Selasa, Juli 1, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Tahun Politik Ancaman Serius Toleransi?

by Redaksi
20/02/2018
in Uncategorized
Reading Time: 4min read
Lemahnya Dasar Penolakan Hakim atas Eksepsi Ahmad Mushaddeq Cs

PEMUKIMAN EKS GAFATAR DIBAKAR

Share on FacebookShare on Twitter

 

Oleh: Fanny S Alam

Belum hilang ingatan publik yang dikejutkan penyerangan terhadap beberapa jemaat dan seorang pastur di Gereja Santa Lidwina, Sleman Yogyakarta, tiga patung di Pura Mandhara Giri Semeru Agung, Senduro Lumajang Jawa Timur dirusak orang tak dikenal Minggu malam lalu (18/2). Sebelumnya juga beredar video penolakan terhadap seorang biksu Buddha, Muryanto Nurhalim, di Legok, Banten, Tangerang (10/2) karena dianggap menyalahi penggunaan tempat tinggal menjadi sarana ibadah dan dikhawatirkan menjadi media penyebaran agama Budha. Akhir Januari terjadi tindak penganiayaan terhadap KH. Umar Basri, pengasuh pesantren Al Hidayah, Cicalengka, Jawa Barat.

Semua terjadi dalam waktu relatif dekat, beruntun. Bukan kebetulan juga jika pada akhirnya banyak pikiran menghubungkan praktek-praktek intoleransi di atas dengan tahun 2018 sebagai tahun politik.

Tahun politik menjadi krusial lantaran para petahana saling berkampanye menggunakan isu-isu yang diharapkan dapat menggalang suara dalam pemilu, terutama pemilihan kepala daerah pada 2018 ini. Salah satu isu yang terus diangkat adalah agama. Para petahana menyadari bahwa menggunakan agama dalam program-program kampanyenya merupakan salah satu “selling point” dalam memenangkan suara masyarakat, terutama secara psikologis isu-isu agama akan selalu mendapatkan dukungan secara tanggap emosional dari masyarakat (Hidayat, Komarudin, 2017).

Tetapi, di luar masalah yang melingkupi tahun politik ini, apakah selalu pada akhirnya toleransi yang akan dikorbankan, terutama hak-hak beragama dan kepercayaan masyarakat minoritas? Apakah situasi tahun politik harus ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan eskalasi intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat rentan sehingga mampu membuat sekelompok masyarakat melakukan tindakan persekusi melawan hukum tanpa melihat hak-hak mereka yang sedang menjalankan ibadah?

Toleransi sebagai Perekat Indonesia

Kemajemukan bangsa Indonesia dari latar belakang suku, etnis dan agama merupakan hal yang tak terbantahkan. Sejak awal berdirinya negara ini, kesadaran akan kemajemukan telah muncul dalam semangat persatuan untuk mengusir penjajah lewat sumpah pemuda, kongres perempuan Indonesia pertama, hingga tiba kemerdekaan Indonesia yang lalu memunculkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kehidupan masyarakat sebagai warga negara tanpa melihat latar belakang suku, etnis, dan agama yang berbeda. Semua dijamin negara tanpa terkecuali hal melakukan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing.

Pada saat itu pemerintah sadar untuk mengimplementasikan prinsip politik identitas (S. Alam, Fanny, 2017) secara proporsional karena melihat kemajemukan negara kita. Politik identitas dilakukan dengan sistem politik yang merangkul kepentingan setiap masyarakat yang berbeda kepentingan dan agama, karena itu Pancasila dan UUD 1945 tidak pernah mengelaborasi prinsip agama tertentu untuk dijadikan fondasi kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia. Hal ini juga yang menumbuhkan sikap toleransi, yaitu suatu keinginan untuk menerima perilaku dan nilai-nilai kepercayaan yang ada dan dimiliki walaupun sangat mungkin secara personal tidak sepakat akan hal-hal tersebut (Cambridge Dictionary, definisi).

Perkembangan negara dalam tatanan global dengan pesatnya pertukaran informasi membuat batas antardaerah bahkan antarnegara menjadi sangat tipis dan untuk itu pula toleransi merupakan prinsip dasar untuk melihat pentingnya perbedaan satu sama lain dalam skala besar, terutama dalam agama, suku, etnis, dan budaya serta ekonomi (Gulen, Fetullah, dikutip S. Alam, Fanny, 2017) melibatkan nilai-nilai kemanusiaan universal untuk kemajuan masyarakat di negara kita dengan mempertimbangkan potensi-potensi konflik yang dapat muncul karena perbedaan-perbedaan di atas (S. Alam, Fanny 2017).

Tidak dapat disangkal bahwa menjaga toleransi dalam keadaan negara multi dimensi dalam banyak segi ini bukan perkara mudah, apalagi ketika hal tersebut muncul tepat di tahun politik. Hal-hal ini yang secara dominan mudah luput dari para kandidat petahana, ditambah kondisi konflik yang melibatkan perilaku intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas beragama.

Quo Vadis Toleransi Indonesia?

Kesadaran pentingnya menjaga toleransi di negara ini perlahan pupus. Kejadian-kejadian yang disebut di atas semakin menunjukkan penguatan kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan agama untuk merepresi kelompok-kelompok minoritas. Sangat disayangkan karena kejadian-kejadian tersebut terjadi di daerah-daerah yang relatif sesama masyarakat sudah saling mengetahui kegiatan kegiatan ibadah kelompok masing-masing.

Padahal, negara menyadari bahaya yang mengancam toleransi, mulai dari identifikasi kelompok-kelompok radikal, hingga penguatan peraturan pemerintah yang bersifat membendung sebaran informasi hoaks yang berpotensi mengancam toleransi di negara kita. Hal-hal tersebut ternyata masih belum cukup mengantisipasi perkembangan perilaku intoleransi yang muncul tanpa diduga-duga. Ketika kondisi sudah dianggap kondusif lalu terganggu kembali.

Di sisi lainnya ambiguitas para pemimpin daerah dan aparat membuat para pelaku praktek intoleransi semakin merajalela dan meluas. Praktek intoleransi terjadi secara masif justru pada masa globalisasi dimana sebenarnya semua pertentangan tentang suku, agama, ras seharusnya sudah lebih dieliminasi. Buruknya lagi, praktek ini dimanfaatkan aktor-aktor politik di Indonesia dengan melibatkan masyarakat yang cenderung mudah diprovokasi untuk lebih mendiskreditkan kelompok minoritas, terutama dalam segi agama, suku, dan ras demi memenangkan pertarungan politik.

Pancasila sebagai dasar ideologi negara Indonesia merupakan pandangan hidup masyarakat yang merangkul kepentingan perbedaan suku, ras, agama yang berpotensi konflik. Pancasila juga perekat bangsa serta mengangkat kemajemukan yang seharusnya terpapar dari setiap kebijakan dan peraturan perundangan dari atas hingga level bawahnya. Pemerintah beserta para penggiat politik seharusnya menyadari keberadaan kelompok-kelompok minoritas yang rentan mengalami tindak intoleransi dan merangkul kepentingan-kepentingan mereka.

Namun begitu, dalam kenyataannya penghormatan terhadap Pancasila semata jargon tanpa memperlihatkan implementasinya secara sungguh-sungguh di lapangan. Kurangnya perspektif pemerintah, terutama pemerintah daerah dan para aparatnya, tentang implementasi politik identitas yang proporsional, penghormatan nilai-nilai HAM universal dan prinsip-prinsip toleransi semakin mencemaskan.

Untuk itu, penetrasi publik agar pemerintah dan elit politik terpapar nilai-nilai kebangsaan yang diwariskan para founding fathers di tengah arus globalisasi dan tantangan yang mengemuka di tahun-tahun politik mendesak untuk terus dilakukan. Sebab, seharusnya kita sudah selesai dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan perbedaan latar belakang suku, etnis, dan agama karena yang paling krusial selanjutnya adalah membangun negara ini bersama-sama demi kesejahteraan satu sama lain yang lebih baik.[]

 

***Penulis adalah Koordinator Bhinneka Nusantara Foundation Region Bandung

Foto: Pemenang Diversity Award 2016 Kategori Fototografi Jurnalistik: Jessica Helena Wuysang, dari LKBN Antara (Pengusiran warga eks-Gafatar)

Tags: #Diskriminasi#Globalisasi#Intoleransi#TahunPolitik#Toleransi
Previous Post

Inilah 25 Peserta Workshop Jurnalis Kampus SEJUK di Bandung

Next Post

Menjaga dan Memperjuangkan Kebhinnekaan

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Menjaga dan Memperjuangkan Kebhinnekaan

Menjaga dan Memperjuangkan Kebhinnekaan

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In