Peserta Mudik Ramah Anak dan Disabilitas (MRAD) 2017 menaiki dan menuruni mobil akses (23/6/2017)
Para peserta Mudik Ramah Anak dan Disabilitas (MRAD) 2017 mendapati fasilitas fisik maupun non-fisik yang tidak ramah disabilitas di Rest Area KM 19, Bekasi, Jawa Barat, saat mereka beristirahat siang di tengah kemacetan perjalanan dari Wisma Mandiri, MH Thamrin, Jakarta Pusat menuju kampung mereka masing-masing.
Hal tersebut dialami penyandang disabilitas dengan kursi roda Rubini (35), peserta MRAD 2017 yang pulang ke Kebumen (23/6/2017). Menurut perempuan yang tahun lalu sudah mengikuti MRAD 2016, situasi fasilitas rest area masih tetap tidak ramah bagi disabilitas, dikarenakan untuk bisa ke toilet dan tempat makan harus naik undakan yang tinggi.
“Tangganya tinggi, kondisi WC juga sempit dan tidak ada pegangan buat kami. Jadi harus ada orang lain yang mendampingi untuk mengangkat kami dan menggunakan toilet dengan nyaman,” sesalnya.
Masjid tidak Ramah Disabilitas
Masih di lokasi yang sama, untuk sampai ke masjid demi melaksanakan ibadah salat Jumat, para peserta mudik disabilitas pemakai kursi roda yang laki-laki harus menempuh tanjakan (ramp) yang cukup tinggi, curam. Sedangkan untuk memasuki masjid harus menaiki tangga (trap) sebanyak 20 undakan.
“Tangga sangat curam. Untuk bisa naik, selain sangat tinggi, ruang tangganya kurang luas, terlalu sempit,” ungkap Sigit Catur Nugroho (35), salah satu peserta MRAD dengan kursi roda yang mudik ke Kebumen, Jawa Tengah.
Padahal, Sigit mengisahkan, tahun lalu dirinya sudah menyampaikan ke petugas jaga di masjid agar tempat berwudu dan desain bangunan masjid mudah diakses teman-teman disabilitas. Sehingga, para penyandang disabilitas tidak harus melibatkan banyak orang untuk mengangkat mereka agar bisa beribadah di dalam masjid rest area KM 19.
Sigit, salah seorang disabilitas dengan kursi roda, didorong dan diangkat untuk memasuki masjid di rest area KM 19, Bekasi (23/6/2017)
Penggagas Jakarta Barriers Free Tourism (JBFT) Trian Gembira menambahkan betapa masjid tersebut sulit diakses penyandang disabilitas untuk salat Jumat, karena menggunakan speaker dalam. Buat Trian yang tuna netra, suara speaker masjid susah didengar, bahkan oleh yang pendengarannya tidak lemah sekalipun.
“Untuk menuju masjid tidak ada guiding block buat tuna netra. Begitupun petunjuk ke arah masjid yang tidak ada, menyulitkan kami mencari tempat ibadah itu,” ujar Trian.
Dengan situasi tersebut, Watini (32) pemudik MRAD 2017 yang pulang ke Purbalingga sangat berharap pemerintah serius memberi perhatian untuk memenuhi hak-hak disabilitas, termasuk ketika mereka mudik.
“Masih banyak rest area yang tidak aksesibel buat kami. Termasuk di KM 19 ini. Untuk ke tempat-tempat makan maupun kamar mandi masih sulit seperti juga tahun lalu. Harus ada yang angkat-angkat dan mendampingi untuk ke dalam kamar mandi maupun fasilitas publik lainnya,” tutur Watini yang menggunakan kursi roda.
Ia pun meminta pemerintah segera berbenah menyediakan fasilitas-fasilitas di rest area yang mudah diakses penyandang disabilitas, terutama yang menggunakan kursi roda, misalnya penyediaan WC khusus disabilitas yang diberikan tanda khusus.
Disabilitas Banyak yang tidak bisa Mudik
Para peserta MRAD 2017 menyayangkan masih banyak rekan-rekannya disabilitas dengan kursi roda yang tidak bisa mudik bertahun-tahun ke kampung halamannya. Kondisi itu salah satunya menimpa Muhammad Subhan yang ingin mudik ke Bangka Belitung. Jujur Saragih yang juga disabilitas dengan kursi roda tidak bisa mudik ke Medan.
“Yang terdata di Jakarta dan sekitarnya, 40 penyandang disabilitas dengan kursi roda yang tidak bisa mudik,” kata inisiator MRAD Ilma Sovri Yanti menjelaskan kondisi kesetaraan dan pemenuhan hak-hak disabilitas yang masih jauh dari harapan.
Artinya, sambung Ilma, banyak lagi disabilitas yang tidak terdata atau terpantau dan berada di kota-kota besar lainnya di Indonesia yang kesulitan sampai tidak bisa mudik. Sementara, MRAD 2017 pun baru mampu mendorong pihak swasta menyediakan dua mobil akses untuk disabilitas dengan kursi roda. Daya tampung kedua mobil akses itu terbatas. Masing-masing memuat 4 sampai 5 disabilitas dengan kursi roda.
Sehingga, panitia MRAD 2017 yang terdiri dari gabungan Satgas Perlindungan Anak, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Jakarta Barriers Free Tourism (JBFT), GP Ansor, Dokter Bhinneka Tunggal Ika (DBTI), Gerakan Kebangsaan Indonesia (GKI) dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang didukung oleh Bank Syariah Mandiri dan Kemensos RI menaruh harapan agar tahun depan mobil akses terus bertambah dan negara tidak lagi mengabaikan tanggung jawabnya dalam menghormati dan memenuhi hak-hak disabilitas.
Para pendamping MRAD di rest area KM 19, Bekasi, Jawa Barat (23/6/2017)
Selain itu juga, Ilma yang mewakili Satgas Perlindungan Anak merasa cukup bingung dengan banyaknya penyandang disabilitas yang mengadu kepadanya karena mereka tidak tahu bagaimana bisa mendapatkan informasi cara mengakses satu gerbong kereta yang katanya dijanjikan Kementerian Perhubungan untuk disabilitas.
“Kapan berangkat, berapa harga dan di mana tiket bisa didapat, jurusan serta di stasiun manakah gerbong kereta api itu bisa diakses, tidak jelas informasinya,” pungkas Ilma. (Thowik SEJUK)