Oleh: Nurdin Hasan*
PULUHAN pria berseragam hijau tua, lengkap baret bersiaga di Simpang Mesra, Banda Aceh. Sejumlah perempuan, juga berpakaian seragam, terlihat di situ. Setiap sepeda motor yang dikendarai perempuan berpakaian ketat atau lelaki bercelana pendek dihentikan.
Merekalah polisi Wilayatul Hisbah (WH) Aceh atau polisi syariah yang sedang menggelar razia. Razia itu lazim dilancarkan polisi WH, dengan alasan untuk menegakkan Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah dan Syiar Islam. Ada pasal dalam qanun itu mengatur setiap muslim wajib menutup aurat.
Para pengendara sepeda motor yang terjaring diarahkan ke tempat yang telah ditentukan, berbaris. Biasanya, puluhan perempuan terjaring. Di sini, mereka dinasihati dan diminta berjanji tak mengulangi lagi berpakaian ketat. Setelah diceramahi, mereka dilepas. Tak sedikit dari perempuan yang terjaring protes, karena pelaksanaan syariat Islam di Aceh, sejak 2001, seperti terjebak pada masalah pakaian dan korbannya, kaum hawa.
Hari itu, 5 Februari lalu, dua perempuan yang tidak menutup kepala terjaring. Mereka mengaku beragama Kristen. Usai diperiksa dan dinasihati, keduanya dilepas. Biasanya, bila ada perempuan tak mengenakan jilbab terjaring razia, ia dibawa ke kantor WH untuk mendapatkan pembinaan lebih, seperti terjadi pertengahan Juni lalu.
Kepala Seksi Penegakan Pelanggaran WH Aceh, Samsuddin mengatakan non-muslim diharapkan menghormati Aceh yang melaksanakan syariat Islam. Dia mengimbau perempuan non-muslim juga menutup aurat. “Non-muslim yang tinggal di Aceh diminta memakai jilbab untuk menghormati muslim di Aceh,” katanya kepada wartawan usai razia, 5 Februari silam.
Dia juga menyatakan, ke depan qanun tentang syariah akan diberlakukan bagi non-muslim di Aceh. Setelah pernyataan itu diberitakan media massa, pejabat Aceh berusaha mengklarifikasikan bahwa syariat Islam hanya berlaku untuk muslim.
Malah, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menggelar coffee morning dengan para jurnalis pada 21 Februari lalu. Dalam pernyataan, Zaini menegaskan pihaknya menjamin kebebasan beragama di Aceh dan tidak ada diskriminasi bagi kaum minoritas. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh, tambahnya, sangat menjunjung tinggi dan menghormati hak asasi manusia.
“Informasi yang berkembang seolah syariat Islam di Aceh diberlakukan untuk non-Muslim, tidak benar. Kondisi itu tentunya sangat merugikan Aceh karena tak sesuai fakta,” ujarnya. “Syariat Islam di Aceh mengedepankan pendekatan pendidikan, adat istiadat dan budaya.”
Pernyataan Samsuddin tak keliru. Sebab, ada aturan hukum yang bisa dipakai untuk menjerat warga non-muslim bila melakukan pelanggaran syariat Islam di Aceh. Aturan itu ialah Qanun Hukum Acara Jinayat yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada 13 Desember 2013.
Pasal lima Qanun Nomor 7 Tahun 2013, yang ditandatangani Gubernur Zaini, berbunyi, “Qanun Aceh ini berlaku untuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di Aceh.” Itu bermakna qanun itu dilaksanakan bagi semua orang di Aceh, tanpa memandang agama atau kewarganegaraan.
Qanun Hukum Acara Jinayat merupakan peraturan daerah Aceh tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga persidangan di mahkamah syariah. Qanun memberi kewenangan kepada penyidik WH dan polisi untuk menggeledah, menangkap, dan menahan pelaku pelanggar syariat. Lamanya 20 hari, yang dapat diperpanjang hingga 30 hari.
Itu pula yang menjadi dasar bagi polisi WH Aceh menyiapkan kamar tahanan di komplek kantor tersebut. Dua kamar ukuran 5 x 5 meter terletak di bagian belakang kantor. Sejauh ini, sudah ada beberapa pelanggar syariat Islam yang ditahan di situ.
Selama ini, aparat penyidik hanya boleh menggeledah dan menangkap pelaku pelanggaran syariat. Setelah dilakukan pembinaan, pelanggar syariat biasanya dibebaskan karena tak ada kewenangan bagi penyidik melakukan penahanan. Itu pula yang dijadikan sebagai salah satu alasan pelaksanaan syariat Islam di Aceh dianggap belum maksimal.
Dalam Qanun Hukum Acara Jinayat juga disebutkan bahwa non-muslim yang melakukan pelanggaran bersama orang Islam dapat memilih apakah diproses hukum di Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Negeri. Tapi bila pelanggaran tersebut tak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau undang-undang lain di Indonesia, maka pelaku non-muslim itu tetap diadili di Mahkamah Syar’iyah.
Tulisan berikutnya:
Syariat untuk Non-Muslim [2]
Syariat untuk Non-Muslim [3]
* Penulis adalah jurnalis untuk www.acehkita.com dan merupakan salah satu peraih Fellowship Liputan Keberagaman SEJUK tahun 2014 kategori online. Tulisan di atas merupakan karya yang dihasilkan penulis untuk fellowship SEJUK.