(Foto: Thowik SEJUK, 30/9/2016)
“16 tahun saya bergelut di dunia perfilman, Lembaga Sensor Film sekarang ini lebih mengerikan.”
Kalimat itu meluncur dari mulut sutradara, penulis naskah, dan produser film Nia Dinata ketika menyampaikan kekecewaannya terhadap Lembaga Sensor Film (LSF) di hadapan para peserta Diskusi Media yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Jumat petang (30/92016) di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat. Menurutnya LSF semakin membatasi sutradara-sutradara untuk mengekspresikan ide dan imaginasi ke dalam film-film mereka.
Celakanya, tutur Sutradara Ca Bau Kan (2002), Arisan! (2004) ini, atas alasan-alasan yang tidak terlalu jelas ukurannya, LSF menyensor bukan saja soal bagaimana pemain harus berpakaian, tetapi juga values yang ingin disampaikan agar dalam film sampai ke para penonton.
Nia melanjutkan, bahwa untuk memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) pembuat film harus melewati urusan administrasi yang sangat kompleks, dari mulai mengisi formulir permohonan penyensoran, mendapatkan bukti pendaftaran penyensoran yang terdiri dari 3 lembar, dan seterusnya. Jika dalam film mengandung konten yang dianggap kurang sesuai, maka LSF akan memanggil pembuat film untuk berdiskusi dan beraudiensi.
“Karena yang mengisi LSF adalah orang-orang yang perspektifnya sangat konservatif, negosiasinya bisa sangat alot dan malah menghilangkan adegan-adegan yang justru penting dan terkait dengan values yang ingin kami sampaikan,” tutur pembuat film drama musikal Ini Kisah Tiga Dara (2016) yang baru selesai diputar di bioskop-bioskop Jakarta. Di film terbarunya inilah Nia mengalami “pemotongan” adegan yang merusak nilai atau ide yang menurutnya sangat penting.
“Pada kesempatan inilah saya ingin curcol agar teman-teman wartawan membantu membongkar kondisi LSF sekarang,” ajak Nia pada peserta diskusi yang bertema Sensor Mengalir sampai Jauh ini.
Demi dunia perfilman Indonesia yang lebih maju, Nia Dinata mendorong jurnalis melihat lebih dekat keberadaan LSF. Baginya, indikator yang paling mudah dilihat dari ketidakjelasan kerja-kerja LSF adalah website yang tidak pernah update dan difungsikan untuk memberi informasi dan komunikasi terkait perfilman dan mekanisme penyensoran. Sebab dari website-lah transparansi dan keterbukaan sebuah lembaga bisa diukur.
Karena itu pula, Nia beranggapan peran jurnalis dan media untuk mengabarkan kepada publik terkait fungsi komisi-komisi dalam LSF yang tidak jelas menjadi sangat dibutuhkan. Terlebih Komisi I LSF yang langsung menangani konten film dengan 5 anggotanya laki-laki yang sangat konservatif dan 2 perempuan yang cukup progresif, tetapi ketika mengambil keputusan selalu kalah jumlah.
“Ketika keluar dari ruangan setelah sangat kaku bernegosiasi, Komisi I LSF ini lebih menjadi pembungkaman suara-suara perempuan dalam film dengan memaksakan pandangan patriarki yang mengatasnamakan nilai-nilai keindonesiaan ataupun nasionalisme sebagai dalihnya,” sesal Nia yang memandang bentuk pemaksaan nilai konservatif dalam tubuh LSF justru mengingkari fakta-fakta yang hidup dalam keseharian masyarakat Indonesia.
Apabila tidak ada upaya pengawasan dan perbaikan LSF, maka yang terjadi adalah swa-sensor di kalangan sutradara atau produser dengan membuat film yang “aman-aman” saja agar bisa ditonton di bioskop-bioskop komersial untuk kemudian bisa ditayangkan di TV. Sementara film-film yang berkualitas tidak bisa dinikmati publik Indonesia secara luas karena para pembuat film memilih membawanya ke festival-festival film internasional di luar, bioskop-bioskop indie, maupun diarahkan untuk online atau digital.
Pada kesempatan yang sama novelis Okky Madasari menuturkan pengalamannya menghadapi penyensoran terutama pada dua karyanya, Maryam (2012) yang dianugerahi Penghargaan Sastra Khatulistiwa dan Pasung Jiwa (2013). Oleh editor penerbit ternama, salah satu adegan yang penting pada Maryam diminta untuk dihilangkan.
Sementara pada Pasung Jiwa negosiasi yang sangat keras dengan penerbit besar, yang juga sama mencetak Maryam, harus ditempuh Okky karena novel ini mengambil lakon transgender. “Seminggu setelah terbit, novel ditarik dari peredaran. Beberapa adegan yang menyebutkan habib dan teriakan Allahu Akbar diminta untuk diubah. Sebab, penerbit tidak mau mengambil risiko diancam oleh kelompok atas nama agama yang intoleran,” kisahnya.
Namun begitu, Okky menyesalkan karena penerbit ini “kalah” dan harus membayar kelompok intoleran atas nama agama yang aksi-aksinya kerap menghalalkan kekerasan. Dari peristiwa-peristiwa serupa berakibat pada swa-sensor yang melanda penerbit-penerbit yang besar sekalipun.
“Bagaimana mungkin tunduk pada sensor, sementara selama ini karya-karya yang saya buat merupakan bentuk perlawanan terhadap maraknya tekanan dan represi baik dari kelompok masyarakat yang intoleran maupun aparat?” protes pengarang yang dikenal komitmennya dalam menyuarakan kelompok rentan bersandarkan pada prinsip hak asasi manusia, termasuk mengangkat Ahmadiyah Lombok, NTB, dalam novel Maryam.
Dalam diskusi untuk merayakan Freedom Week kerjasama SEJUK dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) ini Okky yang beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan Jerman menegaskan perlawanannya pada sensor ketika ia menggelar sebuah festival sastra internasional di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Dalam penyelenggaraan ASEAN Literary Festival (ALF), Mei lalu, yang mendapatkan ancaman dan tuntutan pembubaran ini, Okky sebagai Direktur Program-nya dengan berbagai macam upaya tetap gigih untuk menggelar tema-tema sensitif yang ia anggap harus diperjuangkan: LGBT, pembantaian ’65 dan Papua.
“Dalam melawan sensor yang waktu itu pelakunya adalah FPI dan polisi, adalah sesuatu yang mungkin buat saya yang punya akses ke kekuasaan di pemerintahan dan media agar mereka menekan balik para pelaku sehingga ALF dapat terus berjalan, meski dengan situasi yang kurang kondusif lagi,” ungkapnya dengan nada masygul.
“Tetapi, bagaimana dengan mereka kelompok rentan atau para mahasiswa di daerah-daerah yang terus-menerus dilanggar kebebasannya menggelar kegiatan karena tidak punya akses ke kekuasaan?” Okky memungkasi uraiannya dengan pertanyaan yang mengajak peserta diskusi dan publik secara luas lebih berani melakukan perlawanan terhadap setiap bentuk pembungkaman.
Sementara dalam pembukaan Diskusi Media tersebut, Direktur SEJUK Ahmad Junaidi meluncurkan ulang website sejuk.org yang terus dikembangkan dengan wajah dan isi yang lebih baik dan menarik agar publik semakin “kerasan” mengakses informasi-informasi tentang kebebasan dan hak asasi manusia.
“Website ini diharapkan menjadi rujukan publik dan berbagai kalangan untuk mendapatkan berbagai informasi terkait keberagaman yang meliputi kebebasan beragama dan berkeyakinan, isu perempuan dan keadilan gender, etnis serta isu-isu kebebasan berpendapat dan berekspresi lainnya dengan mengedepankan semangat toleransi yang mengacu pada Konstitusi dan HAM,” ujar Junaidi yang juga salah satu pendiri SEJUK tahun 2008 bersama dengan para jurnalis, penulis dan aktivis kebebasan beragama dan berkeyakinan. (Thowik SEJUK)