Oleh : Zakki Amali
ANIK Safitri (13) membolak-balik halaman lembar kerja siswa (LKS) pelajaran Bahasa Indonesia di tengah penyampaian materi pelajaran agama Islam oleh seorang guru di dalam kelas. Anik memilih tinggal di dalam kelas daripada keluar ke perpustakaan. Pihak sekolah memberikan kebebasan kepada Anik memilih pelajaran agama dan juga membebaskannya untuk mengikuti atau tidak pelajaran agama itu.
Keturunan penghayat kepercayaan Sedulur Sikep ini memilih materi pelajaran agama Kristen untuk memenuhi formalitas penilaian raport. “Biasanya buka-buka pelajaran Bahasa Indonesia saja di dalam kelas,” kata Anik siswa kelas IX, awal Juli lalu ditemui di sekolahnya SMP 2 Undaan di Jalan Undaan-Purwodadi.
Sikap Anik ini berbeda dengan kakaknya, Sarah Puji Rahayu yang memilih berada di perpustakaan saat pelajaran agama berlangsung. Fitri telah lulus pada tahun ajaran lalu. Dari Fitri ini persoalan mengenai pelajaran agama mengemuka. Budi Santoso, orang tua Fitri dan Anik Safitri, bercerita hari-hari pertama masuk SMP 2 Undaan pada tahun ajaran 2011-2012, terjadi perbedaan pendapat dengan pihak sekolah. Saat mendaftar diajukan pilihan pelajaran agama yang akan diikuti. Pilihan jatuh ke materi agama Islam. Tapi baru beberapa kali diajarkan, Fitri diminta mengikuti praktik ritual keagamaan seperti Salat dan Wudhu. “Anak saya saat itu memang asing dan akhirnya dia mengadu. Saya minta agar tidak sekolah dulu sampai masalah selesai.”
Pihak sekolah mendatangi kediaman Budi di Desa Larikrejo Kecamatan Undaan yang berjarak 30 menit perjalanan dari sekolah. Dari pembicaraan itu terjadi kesepakatan agar privasi kepercayaan dihargai, tetapi keturunan Sedulur Sikep tetap diminta memilih materi pelajaran agama. “Inginnya jati diri sebagai Sedulur Sikep tetap lestari, meski menempuh pendidikan formal.”
Kebijakan lokal itu ditempuh kedua belah pihak agar hak konstitusi mengenyam pendidikan bagi anak-anak Sedulur Sikep tetap terpenuhi. Namun, di sisi lain syarat formalitas penilaian akhir sekolah juga terjembatani. Budi berargumen agama yang dipilih pada dua anaknya memang berbeda, karena baginya agama seperti “baju” dalam konteks memilih materi pelajaran agama di sekolah. Persoalan pelajaran agama, menurut Budi, baru muncul belakangan ini saat reformasi. “Dulu saya juga sekolah SD sampai lulus tidak ada ramai-ramai soal pelajaran agama.”
Kepala SMP 2 Undaan, Darwoto mengatakan, sehari-hari anak-anak ‘Samin’ ini diberikan kebebasan berkeyakinan di sekolah. Sebagai petugas di lapangan yang mengikuti peraturan, pihaknya belum dapat memfasilitasi guru penghayat Sedulur Sikep. Guru agama di sekolah itu ada dua yakni Islam dan Kristen sesuai dengan keyakinan murid-murid di sekolah itu. “Karena sifatnya formalitas, siswa Samin tidak ditargetkan menguasai. Nilainya ya sesuai kesepakatan dengan orang tua. Kami ambil jalan tengah. Hal ini juga berlaku saat ujian akhir sekolah kelas IX,” katanya.
Pada tahun ajaran 2014-2015 ini ada dua anak ‘Samin’ yang mendaftar dan diterima yakni Retnosari dan Putri. Pihak sekolah telah menemui keluarga kedua siswa itu dan memilih pelajaran agama Kristen untuk mengisi raport. Menurut Muhammad Nurhadi, Wakil Kepala Sekolah yang juga Guru Pendidikan Kewarganegaraan materi agama diajarkan selama tiga jam dalam sepakan. “Dalam pelajaran PKn saya ajarkan juga mengenai aliran-aliran kepercayaan yang ada di sekitar kita agar saling menghormati.”
Persoalan pelajaran agama ini juga terjadi di Blora. Tokoh Sedulur Sikep Blora, Pramugi Prawiro Wijoyo (54) menuturkan anak turunnya ada menempuh pendidikan formal sejak SD, SMP, dan SMA. Kendala pelajaran agama yang dihadapai anaknya terjadi pada jenjang SD dan SMP. Saat menyekolahkan anaknya tidak ada pembicaraan mengenai pelajaran agama yang akan dipilih. “Ya ikutnya pelajaran agama Islam. Tidak ada pembicaraan saat sudah di sekolah. Tahu-tahu nilai pelajaran agama jelek.”
Anak-anak tidak memiliki pilihan, sehingga terpaksa mengikuti seluruh pelajaran dan praktik ritual yang diajarkan oleh guru di sekolah. Tetapi sepulang dari sekolah, anak-anaknya kembali menjadi wong Sikep yang mengamalkan ajaran-ajaran adat. “Ajaran agama di sekolah itu diikuti tetapi tidak dipakai dalam perilaku sehari-hari, karena kami memiliki keyakinan sendiri.”
Mbah Pram, panggilannya, mengaku telah bertemu sejumlah pejabat di Kementirian Pendidikan dan Kebudayaan terkait kebijakan pelajaran agama di sekolah. Dia mengusulkan istilah pelajaran agama diganti menjadi pelajaran budi pekerti yang lebih universal dan diterima semua pihak.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kudus, Hadi Sucipto menegaskan, pihaknya memfasilitasi pendidikan tanpa membeda-bedakan agama. Namun terkait kebijakan lokal pelajaran penghayat kepercayaan, pihaknya tak bisa menelurkan suatu keputusan khusus. “Semua mengacu peraturan pusat. Saat ini belum ada kebijakan mengakomodir materi penghayat kepercayaan di sekolah. Jadi memang sementara mengikuti pelajaran agama resmi di Indonesia.”
Dalam konstitusi setiap warga negara dijamin pemerintah mengenyam pendidikan. Ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 setiap warga negara memilik hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Akan tetapi khusus pendidikan agama ada perbedaan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, materi agama diberikan di sekolah mengacu agama resmi. Di luar agama resmi, pemerintah tidak bertanggungjawab, termasuk fasilitas pembelajaran agama bagi anak-anak Samin. []
Berita selanjutnya: PP Homeschooling Digadang-gadang Memecah Persoalan [2]
*Tulisan ini terbit pada HU Suara Merdeka-Semarang pada 7 Agustus 2014. Merupakan salah satu peraih Fellowship Liputan Keberagaman SEJUK tahun 2014 kategori media cetak. Tulisan di atas merupakan karya yang dihasilkan penulis untuk fellowship SEJUK