Kamis, Juni 19, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Agama

Mereka Dipaksa Menjadi Bunglon

by Redaksi
13/08/2014
in Agama
Reading Time: 4min read
Mereka Dipaksa Menjadi Bunglon
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Reni Susanti*

DISKRIMINASI terhadap kaum penghayat masih terjadi di Indonesia. Salah satunya terhadap Komunitas Sunda Wiwitan. Tak jarang, mereka harus berhadapan dengan perlakuan tak adil sejumlah pejabat negara.

Dari selembar kertas, Ira Indra Wardhana menemukan kebingungan. Bocah berusia 9 tahun itu seolah berhadapan dengan masalah. Dia tak mampu mencerna kalimat pertanyaan yang tertulis di atas kertas tersebut.

Pertanyaan itu berisi lima kolom agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Ira diminta gurunya memilih salah satu. Bukannya menjawab, Ira malah bingung dan tak mampu mengisi.

Dia sadar, lima kolom tersebut bukanlah agamanya. Dia pun memutuskan untuk meminta bantuan sang ayah mengisi kolom agama itu.

Keesokan harinya, sang ayah menemui gurunya. Saat itu, dia meminta guru untuk tidak menyuruh menyuruh anaknya memilih agama lantaran tak akan mengerti dan masih terlalu kecil.

“Bapak saya lalu bertanya, ini sekolah apa? Guru saya menjawab Katolik. Lalu ayah berkata, didik saja anak saya dengan Katolik yang benar, tapi jangan suruh anak saya memilih. Kalau mau ke gereja, silakan pergi ke gereja, tapi jangan dibaptis,” ucap Ira mengenang masa kecilnya.

Ira terbilang berprestasi di SD Yos Sudarso Cigugur Kuningan. Dia memperoleh nilai bagus di mata pelajaran umum maupun agama (Katolik).

“Saya ke gereja. Kalau ada natal saya juara lomba puisi. Ada acara paskah, saya memerankan Yesus yang disalib. Tapi hati saya berkata, saya bukan katolik, saya sunda wiwitan,” tegasnya.

Ira mengungkapkan, pemerintah saat itu tak memberi kesempatan penghayat (sebutan penganut Sunda Wiwitan) seperti dirinya, mempelajari keyakinannya di sekolah. Pemerintah lewat kebijakannya secara tidak langsung memaksa penghayat mempelajari lima agama resmi untuk bisa lulus sekolah.

“Kami tak punya pilihan lain, kalau menolak, nilai agama di rapot kosong. Masa ada nilai yang kosong? Buat kami ini tidak mudah. Untuk memeroleh hak pendidikan, kami dipaksa menjadi bunglon. Kami bisa menjadi muslim, Kristen, Katolik, atau agama lainnya yang diakui negara,” ungkapnya.

Meski begitu, keinginan pindah agama tak pernah terlintas dalam pikirannya. Meski dia mempelajari Katolik dan Islam semasa SD-SMA, keimanannya tetap pada Sunda Wiwitan. Seperti saat dia berniat daftar di jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, 1993 silam.

Saat itu, dia kembali harus mengisi lima kolom agama yang diakui negara. Hatinya bergejolak ketika akan mengisi. Dia merasa pemerintah sudah berlaku tidak adil dan semena-mena pada kaum penghayat. Padahal, Sunda Wiwitan sudah ada sebelum Indonesia ini didirikan. Namun pemerintah dengan seenaknya mengatur, mana agama yang diakui atau tidak.

Kian keras hatinya berteriak, makin tersadar emosi tak akan menyelesaikan sesuatu. “Untuk sebuah perjuangan yang lebih besar, perlu sebuah strategi. Akhirnya, dari hasil diskusi dengan orangtua, saya mengisi kolom Katolik di lembar pendaftaran maupun saat membuat KTP,” terangnya.

Ira memilih Katolik bukan tanpa alasan. Jika saat itu Ira memilih Islam, orang sekitar akan memantau apakah dia salat atau tidak. Tapi dengan memilih Katolik, orang tidak akan memantau Ira pergi ke gereja ataupun tidak.

Toh lama-lama Ira merasa tak nyaman. Di tahun 1998, dia mulai berani istiqamah mengosongkan agama di KTP-nya. Begitu dia menerima kolom agama kosong di KTP, dengan bangga dia menuliskan “Sunda Wiwitan” sebelum dilaminating.

Keputusannya ini bukan tanpa risiko. Karena banyak orang melirik sinis padanya. Ira dianggap kafir, dan kepercayaan yang dianutnya dinilai aliran sesat.

“Dari kecil, saya sudah terbiasa dengan berbagai diskriminasi. Mulai dari sebutan kafir, aliran sesat, dan cibiran lainnya. Sebagai manusia biasa tentunya saya terkadang down,” terangnya.

Seperti saat hendak bekerja di salah satu perguruan tinggi negeri (PTN) di Bandung. Ira nyaris tak memeroleh pekerjaan tersebut. Dia dihambat bahkan dipermasalahkan untuk menjadi PNS karena dianggap berbeda.

Namun setelah berjuang bertahun-tahun dibantu guru besar Antropologi, dia berhasil lolos menjadi PNS, meski masih ada orang yang mempermasalahkan hal itu sampai sekarang.

Padahal, kemampuan penghayat Sunda Wiwitan sama dengan penganut agama lainnya. Di antara mereka ada yang sukses memiliki rumah makan. Ada pula yang berhasil menduduki posisi Kabag di pemerintahan kota/kabupaten.

Namun, dari pengalaman selama ini, jabatan Kabag itu hanya akan jadi jabatan tertingginya. Karena, meski kemampuannya mumpuni, agamanya yang dianggap berbeda membuatnya susah untuk naik jabatan.

“Ibu saya penilik kebudayaan di Kabupaten Kuningan. Secara manusiawi punya kemampuan yang sama dengan yang lain, tapi negara tak memberikan ruang lebih jauh. Bahkan ada sejumlah profesi yang belum bisa dimasuki penghayat,” terangnya.

Jika ingin sederhana, kata Ira, gampang saja. Dia tinggal mengisi kolom agama dan tidak akan mengalami berbagai diskriminasi, termasuk berkali-kali putus dengan pacar. Sambil tersenyum Ira menceritakan, saat kuliah di Unpad, dia beberapa kali gagal membina hubungan karena agama yang dianutnya.

Akhirnya, dia pun menikah dengan sesama penghayat. Sedangkan kakak maupun adiknya menikah dengan penganut Kristen dan Hindu sehingga keduanya berpindah keyakinan. Keluarga ataupun lingkungan sekitar tak ada yang mencegahnya.

“Orangtua di Sunda Wiwitan tak pernah memaksa anaknya menikah dengan orang seagama. Itulah mengapa di Cigugur sangat plural. Semua agama hidup rukun berdampingan. Bahkan dalam satu rumah bisa dihuni pemeluk tiga agama bahkan lebih,” sambungnya.

Kini tantangan berat tengah dihadapi Ira yakni bagaimana membekali anaknya menjalani kehidupan. Sebagai penghayat Sunda Wiwitan, anak-anaknya harus siap dengan berbagai diskriminasi yang akan mengadang. Karena mau tak mau harus diakui, hingga kini diskriminasi masih melekat di penghayat Sunda Wiwitan. (gin)

Tulisan selanjutnya: Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

*Tulisan ini terbit di www.inilahkoran.com pada 12 Agustus 2014. Merupakan salah satu peraih Fellowship Liputan Keberagaman SEJUK tahun 2014 kategori media online. Tulisan di atas merupakan karya yang dihasilkan penulis untuk fellowship SEJUK

Tags: #DiversityFellowshipKeberagaman
Previous Post

Pendidikan Multikultur Kalbar: Siswa Toleran Beda Budaya [1]

Next Post

Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ahmadiyah

Global Peace Foundation Indonesia Gelar Peace! Project: Membangun Harmoni dalam Keberagaman

21/05/2025
Diskriminasi Beragama Kian Mencemaskan, Elemen Masyarakat Sipil Menggelar Konsolidasi Kebebasan Beragama di Provinsi Riau

Diskriminasi Beragama Kian Mencemaskan, Elemen Masyarakat Sipil Menggelar Konsolidasi Kebebasan Beragama di Provinsi Riau

17/11/2024
Masyarakat Adat, Pemimpin Agama, Akademisi, dan Media Bersama Atasi Perubahan Iklim

Masyarakat Adat, Pemimpin Agama, Akademisi, dan Media Bersama Atasi Perubahan Iklim

24/10/2024
Ilustrasi Istimewa

Raja Najasyi: Pemimpin tanpa Hegemoni

09/10/2024
Next Post
Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In