Terusir dari gereja, GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia ibadah Paskah di seberang Istana Merdeka (26/3/2016)
Perjuangan para jemaat tiga gereja di Parungpanjang, Bogor, untuk bisa aman dan nyaman beribadah sebagaimana warga negara lainnya semakin menghadapi tantangan berat. Pemkab Bogor akhirnya tunduk pada kelompok intoleran dengan tetap “membekukan” gereja Methodist, HKBP dan Katolik disertai “gertakan” atau “ancaman.”
Surat Teguran 1 yang ditandatangani Kepala UPT Pengawas bangunan III Wilayah Leuwiliang Pemerintah Kabupaten Bogor Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Agus Sulistio S.IP tertanggal 22 Maret 2017, memerintahkan agar pemilik bangunan segera menyelesaikan Izin Mendirikan Bangunan Gedung sesuai dengan peruntukan dan fungsi bangunan karena masing-masing dinyatakan sebagai melanggar lantaran mengubah peruntukan fungsinya, digunakan untuk beribadah.
Padahal, di banyak wilayah, pemimpin daerah mampu dengan baik memfasilitasi berdirinya rumah ibadah. Bukan mempersulit atau malah membekukan tempat ibadah yang menjadi ruang mengekspresikan keyakinan warga negara.
Walikota Kupang Jonas Salean dan Walikota Manado Vicky Lumentut masing-masing berhasil memfasilitasi pembangunan masjid, termasuk mengubah peruntukkan bangunan demi tegaknya hak beragama dan mendirikan rumah ibadah. Bupati Gunung Kidul, Bupati Bantul ataupun Walikota Bekasi Rahmat Effendi dan Walikota Bandung Ridwan Kamil memfasilitasi sampai mengeluarkan perizinan banyak gereja. Mereka bisa, jika mengacu pada konstitusi dan instrumen HAM.
Setelah awal Maret menetapkan tiga gereja di Perumahan Griya Parungpanjang sebagai Status Quo tidak diperbolehkan untuk digunakan aktivitas apapun, lalu, mengapa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor tetap saja tunduk pada desakan kelompok intoleran dan mengacu pada aturan-aturan diskriminatif yang bertentangan dengan Konstitusi RI?
Kalaupun mengacu Perber Pendirian Rumah Ibadah 2006, tugas pemerintah adalah memfasilitasi, meski aturan ini sangat diskriminatif dan harus dicabut. Jika hak-hak para jemaat ketiga gereja tidak difasilitasi tempat untuk beribadah dan kegiatan sekolah Minggu, mengapa pemerintah justru memberikan batasan dan teguran?
Karena beribadah menjadi hak setiap warga, kita semua tahu bahwa banyak masjid, gereja, mushalla dan tempat ibadah lainnya yang menjadikan bangunan rumah untuk dijadikan rumah ibadah tanpa ada IMB Rumah Ibadah. Dengan begitu, menjadi tanggung jawab negara untuk memfasilitasi warganya agar khidmat menjalankan keyakinannya masing-masing secara damai, tanpa pengecualian yang kerap dikenakan terhadap kelompok warga yang minoritas.
Jika pemimpin daerah lain bisa memfasilitasi warganya mendirikan rumah ibadah, mengapa Pemkab Bogor malah menekan tiga gereja Parungpanjang?[]