
Sidang lanjutan Eks Gafatar yang menjerat tiga petingginya dengan gugatan 20 tahun kurungan penjara kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ketiganya bertanggung jawab atas dugaan penodaan agama dan permufakatan jahat terhadap negara atau makar yang dituduhkan kepada Gafatar. Dakwaan tersebut diberikan setelah munculnya Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada 3 Februari 2016 lalu, dengan menyatakan aliran Gafatar sesat dan menyesatkan. Fatwa tersebut juga menjadi dasar terbitnya SKB 3 Menteri yang ditetapkan Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama tentang perintah dan peringatan untuk menghentikan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari ajaran pokok agama Islam.
Pada sidang yang digelar Rabu (18/2/17), Jaksa Penuntut Umum menghadirkan dua orang saksi ahli dalam kasus penodaan agama. Keduanya adalah Drs. Rida Esti Ratnasari. Sp. Msi sebagai perwakilan MUI pusat dan Drs. Khoirudin sebagai perwakilan Kementrian Agama. Dalam sidang yang ke-13 ini ditemukan informasi mengenai kedudukan fatwa MUI sebagai organisasi kemasyarakatan dalam hukum negara dan keterkaitannya dengan kebebasan beragama.
Dijelaskan oleh Rida bahwa fatwa MUI merupakan sebuah petunjuk ketika umat Islam sudah tidak lagi mampu membuat kesimpulan yang sah, maka dibutuhkan fatwa untuk menjawab perkembangan fakta. “Fatwa MUI adalah sebuah legal opinion (pendapat hukum), tidak mengikat dalam hukum positif di dalam negara ini, tetapi mengikat secara iman agar umat Islam tetap pada keyakinan yang benar, namun tidak ada sanksi bagi yang tidak mengikutinya” ujar Sekretaris Komisi Pengkajian dan Penelitian MUI.
Hal ini justru dipertanyakan oleh penasehat hukum Judianto Simanjuntak yang merasa keterlibatan MUI dalam menerbitkan fatwa yang menjadi dasar kriminalisasi lebih tepat dihadirkan sebagai saksi fakta. “Kalau tidak mengikat secara hukum, untuk apa saudara hadir sebagai saksi ahli di persidangan ini?” demikian tanya pria yang akrab disapa Anto ini.
Sejak tahun 2007 MUI telah menetapkan sepuluh kriteria dasar untuk memutuskan sebuah organisasi ataupun aliran telah melakukan penodaan terhadap agama Islam. Adapun sebelum dikeluarkannya sebuah fatwa, MUI melakukan penelitian dan pengkajian yang dilatarbelakangi oleh adanya pemintaan dari masyarakat dan lembaga-lembaga atas ajaran yang dianut oleh beberapa anggota Gafatar, lalu dimusyawarahkan dengan menggunakan pandangan diri.
Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Abdul Rauf keberatan terhadap penasehat hukum Yudistira yang mempertanyakan keluarnya fatwa seolah-olah ada yang mensponsori. “Apakah lembaga tersebut salah satunya adalah Kejaksaan Agung?” Yudistira mencoba menggali mekanisme penerbitan fatwa tersebut.
Namun, Ketua Majelis Hakim Muhamad Sirad tidak meluluskan keberatan JPU dan mempersilahkan pertanyaan tersebut dijawab saksi ahli. Menurut Rida, fatwa merupakan produk metodologi penelitian dan pengkajian secara akademik dan secara hukum untuk menjaga kredibilitas MUI. Hasil kajian yang dilakukan dijadikan data sekunder yang bisa menyimpulkan penelitiaannya tanpa harus bertemu langsung dengan Ketua Umum Gafatar.
Atas pernyataan tersebut, terdakwa 1 Mahful Muis Tumanurung sebagai mantan ketua umum Gafatar berpandangan, “Justru sangatlah tidak sah untuk dijadikan tolak ukur yang kredibel, karena tidak memenuhi syarat dalam prosedur melakukan metode pengkajian dan penilitian yang ilmiah”, protesnya.
Sehingga, sambung Mahful, fatwa yang dihasilkan MUI hanyalah produk pemikiran pendapat sepihak, bukan produk riset sebagaimana mestinya. Ia juga menambahkan, Gafatar tidak pernah sekalipun diundang untuk berdialog dan didatangi secara langsung dalam pengkajian dan pembinaan.
“Kapan MUI melakukan pengkajian, di mana dan kepada siapa?” tegasnya dalam Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Mahful juga mengatakan tidaklah pantas seolah-olah Islam menjadi (monopoli-red) hak MUI dan kemudian menilai orang, kelompok ataupun organisasi sebagai kelompok yang sesat dan murtad. Bagi Mahful, urusan iman seseorang itu adalah urusan dia dengan Tuhannya, dan itu hak prerogratif Allah. Bahkan seharusnya jika seseorang itu meyakini keimanannya, maka ia tidak akan terganggu dengan pemahaman lain. Hal itu disampaikan Mahful merespon keterkaitan adanya anggapan atau indikasi dari masyarakat yang terintervensi dan harus dilindungi fatwa MUI dari pemahaman keilmuan Gafatar, tentang pengajaran Millah Abraham yang diyakini sebagian anggota Eks Gafatar.

Terkait dengan keberagaman keagamaan, saksi ahli 2 Kepala Subdiv. Kemitraan Keagamaan Kementrian Agama Khoirudin mengatakan “Kalau sebatas pada pemikiran diri sendiri tidak ada masalah, jika berusaha untuk menyebarkan ke orang lain itu yang bermasalah.” Ia juga menyatakan jika seseorang berpindah keyakinan bukanlah merupakan sebuah masalah, namun jika menarik seseorang untuk memaksakan kepada golongannya itu yang bermasalah. Menurutnya, jika seseorang mengimani dan sekedar mempelajari kitab-kitab Tuhan, itu juga bukan masalah penistaan atau penodaan agama lain.
Berdasarkan keilmuan yang dimilikinya, saksi ahli 2 menyampaikan bahwa penggunaan kata Damai Sejahtera, Tuan Semesta Alam dan akronim-akronim lainnya yang digunakan Gafatar bukanlah sebuah penodaan. “Kata Basmallah sendiri dalam hukum Islam merupakan sunnah,” tutur PNS yang melakukan pembinaan warga Eks Gafatar di penampungan asrama haji tahun lalu.
Sebagaimana yang selama ini masyarakat tuduhkan dan kerap dimunculkan pula dalam persidangan, Eks Gafatar diindikasikan penganut sinkritisme, yaitu menggabungkan ajaran agama Islam, Kristen dan Yahudi. Selain itu, ketiga terdakwa Mahful Muis, Abdussalam dan Andry Cahya juga didakwa atas dugaan pemelintiran akronim dalam agama Islam.
Maka, setelah diduga melakukan penyebaran pemahaman baru tersebut dan berbagai konstruksi negatif yang sangat intens tersebar dipublik sejak akhir tahun 2015, bergulir pembakaran tempat tinggal dan pengusiran paksa 8000-an jiwa warga Eks Gafatar di Kalimantan pada pertengahan Januari 2016. Stigma-stigma yang berkembang di masyarakat berakibat pada berbagai bentuk intoleransi dan diskriminasi yang dilakukan masyarakat maupun negara terhadap Eks Gafatar, termasuk perlakuan diskriminatif pada administrasi kependudukan.
Hak dan kebebasan Eks Gafatar sebagai warga negara Indonesia dalam berpikir, berkeyakinan dan berekspresi ditindas. Persidangan di Pengadilan Jakarta Timur ini tidak lain fakta kriminalisasi yang menimpa Eks Gafatar.
Kontributor Sejuk.org: Nanang Nurhayudi