(Foto: Thowik SEJUK, 17/9/2016)
Harusnya tidak ada sensor! Demikian ditegaskan Koordinator Regional SAFENET Damar Juniarto memulai presentasi Diskusi Media yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Jumat petang (30/92016) di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat.
Di era demokrasi yang diberkahi revolusi teknologi dan informasi melalui internet, mestinya menjadi surga bagi kebebasan. Sensor tidak punya tempat. Tetapi dalam kenyataannya, Damar menegaskan, internet menjadi ruang kontestasi. Internet menghadirkan demokrasi digital yang semesttinya memungkinkan kebebasan, sebaliknya jika dikuasai rezim yang totaliter seperti negara Cina, bisa menjadi digital otoritarianism.
Damar yang membawakan materi diskusi berjudul Sensor Ada & Berlipat Ganda menunjukkan bahwa dalam konteks Indonesia ruang kontestasi di internet lebih banyak dikuasai kelompok intoleran. Negara juga mengakomodir aspirasi mereka dengan menerbitkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksasi Elektronik (UU ITE).
“UU ITE menyasar banyak konten seperti pornografi, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, penodaan agama, dan pengancaman,” urainya di hadapan para peserta diskusi yang terdiri para jurnalis, aktivis HAM, dan para korban kebebasan berekspresi, beragama dan berkeyakinan. Akibatnya di era digital aturan ini dalam penerapannya mengebiri demokrasi itu sendiri.
Korban UU ITE pun tidak sedikit dan dari berbagai kalangan. Sebagian besar adalah kelompok rentan.
“Sejak diberlakukan, dari tahun 2008 sampai September 2016, terdapat 200 netizen yang dijerat UU ITE,” ungkap Damar mengacu pada data pemantauan SAFENET. Hasil pemantauan ini melaporkan juga bahwa terdapat kecenderungan yang berlipat sejak 2008 – 2015 jumlah warga negara yang dikriminalisasi.
Oleh sebab itulah pria yang juga pernah diadukan ke polisi ini, karena salah satu tulisannya di dunia maya, menunjukkan kepada peserta diskusi dan publik secara luas bahwa lewat aturan ini jurnalis pun menjadi target kriminalisasi. Kasus ini menimpa Pemimpin Redaksi media online Nias Bangkit Donny Iswandono lantaran pemberitaannya yang mengkritik penguasa. Ia dilaporkan ke polisi karena artikelnya, “Segera! Periksa,Tangkap dan Adili Bupati Nias Selatan” (2013).
Kendati demikian, Damar yang tahun ini bersama beberapa aktivis menginisiasi – sekaligus juga didapuk menjadi pemuka – Gema Demokrasi, sebuah gerakan nasional yang berupa jaringan aktivis dan lembaga yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan berkumpul, beropini dan berekspresi, menggarisbawahi bahwa fakta yang dipaparkan dalam presentasinya bukan diniatkan untuk menciptakan pesimisme. Sebaliknya, ia ingin menggugah banyak pihak menjadi lebih sadar untuk melawan sensor, terlebih yang wujudnya kriminalisasi dan represi oleh aparat.
Maka dari itulah, sambung Damar, tidak ada cara lain: harus melawan ketidakadilan (intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok rentan), dengan memaksimalkan ruang digital dengan memproduksi secara demonstratif gagasan progresif dan kritik yang disertai dengan data-data dan fakta. Sedangkan ruang-ruang non-digital diisi dengan membangun jaringan yang solid, termasuk bersinergi dengan Tim Pembela Kebebasan Berekspresi, sebuah wadah para advokat dari berbagai wilayah yang 18 September lalu dideklarasikan.
“Jangan takut! Kita harus saling bekerjasama merebut ruang-ruang digital maupun non-digital dengan lebih berani!” tandasnya.
Selain Damar, narasumber lain dalam diskusi ini adalah sutradara, produser dan penulis naskah film Nia Dinata serta novelis dan pendiri ASEAN Literary Festival (ALF) Okky Madasari. Mereka menyampaikan perlawanannya terhadap berbagai bentuk sensor dan pembungkaman. Lihat https://sejuk.org/2016/09/30/ini-cara-pekerja-seni-melawan-sensor/
Kegiatan Diskusi Media yang bertema Sensor Mengalir sampai Jauh ini adalah agenda SEJUK yang bekerjasama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) untuk merayakan Freedom Week yang secara bersamaan dilakukan juga di berbagai negara. Dalam kesempatan ini Direktur SEJUK Ahmad Junaidi meluncurkan ulang website sejuk.org yang terus dikembangkan dengan wajah dan isi yang lebih baik dan menarik agar publik semakin “kerasan” mengakses informasi-informasi tentang kebebasan dan hak asasi manusia.
“Website ini diharapkan menjadi rujukan publik dan berbagai kalangan untuk mendapatkan berbagai informasi terkait keberagaman yang meliputi kebebasan beragama dan berkeyakinan, isu perempuan dan keadilan gender, etnis serta isu-isu kebebasan berpendapat dan berekspresi lainnya dengan mengedepankan semangat toleransi yang mengacu pada Konstitusi dan HAM,” ujar Junaidi yang juga salah satu pendiri SEJUK tahun 2008 bersama dengan para jurnalis, penulis dan aktivis kebebasan beragama dan berkeyakinan. (Thowik SEJUK)