Minggu, Juli 13, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Duka Aceh Singkil, Hijrah dan Spirit Kosmopolitanisme Islam

by Redaksi
14/10/2015
in Uncategorized
Reading Time: 3min read
Kasus Pelarangan Shalat Jumat di Bukit Duri
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Muhammad Said*

Bertepatan dengan momentum tahun baru Islam 1437 H, kita dikejutkan dengan persitiwa penyerangan gereja di Aceh Singkil. Sebagai anak bangsa kita pastinya sangat sedih mendengar berita ini. Momentum hijrah yang seharusnya menjadi ajang permenungan dan muhasabah (introspeksi) bagi ummat Islam untuk menumbuhkan semangat kosmopolit dan berkeadaban, justru dinodai oleh tindak kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu terhadap rumah ibadah agama lain. Apapun alasannya, tindak kekerasan merupakan tindakan yang menyimpang dari fitrah manusia dan tidak dapat dibenarkan.

Peristiwa hijrah sebenarnya mengandung banyak pelajaran bagi ummat Islam. Salah satunya adalah menumbuhkan semangat kosmopolitanisme dalam beragama. Kosmopolitanisme merupakan terma filosofis, yang oleh Plato dimaknai sebagai“ harmonisasi atas banyak elemen atau unsur yang berbeda, keseimbangan antara kekuatan yang berkonflik, serta sebuah kesatuan dalam perbedaan”. Oleh karena itu setiap manusia dalam kapasitasnya sebagai warga negara dan dunia, berkewajiban untuk menyebarkan kebaikan dan menghindari penggunaan kekerasan.

Peristiwa hijrah ke Yastrib (Madinah) sesungguhnya telah memperlihatkan watak kosmpolitanisme Islam. Dalam struktur masyarakat Madinah yang plural (secara agama dan etnik) Nabi Muhammad bersama orang Yahudi, Nasrani, Suku Auz dan Khazraj bekerjasama membangun tatanan etik dan kehidupan sosial yang adil dan terbuka. Ia juga menghapus dikotomi non-pribumi (kaum Muhajirun) dan pribumi (kaum Anshar). Sehingga konflik antarsuku dan antaragama yang telah berlarut-larut di Madinah dapat diselesaikan.

Sikap pro-multikulturalisme yang dipraktikan Nabi itu terekam dalam poin-poin Piagam Madinah. Pertama, tentang “pentingnya kesatuan dan ikatan nasionalisme dalam bingkai negara, demi tercapainya cita-cita berasama” (termuat dalam pasal 17, 23 dan 42). Kedua, tentang “pentingnya persaudaraan diantara ummat beragama baik antar sesama muslim mapun non-muslim (pasal 14, 15, 19 dan 21). Ketiga, tentang “Negara mengakui dan melindungi kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing ( pasal 25, 26, 27, 28, 29 dan 30).

Berangkat dari peristiwa hijrah di atas, sepertinya penting melakukan refleksi atas hubungan antaragama di Indonesia dan upaya menciptakan masyarakat Madani. Seperti layaknya piagam Madinah, Indonesia juga memiliki “Pancasila” sebagai asas kehidupan bersama. Nila-nilai pancasila sesungguhnya menghendaki terbentuknya masyarakat Madani, yakni suatu masyarakat yang berperadaban (tamaddun); mengandaikan tatanan hidup yang ideal, berdasarkan hukum, keadilan, kesetaraan dan toleransi.

Dalam kontesk Indonesia, menuju cita-cita masyarakat Madani sepertinya masih sangat terjal. Rentetan peristiwa kekerasan antaragama masih terus terjadi. Peristiwa pembakaran geraja di Aceh Singkil yang diikuti penyerangan berdarah seolah semakin menunjukkan betapa terjalnya jalan menuju masyarakat madani. Meskipun demikian, kita tak boleh patah semangat untuk terus melakukan aksi-aksi yang pro-perdamaian. Peran jejaring aktivis (masayarkat sipil) dan organisasi masyarakat, terutama institusi-institusi perdamaian, harus terus dimaksimalkan untuk mengkampanyekan aksi-aksi nir-kekerasan.

Duka di Aceh Singkil sejatinya tidak bisa dilepaskan dari persoalan politik identitas yang memunculkan semacam “ketidakadilan”. Terlepas dari persoalan regulasi tentang pendirian gereja, dan perihal surat izin mendirikan bangunan di Aceh Singkil itu, yang kemudian memicu insiden tersebut, cara-cara kekerasan tetap saja tak bisa dibenarkan. Dalam kondisi semacam ini, perspektif kosmopolitanisme Islam sangat dibutuhkan, agar proses dialog dan tindakan-tindakan etik lebih dikedepankan. Hal ini sesuai dengan proses demokratisasi yang mensyaratkan terakomodirnya keragaman di dalam ruang publik.

Sebagai pembawa risalah Islam Nabi Muhammad tetap menjujung tinggi al-Qur’an sebagai sumber hukum transedental (ilahiyah), namun dalam konteks relasi-sosial ia tetap setia mentaati dan menjalankan “Piagam Madinah” yang notabene adalah konsensus bersama dengan kaum Yahudi, Nasrani, dan kabilah-kabilah di Madinah. Nah, tindakan nabi itu merupakan teladan (uswah) yang sarat “pesan moral” bagi ummat Islam Indonesia. Bahwa menjalankan Pancasila tidak serta merta menegasikan kepercayaan pada nilai-nilai al-Qur’an. Maka, semestinya penyelesaian masalah-masalah hubungan antaragama harus berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila dan Undang-Undang Dasar. Bukan dengan menggunakan pandangan keagaman yang eksklusif dan rigid, sehingga berujung pada sikap-sikap vandalisme.

Selanjutnya yang paling penting dalam soal pengelolaan keragaman adalah adanya kesetaraan dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan dua hal itu maka perlu adanya dua hal pula. Pertama, recognition, pengakuan dan penghargaan pada sang liyan (others). Ukuran rekognisi dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari sejauh mana entitas-entitas yang plural dalam masyarakat saling menghormati dan mengakui perbedaan. Kedua, representasi, yakni bagaimana kelompok-kelompok keagaman yang beragam dijamin dan bisa merepresentasikan aspirasinya di ruang publik, baik secara kelembagaan (institusi agama) maupun individual.

Akhirnya semoga spirit hijrah (tahun baru Islam) menjadi reflesksi untuk menghadirkan watak kosmopolitansime Islam, secara khusus bagi ummat Islam Indonesia. Pandangan kosmopolit (yang inklusif dan deliberatif) pada akhirnya akan menentukan kualitas ruang publik. Sehingga keragaman agama akan dipandang sebagai keniscayaan hidup (min lawazim al-hayah), dan harus diakui “adanya”. Dengan demikian, diharapkan terjadinya dialog antar ummat beragama untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dihadapi, sehingga menghasilkan keputusan bersama yang berorientasi pada pencapaian kebaikan bersama (common good).

*Alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Daru Kamal, Lombok Timur. Pada tahun 2013-hingga sekarang, sedang menempuh Pendidkan Pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Konsentrasi Filsafat Islam. Aktif dalam berbagai organisasi dan institusi seperti : sebagai ketua di LiSAFa (Lingkar Studi Agama Filsafat dan Budaya 2014-215), Peneliti di ISAIs (Institute of Shoutheast Asian Islam) UIN Sunan Kalijaga, 2014-sekarang. Anggota jaringan Aktivis Pengelolaan Keragaman CRCS UGM (2014-sekarang).

Tags: Headline
Previous Post

Latar Belakang Kasus Penyerangan Gereja-Gereja di Aceh

Next Post

[Siaran Pers] Pembatalan Diskusi Soal Terorisme

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
https://emilwe.files.wordpress.com/2013/07/bangil-20130516-01635.jpg?w=645

[Siaran Pers] Pembatalan Diskusi Soal Terorisme

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pendidikan Multikultur Kalbar: Siswa Toleran Beda Budaya [1]

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tersingkir dari Keluarga, Tempat Kerja, hingga Pemakamannya: Nasib Transpuan di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memperjuangkan Akses yang Setara untuk Perempuan Disabilitas lewat Anggaran yang Inklusif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In