Oleh: Zakki Amali
PENDIDIKAN mempunyai peran membebaskan manusia. Dengan kemampuan baca dan tulis, manusia dapat menentukan arah hidupnya setelah menguasai tanda-tanda kehidupan. Tetapi pendidikan tidak selamanya ditempuh di jalur formal alias sekolah. Bagi keturunan Sedulur Sikep yang tak sekolah tidak lantas menjadi terbelakang. Dikotomi sekolah dan tak sekolah selaiknya tidak menjadi tolok ukur menilai kelompok Samin.
Dalam tradisi Sedulur Sikep pendidikan mulai dikenal pada era Orde Baru. Selama masa kolonial Belanda, pendidikan formal ‘diharamkam’. Bahkan segala hal terkait dengan produk Belanda terlarang. Langkah itu merupakan sikap ‘mokong’ untuk melawan kolonial Belanda.
Tokoh Sedulur Sikep Pati, Gunretno yang juga mengenyam pendidikan hingga kelas 6 SD pada medio 1980-an, merasakan tekanan dari perangkat desa agar seluruh keturunan untuk sekolah. “Kami sekolah karena ada keharusan dan tekanan dari perangkat desa. Bapak dipaksa menyekelohkan saya dan adil. Tapi tekanan itu akhirnya dapat kami lawan dan untuk belajar tidak harus baca-tulis harus di sekolah, ” katanya akhir Juli lalu kepada *Suara Merdeka.
Menjelang tamat SD, Gunretno akhirnya memilih untuk keluar sekolah yang berada di Desa Karangrowo Kecamatan Undaan yang berjarak sekitar 45 menit dari jalan utama Kecamatan Undaan. Saat itu ada 12 anak Samin , termasuk Gunarti adik Gunretno, yang akhirnya mengikuti anjuran perangkat desa, karena jika tidak ikut sekolah akan diusir dari tanah kelahiran. “Setelah kami menolak mengikuti sekolah sampai saat ini kalau ada apa-apa diminta untuk melawan kesewenang-wenangan.”
Gunretno berpedoman nilai-nilai dari komunitasnya sudah mencukupi menjadi bekal untuk mendidik keturunan. Petuah agar tetap menjaga keaslian ajaran dan perilaku Sedulur Sikep dipegang teguh, termasuk menghindari sekolah formal. Tata cara agar tetap menjadi Sedulur Sikep adalah tetap memegang teguh mulai dair prilaku, pakaian, sampai pekerjaan. Menurut Gunretno sebagaimana digariskan dalam tradisi adat jika sudah tidak menaati aturan itu, bisa tergolong kaum di luar Sedukur Sikep. Tetapi penilaian itu, kata Gunretno, kembali kepada masing-masing individu. “Kalau cuma ingin bisa baca-tulis, mengoperasikan laptop dan hape bisa dipelajari sendiri.”
Anak-anak Samin yang saat ini sekolah tidak disalahkan oleh Gunretno. Barangkali menurutnya, ada cita-cita dari anak tersebut untuk mengenyam pendidikan sehingga memiliki ijazah yang dapat digunakan untuk merantau. Pandangan Gunretno itu diperkirakan memengaruhi sebagian besar keturunan wong Sikep di Pati, sehingga tak banyak anak Sikep yang mengeyam pendidikan formal.
Meneruskan Pendidikan
Irwan Pujianto Sutrisno, keturunan Sedulur Sikep yang saat ini kuliah Fakultas Hukum di Universitas Muria Kudus, merupakan satu dari anak-anak Sikep yang mempunyai cita-cita meneruskan jenjang pendidikan. Dia ingin memiliki pengalaman lebih banyak mengenai kehidupan yang sedang berlangsung. Tetapi jati dirinya sebagai Wong Sikep tetap dijaga. “Ingin tahu perkembangan dunia lebih jauh. Pilih hukum karena nanti kalau ada masalah terkait hukum di desa bisa ikut membantu menyelesaikan,” katanya.
Paman Irwan, Wardoyo (48) mengatakan, awalnya telah memilih kampus dengan biaya yang terjangkau, tetapi ternyata di sana materi agama Islam mendominasi, karena memang basisnya agama. Irwan lalu diarahkan ke Fakultas Hukum. Pekerjaan wong Sikep di Kudus, Pati dan Blora sebagian besar adalah bertani. Mereka mengandalkan sektor yang telah dikelola turun-temurun. “Inginnya bisa memilih sekolah yang bagus. Keuangan juga jadi pertimbangan.”
Mohammad Rosyid, akademisi yang banyak meneliti Sedulur Sikep di Kudus ini mengusulkan kepada pemerintah agar membuat payung hukum untuk menjembatani pendidikan bagi warga Sikep. Pola pendidikan di komunitas itu tersentral pada keluarga, sehingga Peraturan Pemerintah mengenai Homeschooling bisa jadi solusi. Menurutnya hal ini juga sesuai dengan amanat UU Sisdiknas dan PP 55/2007 Pasal 12 (2) yang melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama tak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
Pemerintah tidak banyak menyikapi dan menanggapi ususlan mengenai pendidikan agama itu. Kepala Kantor Wilayah Kementrian Agama Jawa Tengah, Khairudin mengatakan siswa Sikep diarahkan memilih materi pelajaran agama yang mendekati dengan keyakinan yang dianut. “Sejauh ini tidak ada kebijakan memfasilitasi pelajaran agama di luar yang ditetapkan pemerintah. Jadi monggo untuk menyesuaikan materi agama yang ada.” [] Zakki Amali
Berita sebelumnya: Pembelajaran Agama Anak Samin Terganjal PP 55 [1]
*Tulisan ini terbit pada HU Suara Merdeka-Semarang pada 8 Agustus 2014. Merupakan salah satu peraih Fellowship Liputan Keberagaman SEJUK tahun 2014 kategori media cetak. Tulisan di atas merupakan karya yang dihasilkan penulis untuk fellowship SEJUK