Oleh: Nurdin Hasan*
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (DPW NU) Aceh, Teungku Faisal Ali, menilai masuknya pasal kontroversial yang mengatur non-muslim terkesan sebagai upaya terselubung agar qanun itu tak dapat dilaksanakan. “Selama ini berbagai cara dilakukan oleh sebagian kalangan agar syariat Islam tidak jalan di Aceh. Salah satunya dengan memasukkan pasal yang mengatur warga non-muslim padahal itu tidak perlu. Jadi, itu upaya penghambatan dan kesengajaan sehingga syariat Islam tak maksimal dijalankan,” katanya.
Menurut Faisal, DPRA dan Pemerintah Aceh terkesan tak serius mendukung pelaksanaan syariat Islam, karena terus mengulur waktu pengesahan Qanun Jinayat. “Padahal, qanun itu sangat dibutuhkan untuk tegaknya syariat Islam secara kaffah,” katanya yang menambahkan bahwa sebelumnya DPRA pernah berjanji mengesahkannya pada 2013.
Qanun Jinayat merupakan penyempurnaan aturan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, karena empat qanun yang ada selama ini banyak kelemahan sehingga implementasi syariat tak maksimal. Empat qanun yang digunakan selama 13 tahun terakhir hanya mengatur masalah-masalah syiar Islam, khamar, maisir (perjudian), dan khalwat (mesum). Itulah hukum materil pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Terhadap para pelaku khamar diancam hukuman maksimal 40 kali cambuk di depan umum. Hukuman bagi pelaku mesum antara tiga hingga sembilan kali cambuk. Sedangkan, penjudi diancam hukuman cambuk antara enam hingga 12 kali.
Dalam Rancangan Qanun Jinayat yang sedang dibahas DPRA dan Pemerintah Aceh, ada penambahan beberapa persoalan lain seperti zina, pemerkosaan, pelecehan seksual, homoseksual dan lesbian. Ancaman hukuman bagi pelaku pelanggaran syariat Islam dalam qanun itu lebih keras, yakni puluhan hingga ratusan kali cambuk atau puluhan sampai ratusan bulan hukuman penjara.
Faisal menyebutkan, akibat masuknya pasal dapat menjerat non-muslim telah membuat pelaksanaan syariat Islam di Aceh dipersoalkan sejumlah kalangan di luar negeri, karena seolah-olah Aceh tak menghormati toleransi beragama. Faktanya, mayoritas muslim Aceh sejak dulu sangat menghormati kebebasan beragama dan toleran bagi non-muslim.
“Tak pernah terjadi konflik agama di Aceh. Kita bisa hidup dengan warga non-muslim secara damai. Malah saat konflik bersenjata hampir 30 tahun, tak ada non-muslim dan kaum minoritas jadi korban,” ungkap Faisal, yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. “Mayoritas muslim Aceh sangat menghormati kelompok minoritas dan kita bisa hidup berdampingan.”
Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh, Edrian menjelaskan, masuknya pasal yang mengatur masalah non-muslim sebagai bentuk antisipasi, supaya jangan sampai pelaku pelanggaran pidana syariat bebas dari jeratan hukum. “Pasal itu untuk menghindari kevakuman kalau terjadi tindak pidana yang tak diatur dalam KUHP sehingga pelaku tindak pidana bebas dari sanksi hukum,” katanya. “Tetapi menurut saya, tidak ada pelanggaran pidana yang tak diatur dalam KUHP atau aturan lain di Indonesia.”
Pendapat senada diungkapkan Abdullah Saleh, mantan Ketua Panitia Khusus Qanun Hukum Acara Jinayat DPRA. Menurut dia, pasal yang dapat menjerat non-muslim untuk memberi rasa keadilan hukum kepada pelaku pelanggaran syariat Islam di Aceh.
“Kalau terjadi tindak pidana yang di dalamnya terdapat non-muslim, tapi tak diatur dalam KUHP atau aturan lain di Indonesia, pelaku pelanggaran hukum beragama Islam diproses hukum, sementara non-muslim harus bebas karena tidak ada dasar hukum menjeratnya. Dimana rasa keadilan hukum,” katanya. “Sangat tersinggung rasa keadilan jika yang satu diadili, satu lagi bebas.”
Ia memberikan contoh pelanggaran yang tak diatur dalam KUHP atau aturan hukum lain di Indonesia, tetapi terdapat dalam qanun tentang syariat Islam di Aceh, yaitu khalwat dan khamar. “Berdua-duaan laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka yang dilakukan orang dewasa tanpa ikatan perkawinan tidak bisa ditindak karena mesum tak ada deliknya dalam KUHP,” katanya.
Politisi senior Partai Aceh ini mengaku bahwa pasal yang tercantum pada Bab Koneksitas Qanun Hukum Acara Jinayat seakan-akan ada pemaksaan ajaran Islam kepada non-muslim di Aceh. “Sebenarnya, tak ada itu. Ini semata-mata untuk memberi rasa keadilan hukum dan bukan hendak menerapkan ajaran Islam untuk non-muslim,” jelasnya.
Abdullah memastikan bahwa tak ada penolakan dari warga non-muslim atas masuknya pasal kontroversial tersebut. Ia juga menyatakan, saat pembahasan Qanun Hukum Acara Jinayat, pihaknya tidak melaksanakan dengar pendapat dengan kalangan non-muslim di Aceh.
Alasannya “tidak ada korelasi langsung karena penerapan syariat Islam hanya untuk orang Islam. Sedangkan, pasal yang mengatur masalah non-muslim itu hanya satu segmen kecil di bagian koneksitas,” ujarnya.
Tulisan sebelumnya: Syariat untuk Non-Muslim [1]
Tulisan berikutnya: Syariat untuk Non-Muslim [3]
* Penulis adalah jurnalis untuk www.acehkita.com dan merupakan salah satu peraih Fellowship Liputan Keberagaman SEJUK tahun 2014 kategori online. Tulisan di atas merupakan karya yang dihasilkan penulis untuk fellowship SEJUK