Dewan Pers segera mendorong pengesahan Panduan Jurnalisme Keragaman sebagai langkah untuk mengembalikan prinsip-prinsip peliputan dalam isu keragaman yang telah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 8. Karena itu, sebelum sampai pada pengesahan, Dewan Pers akan menyiapkan draft panduan yang sudah dirumuskan untuk disusun dan disepakati komunitas pers. Kemudian panduan ini disetujui dalam rapat pleno Dewan Pers.
Demikian disampaikan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo terkait rencana dan proses penyusunan pedoman atau panduan peliputan isu keragaman oleh Dewan Pers dalam Diskusi SEJUK bertema Panduan Jurnalisme Keragaman Selasa 12/4/2016 di Gedung Dewan Pers Jakarta Pusat.
“Selain pedoman ini dijadikan panduan bagi wartawan meliput hal-hal yang terkait keberagaman, juga dapat menjadi alat penilaian Dewan Pers dalam menangani pengaduan masyarakat terkait pemberitaan,” ujar pria yang lebih akrab disapa Stanley.
Kebutuhan menyusun pedoman yang ikhtiar perumusannya telah dilakukan Serikat Jurnalis untuk Keragaman (SEJUK), menurut Stanley, didasarkan pada disfungsional media dalam memberitakan isu keragaman. Masalah disfungsional media ini terus terjadi karena tidak adanya political agenda yang lebih serius di newsroom terkait profesionalitas, imparsialitas dan independensi.
“Akibatnya, media lupa dan tidak bijaksana bahwa mereka adalah institusi sosial yang punya tanggung jawab menjaga tatanan sosial untuk mendidik, bukan sekadar memberikan informasi,” ungkap Stanley yang menyayangkan pemberitaan-pemberitaan media massa yang terjebak dalam menyuburkan segitiga kekerasan.
Stanley menguraikan bahwa sikap, perilaku dan sistem, yang merupakan segitiga kekerasan, terbentuk ketika media massa mengangkat kekerasan dengan frekuensi yang sering, sementara mereka tengah berinteraksi dengan khalayak. Sehingga, hal tersebut dapat mengontruksi kekerasan-kekerasan yang baru. Dalam konteks keberagaman agama dan ras, ini akan sangat membahayakan.
Dukungan yang sama dalam upaya membangun pedoman peliputan isu keragaman diutarakan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Suwarjono. AJI akan terus terlibat agar Panduan Jurnalisme Keragaman menjadi pedoman peliputan para jurnalis.
“Di era media baru yang dihadapkan dengan maraknya situs penyebar semangat, di satu sisi, dan pengaruh media sosial terhadap pemberitaan media massa atas kasus-kasus intolersansi dan diskriminasi yang terus meningkat, pada sisi lainnya, menguatkan alasan agar AJI ikut mengambil bagian lebih aktif dalam menyusun Panduan Jurnalisme Keberagaman ini,” kata Pemimpin Redaksi Suara.com yang akrab disapa Jono.
Jono pun mencontohkan pemberitaan-pemberitaan media yang sangat bias pada kasus Tolikara yang disebabkan peliputan keberagaman yang hanya mengandalkan informasi yang beredar di social media dan mengabaikan sumber utama. Karena itu, diperlukan panduan yang lebih detil agar dalam meliput isu keragaman jurnalis tidak meninggalkan prinsip verifikasi dan tidak pula menggunakan diksi yang memprovokasi.
Sementara Direktur SEJUK Ahmad Junaidi menegaskan pentingnya penyusunan Panduan Jurnalisme Keragaman karena pasal-pasal yang sudah baik dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik terkait peliputan isu keragaman masih bersifat umum. Maka, bersama AJI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), pakar komunikasi Universitas Indonesia Ade Armando dan beberapa ahli hukum SEJUK merumuskan draft yang lebih teknis dan operasional yang memandu wartawan dalam meliput isu keragaman.
Setelah upaya tersebut, ujar Junaidi, “SEJUK menyerahkan draft Panduan Meliput Isu Keberagaman kepada Dewan Pers.”
Narasumber diskusi dari SEJUK Andy Budiman memberi penekanan bahwa tujuan dihadirkannya Panduan Jurnalisme Keragaman ini lebih sebagai tuntutan agar para jurnalis dalam melakukan peliputan kembali pada rel yang sudah digariskan dalam aturan.
“Berdasarkan pengalaman dan pengamatan bersama terhadap pemberitaan-pemberitaan terkait isu keragaman, perumusan pedoman-pedoman peliputan dalam panduan ini justru untuk menegaskan kembali ketentuan yang berlaku dalam Kode Etik Jurnalistik terkait pemberitaan isu-isu agama,” tutur Andy yang pernah menjadi pewarta SCTV dan media Jerman Deutsche Welle, DW.COM.
Namun begitu, sambung salah satu pendiri KBR 68H ini sambil mengutip filsuf dari Inggris John Locke, pemberlakuan panduan ini bukanlah aturan yang nantinya mengekang media atau kerja-kerja jurnalis. Jadi, panduan yang disusun SEJUK bukan dimaksudkan membatasi kebebasan, melainkan sebagai pedoman yang merawat dan memperluas batas-batas kebebasan manusia.
“Karena itu semangat dari panduan ini adalah mengajak jurnalis dalam memberitakan isu keragaman mengacu pada konstitusi, hukum dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia,” tegas Andy.
Sehingga, Andy mengajak para jurnalis untuk membuat berita tentang keragaman dengan cara yang komprehensif, menyuguhkan latar belakang persoalan yang lengkap. Tidak menutup-nutupi fakta. Dengan kata lain, yang mesti didorong adalah berita isu keragaman yang mendalam dan panjang.
Proses dan lalu-lintas diskusi Panduan Jurnalisme Keragaman di Dewan Pers ini diarahkan oleh Febriana Firdaus, jurnalis Rappler. (Thowik SEJUK)