“Tidak ada isu yang terlalu sensitif bagi para jurnalis. Jika bukan Anda lantas siapa yang akan memberikan informasi edukatif terhadap masyarakat mengenai situasi atau peristiwa-peristiwa sosial di sekitar Anda?”
demikian diungkapkan Moritz Kleine-Brockhoff dari Freiderich Naumann Stiftung (FNF) saat membuka workshop jurnalis bertema “Televisi dan Peliputan Keberagaman” yang diselenggarakan SEJUK bekerjasama dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan FNF di Bogor (27/9). Pernyataan Refresentatif FNF untuk wilayah Asia tersebut merupakan tanggapan atas keluhan beberapa peserta yang bernada serupa perihal sulitnya meliput berita-berita seputar keberagaman karena dinggap sebagai isu yang cukup sensitif.
Dalam workshop yang dihadiri para jurnalis dari berbagai stasiun televisi tersebut, Awigra (SEJUK) memaparkan pentingnya mengadvokasi isu keberagamaan agar mendapat perhatian khusus dari media televisi. Karena, sejauh pengamatannya, eskalasi tindakan intoleransi semakin meningkat beberapa tahun belakangan ini. Bahkan berbagai peristiwa yang mampu mengancam keberagaman bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi di banyak negara lain. Bagaimana misalnya etnis Rohingnya di Myanmar hingga kini masih terlunta-lunta sebagai pengungsi di negaranya sendiri, sebagaimana masyarakat Ahmadiyah di Transito, Lombok. Juga keganasan ISIS yang tak pelak menjadi ancaman sangat serius bagi keberagaman. Peran media terkait kasus-kasus tersebut sangat dibutuhkan, tutur Awigra.
Isu keberagaman memang menuntut para jurnalis dan jajaran redaksi untuk ekstra hati-hati dalam memberitakannya dan karenanya membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk meramu fakta-fakta menjadi berita yang edukatif. Di samping itu, tantangan konservatisme yang sangat mungkin menjamur di jajaran redaksi kerap menyulitkan upaya pembelajaran tersebut. Ini juga yang dikeluhkan para jurnalis dalam workshop, betapa perbedaan persepsi seringkali memaksa mereka untuk mengalah pada instruksi atasan. Maka celotehan betapa sulitnya menjadi idealis bagi seorang jurnalis mengemuka juga dalam forum tersebut.
Menanggapi keluhan tersebut, Idi Mujayyad dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Menyarankan agar seluruh unsur awak media, dari mulai jurnalis, jajaran redaksi hingga pemilik media, membiasakan berdialog satu sama lain. Selain itu, perlu ada pendalaman perspektif, terutama perspektif HAM, jender dan jurnalisme damai untuk mewujudkan peran media dalam mengedukasi masyarakat agar lebih toleran dan bersama-sama meramerawat keberagaman. [Evi/SEJUK]