersama kedua anak perempuannya keluar dari Korea Utara. Menyeberangi sungai, melepaskan diri dari kelaparan adalah pilihan meski dicap sebagai “pengkhianat negara”. Sesampainya di Cina ternyata banyak pengungsi Korea Utara yang ditindas. Lelakinya menjadi tenaga kerja paksa, sedangkan perempuannya menjadi korban perdagangan manusia. Ibunya pun masuk dalam jeratan perdagangan manusia sampai akhirnya Eunju Kim pun memiliki seorang adik laki-laki. Setahun setelah adiknya lahir, mereka bertiga tertangkap dan dideportasi kembali ke Korea Utara oleh polisi Cina. Hanya 2 bulan ditahan di Korea Utara, keluarga kecil ini kembali melarikan diri. Pelarian ini disebabkan karena kondisi penjara yang parah sehingga keluarga ini dijemput oleh orang dari desa mereka yang sama. “Orang desa tersebut yang membebaskan kami awalnya dia pun merasa susah untuk membawa kami pulang tanpa biaya dan makanan selama perjalanan,” kisah Eunju Kim.
Keluarga kecil ini kembali berhasil lari ke Cina namun karena kondisi Cina yang belum menjanjikan kebebasan maka tahun 2006 mereka menyeberangi gurun pasir dan sampai di Korea Selatan. Mengenai kisah perjalanan ini, dia menuliskan,”Menempuh perjalanan ke Korea Selatan melalui gurun pasir Gobi tak dapat saya gambarkan begitu saja. Namun saya merasa sangat beruntung karena saya menyaksikan penderitaan pengungsi khususnya perempuan di negara ketiga. Satu perempuan sebaya saya yang melarikan diri ke Cina ketika berumur 17 tahun telah 3 kali diperjualbelikan dan sekarang telah memiliki anak. Ada juga seorang ibu yang tidak tahu nasib anak perempuannya yang berumur 16 tahun, yang telah menjadi korban perdagangan manusia. Seorang laki-laki yang telah mencoba 2 kali melarikan diri dari Korea Utara akhirnya meninggal dunia di Mongolia akibat siksaan di Korea Utara. Di Korea Utara dan Cina, masih banyak yang menunggu bantuan untuk mencari kebebasan yang sesungguhnya.”
Di Korea Selatan, para pengungsi Korea Utara yang telah tinggal dan menetap masih memiliki tantangan tersendiri, ini diakibatkan karena pengungsi masih dianggap “asing” meski bahasanya sama ternyata latar belakang, budaya dan cara pendidikannya sangat berbeda. Sehingga banyak pengungsi, seperti Eunju Kim, mengalami kesulitan untuk beradaptasi di Korea Selatan. Masyarakat Korea Selatan pun masih menganggap para pengungsi ini sebagai beban. Namun bagi Eunju Kim, sekarang dia mendapatkan pendidikan yang selama ini belum pernah didapatkannya selama di Korea Utara dan ketika berulangkali melarikan diri ke Cina.
Saat ini, selain melanjutkan sekolah, yang menurutnya sebuah “kemewahan”, dia aktif mengampanyekan upaya perdamaian di Semenanjung Korea dengan mengikuti serangkaian kegiatan kampanye sosial di berbagai negara termasuk Indonesia. Dengan perlahan dia mengatakan, “Saya bisa melakukan apa pun….. ” Tentunya untuk kemanusiaan yang sejati *)
Redaksi Komnas Perempuan