Selasa, Juli 1, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Mengapa MK Harus Penuhi Permohonan Ahmadiyah untuk Revisi UU PNPS 1965?

by Redaksi
21/02/2018
in Uncategorized
Reading Time: 14min read
Mengapa MK Harus Penuhi Permohonan Ahmadiyah untuk Revisi UU PNPS 1965?
Share on FacebookShare on Twitter

Zainal Abidin Bagir (tengah-kiri) dan Al Khanif (tengah-kanan) usai menyampaikan keterangan sebagai ahli di MK (20/2/2018)

Direktur the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) atau Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Abidin Bagir, Ph.D menegaskan bahwa “penyesatan” yang dilakukan negara terhadap Ahmadiyah adalah pilihan politis yang diskriminatif. Ia juga mendorong bagaimana pentingnya Mahkamah Konstitusi (MK) untuk segera merevisi Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 agar tidak melanggar konstitusi dan merampas hak-hak warga negaranya yang meyakini pemahaman agama di luar ortodoksi mayoritas.

Hal tersebut Zainal Abidin Bagir sampaikan dalam sidang permohonan perihal Pengujian dengan Perkara No. 56/PUU-XV/2017 UU PNPS 1965di Mahkamah Konstitusi oleh jemaat Ahmadiyah dengan agenda mendengarkan dua Keterangan Saksi Ahli yang dihadirkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Berikut adalah pernyataan dan argumentasi yang mendasarinya:

 

JALAN TENGAH YANG DIHARAPKAN:

Perlunya Penafsiran Bersyarat atas Konstitusionalitas UU Penodaan Agama

Zainal Abidin Bagir, Ph.D

Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada/ the Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM

 

Keterangan Saksi Ahli pada Perkara No. 56/PUU-XV/2017 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965, 20 Februari 2018

Dalam keterangan ini, saya akan mengajukan dua argumen utama yang dapat diringkas sebagai berikut: Mahkamah Konstitusi dapat dan perlu memberikan penafsiran bersyarat atas konstitusionalitas UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU PPPA).

A. MK dapat memberikan penafsiran bersyarat atas konstitusionalitas UU PPPA

Kata “dapat” di sini bukan terutama mengacu pada konteks legal-formal kewenangan MK, yang telah diajukan argumennya oleh Pemohon maupun Pihak Terkait YLBHI, namun lebih dalam artian substansialnya. Yaitu bahwa UU PPPA dapat diperbaiki secara substansial, yang di sini diusulkan dalam bentuk pemberian tafsir konstitusionalitas bersyarat atas UU tersebut, sesuai batas kewenangan MK. Ada dua hal yang ingin ditunjukkan di bagian ini: Pertama, dalam banyak ukuran objektif, tidak sulit untuk mengakui bahwa UU itu tidak sempurna dan masih ada ruang untuk memperbaikinya; kedua, MK sendiri telah pernah secara eksplisit mengakui beberapa kelemahan UU itu serta memberikan isyarat arah perbaikan, dan sesungguhnya memiliki kewenangan untuk melakukannya.

Salah satu contoh yang cukup baru mengenai “ukuran objektif” adalah laporan yang belum lama ini dikeluarkan oleh USCIRF, bertajuk Measuring the World’s Blasphemy Laws.[i] Laporan itu menganalisis 71 negara yang memiliki UU yang disebut sebagai UU tentang penodaan agama (defamation of religion; atau di banyak negara lebih sering disebut blasphemy), dari Kanada sampai Itali dan Swiss, dari Iran, Arab Saudi, sampai Pakistan dan Indonesia. Tak hanya melihat mana negara yang memiliki UU tersebut, laporan tersebut juga melihat kualitasnya. Dasar untuk pengukurannya adalah standar atau prinsip yang diterima oleh kesemua negara itu, baik yang berasal dari konvensi HAM yang telah diretifikasi, atau prinsip-prinsip hukum yang jamak diterima di dunia internasional.

Delapan ukurannya terkait dengan: 1) pembatasan yang diperbolehkan dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi; 2) pembatasan yang diperbolehkan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan; 3) bagaimana perbuatan yang dilarang didefinisikan (cukup lugas atau ambigu/multi-tafsir); 4) proporsionalitas atau bobot hukuman; 5) apakah suatu UU mendiskriminasi kelompok agama tertentu; 6) atau melindungi kelompok tertentu; 7) sejauh mana forum internum dan externum dibatasi; dan 8) posisi UU tersebut dalam hirarki perundangan.

Temuan penelitian tersebut adalah bahwa meskipun banyak negara masih memiliki legislasi semacam ini, ada perbedaan signifikan antara satu negara dan lainnya. Ada yang sangat diskriminatif, ada yang lebih tidak diskriminatif; ada yang menyebutkan unsur niat, ada yang tidak; ada yang perumusannya sangat kabur, ada yang lebih lugas, dan sebagainya. Indonesia berada di kelompok tengah, yaitu negara dengan skor di atas rata-rata (sekitar 40 dalam rentang 0 – 80;), di antara kelompok negara dengan skor terburuk/tertinggi (hingga 66.7) dan negara dengan skor terbaik/terendah (hingga 25,7). Dengan ini, legislasi penodaan agama di Indonesia dianggap lebih bagus dibanding negara-negara seperti Mesir, Itali, Pakistan, atau Iran, tapi lebih buruk dibanding Tunisia, Filipina, Malaysia, Kuwait, Jerman, Selandia Baru, India, Turki, atau Irlandia.

Hal terpenting yang disampaikan laporan ini adalah bahwa tidak satu pun dari UU terkait penodaan agama atau blasphemy yang tidak melanggar sebagian prinsip HAM atau prinsip hukum lain. Namun, selain itu, tidak kalah pentingnya, adalah bahwa ada UU tertentu yang lebih baik dan ada yang lebih buruk dari UU lainnya. Artinya, persoalannya bukan hanya apakah UU penodaan agama harus ada atau tidak boleh ada, tapi kalaupun ada, dan mau tidak mau ada prinsip-prinsip hukum yang dilanggar, kualitasnya bisa berbeda-beda. Bagi Indonesia, ini berarti, bahwa kalaupun UU PPPA tidak bisa dicabut, ia bisa diperbaiki, karena Indonesia masih memiliki skor pertengahan.

Sesungguhnya, persis ide semacam inilah yang telah muncul di ruang Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010, dan dinyatakan oleh para hakim konstitusi dalam Putusan MK No.140/PUUVII/2009. UU PPPA telah dua kali (2010 dan 2013) diajukan ke MK, dan dalam kedua perkara itu, MK berpandangan tidak dapat membatalkannya. Meskipun demikian, dalam Putusan pada tahun 2010, MK juga memberikan saran agar legislasi ini diperbaiki.[ii] Ketika itu Mahkamah menyatakan dapat menerima pandangan para ahli yang “menyatakan perlunya revisi terhadap UU Pencegahan Penodaan Agama, baik dalam lingkup formil perundang-undangan maupun secara substansi, agar memiliki unsur-unsur materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik”. Persis inilah salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari mengamati laporan Measuring Blasphemy Laws di atas. Dan Permohonan yang saat ini sedang dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi dapat dipandang sebagai upaya ke arah itu.

MK juga menyebut bahwa putusan 2010 itu merupakan sebuah upaya mengambil “jalan tengah”. MK menyatakan sependapat dengan pandangan seorang saksi ahli “yang menyarankan agar Mahkamah membuat ‘jalan tengah’ dengan memberi penafsiran resmi atas UU Pencegahan Penodaan Agama tanpa membatalkannya.”[iii]

“Jalan tengah” yang dimaksudkan MK adalah posisi di tengah antara pihak-pihak yang menyarankan pencabutan dan yang ingin mempertahankannya, Ini adalah posisi bahwa UU PPPA konstitusional, tetapi perlu direvisi.[iv] Seperti apakah wujud “jalan tengah itu”. Segera setelah kalimat (yang dikutip terakhir) di atas, ada penjelasan amat singkat, yaitu bahwa penafsiran resmi itu “telah dituangkan secara rinci dalam paragraf-paragraf di bagian Pendapat Mahkamah.” Meskipun tidak ada rujukan yang jelas pada paragraf-paragraf mana, namun kita dapat melihat beberapa bagian ketika MK mempertimbangkan pendapat sembilan dari 17 ahli yang dianggap menyarankan “jalan tengah”.[v] Ini perlu dicermati satu demi satu, namun hanya sebagiannya diajukan di sini.

Istilah “jalan tengah” dalam kutipan di atas dirujukkan pada ahli Jalaluddin Rakhmat. Pendapat Rakhmat, yang setidaknya kesimpulannya disetujui MK, dengan tegas menyebut bahwa penafsiran agama bisa berubah-ubah sesuai dengan penafsiran (hal. 219), dan “penodaan” bukanlah perbedaan penafsiran tapi penghinaan yang sengaja dan menyakiti (hal. 220), dan tujuan penafsiran resmi MK yang disarankannya adalah agar “kebebasan beragama tidak dibatasi, pluralisme dihormati, dan melindungi hak-hak kelompok lemah”. (hal. 219; cf. 263- 264) Sedangkan Yusril Ihza Mahendra, setelah menyatakan bahwa secara formil maupun materiil UU itu tidak berlawanan dengan konstitusi, menyatakan juga bahwa “dari segi bentuk pengaturan, rumusan, kaidah-kaidah hukumnya perlu disempurnakan.” (hal. 222) Ahli-ahli lain (hal. 210-224) menegaskan hal serupa: perlu penjelasan lebih rinci dan tegas, tidak ambigu, karena ada ekses-ekses negatif (Azyumardi Azra); perlu penyempurnaan karena masih ada yang disakiti oleh UU ini dan menciptakan kecemasan terus menerus (Emha Ainun Najib). Setidaknya dari pernyataan-pernyataan di atas yang tampaknya disetujui MK, ada pengakuan bahwa ada yang tidak jelas dan membuka peluang kekeliruan, bahkan inkonstitusionalitas, dalam UU PPA.

Jika MK menyetujui saran itu pemberian “tafsir resmi” pada arah yang disarankan para saksi ahli dan diterima MK, sesungguhnya sebagian besar kekhawatiran pemohon pada waktu itu telah terakomodasi. Namun, sayang sekali, MK tidak secara lebih lugas menunjukkan persisnya aspek apa yang perlu diperbaiki dan bagaimana melakukannya, menyerahkan kemungkinan revisi itu pada DPR dan Pemerintah. Benar bahwa MK tidak memiliki kewenangan sebagai legislator, tapi sesugguhnya ada peluang perbaikan yang telah dibuka pada 2010 yang tidak direalisasikan pemenuhannya dengan lebih lugas.[vi] Misalnya, putusan “tidak konstitusional bersyarat”, sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon pengujian UU PPPA kali ini, telah muncul dalam Amar Putusan MK, bukan hanya dalam bagian Pandangannya, sejak 2008.[vii]

Kesimpulan dari argumen-argumen yang disampaikan di bagian ini adalah bahwa MK dapat memberikan penafsiran bersyarat atas konstitusionalitas UU PPPA, karena UU tersebut belum sempurna dan memang dapat diperbaiki, MK sendiri telah mengakui beberapa kelemahannya (pada Putusan tahun 2010), dan karena MK memiliki kewenangan untuk itu. Usulan yang diajukan pemohon adalah salah satu bentuk tafsir konstitusional yang dapat diberikan oleh MK, atas pertimbangan bahwa salah satu alasan untuk memberikan putusan “tidak konstitusional bersyarat” adalah untuk mengatasi tidak responsifnya legislator pada Putusan MK.[viii] Argumen selanjutnya adalah bahwa MK perlu mengambil peluang yang terbuka ini.

B. MK perlu memberikan penafsiran bersyarat atas konstitusionalitas UU PPPA

Pada saat ini, lebih daripada delapan tahun lalu (2010), ada urgensi lebih tinggi bagi MK untuk bergerak lebih jauh, di antaranya karena pemberlakuan UU PPPA setelah 2010 hingga hari ini telah makin menunjukkan bagaimana UU yang tidak sempurna ini, yang ruang penafsirannya amat luas tanpa batas jelas, telah memakan jauh lebih banyak korban dalam delapan tahun terakhir.[ix] Pemberian tafsir konstitusionalitas yang lugas akan menjaga bahwa meskipun UU yang tak sempurna ini masih berlaku, dan revisinya belum dibicarakan sama sekali oleh DPR ataupun Pemerintah,[x] kerugian kelompok-kelompok yang terdampak dapat diminimalisir.

Salah satu kelemahan utama UU PPPA, yang telah banyak dibahas oleh para sarjana pengkaji UU ini dan bahkan tersirat juga dalam pandangan para hakim Mahkamah Konsitusi dalam pengujian pada tahun 2010, adalah adanya kekaburan dan ketidakjelasan dalam beberapa hal.[xi] Secara normatif, ada dua hal utama yang amat berbeda yang diatur dalam legislasi itu, yaitu penyimpangan dan penodaan. Penyimpangan adalah objek yang dibicarakan dalam Pasal 1, 2, dan 3, sementara apa yang disebut penodaan dilarang Pasal 4 (dan Pasal 156A KUHP). Lebih jauh, tiga pasal pertama itu berbicara tentang penafsiran dan kegiatan. Permohonan pengujian UU ini (Perkara No. 56/PUU-XV/2017) terbatas pada Pasal 1, 2, dan 3, yaitu tentang penyimpangan.

Bagian kedua dari makalah ini akan menunjukkan betapa luasnya wilayah tafsir “penyimpangan” itu, kekuatan-kekuatan apa saja yang mempengaruhi suatu tafsir, dan bagaimana keluasan itu—sejauh menyangkut kepentingan negara—perlu dibatasi agar tidak melampaui batas-batas konstitusionalitasnya.

Seberapa luas wilayah tafsir dan kekuatan-kekuatan apa yang mempengaruhinya?

Istilah “penyimpangan” memang membuka wilayah tafsir yang amat luas karena ia hanya dapat dipahami dalam hubungannya dengan “pokok-pokok suatu agama”, yang sulit mendapatkan tafsir objektif. Sejarah semua agama, tanpa kecuali, adalah sejarah adanya beragam penafsiran mengenai amat sangat banyak hal dalam agama itu. Dalam sejarah Islam, sebagai contoh, adanya beragam perbedaan penafsiran itu tidak hanya menyangkut masalahmasalah yang dianggap cabang, tapi bahkan juga yang dianggap “pokok” (seperti akidah). Tidak mengherankan jika sejarah perbedaan ini tidak hendak diakui oleh semua kelompok dalam agama tersebut, karena biasanya yang terjadi adalah klaim bahwa pandangan kelompok itulah yang dianggap (paling) benar. Nyatanya, apa yang (dianggap) benar di suatu tempat atau masa, amat bergantung pada kelompok dominan atau arus utama mana yang ada di tempat itu pada masa tertentu.

Zaman Keemasan Islam memiliki banyak contoh mengenai bagaimana nasib kelompok tertentu berubah ketika penguasa berubah; contoh paling jelas mengenai ini adalah kelompokkelompok teologis (yang berbeda dalam “pokok-pokok agama”) seperti Asy’ariyah dan Mu’tazilah. Di satu masa Mu’tazilah berkuasa dan Asy’ariyah dipersekusi; di masa lain, hal sebaliknya terjadi.

Dengan kata lain, masalah “penyimpangan” tidak sepenuhnya merupakan masalah ajaran agama atau masalah teologis, tapi tidak kurang merupakan masalah politik dan sosiologis— bergantung pada konteks sosial di suatu tempat atau masa. Di wilayah-wilayah Muslim yang berbeda konteks sosial-politiknya, kelompok-kelompok Muslim yang dominan berbeda pula. “Penyimpangan” bukan sekedar “perbedaan” (ajaran/pemahaman) tapi juga persoalan “arus utama” atau “arus dominan”, yang sifatnya sosiologis dan politis. Dalam pemahaman ini, kelompok yang kecil, yang memiliki pemahaman berbeda dari kelompok utama/dominan, di mana pun mereka berada, cenderung rentan untuk disebut telah melakukan penyimpangan. Karena itu, untuk menentukan suatu pandangan yang “objektif” mengenai apakah suatu aliran agama menyimpang, persoalannya bukan tafsir keagamaan, tapi lebih luas.

Fakta bahwa Ahmadiyah sudah sekitar 90 tahun berada di Indonesia namun baru pada 2006 JAI mendapatkan SKB (berdasarkan pada legislasi yang telah ada sejak 1965) hanya bisa dijelaskan dengan merujuk pada kondisi sosial-politik Indonesia yang baru, pasca-1998, dan bukan pada analisis teologis mengenai ajaran Ahmadiyah. Tidak dapat dipungkiri, dalam sejarah panjang itu, Ahmadiyah kerap berselisih dan terlibat debat terbuka dengan kelompok-kelompok Islam lain; juga bahwa lembaga-lembaga keislaman arus utama menyatakan penyimpangannya. Namun baru di masa Pasca-1998 itulah bahasa hukum “penodaan agama” yang bersumber dari UU PPPA, dikenakan pada mereka. Di masa-masa awal dikeluarkannya UU itu, targetnya adalah kelompok yang sama sekali berbeda, yaitu utamanya kelompok-kelompok aliran kebatinan/kepercayaan,[xii] sedangkan aliran-aliran dalam suatu agama tidak menjadi objek legislasinya. Pergeseran target UU itu adalah cerminan dari pergeseran situasi sosial-politik Indonesia (bukan pergeseran teologis, karena Ahmadiyah tidak berubah doktrin teologisnya dalam rentang waktu itu). Makalah ini tidak akan mendiskusikan pergeseran sosial-politik tersebut. Namun secara umum, tampak bahwa UU PPPA mengalami revitalisasi dalam hampir dua dasawarsa terakhir ini, terutama karena munculnya dinamika sosial-politik baru setelah demokratisasi yang bermula pada 1998.[xiii] Pemahaman mengenai sentralnya konteks sosial-politik ini penting untuk memahami makna UU PPPA, khususnya frasa tentang “pokok-pokok agama” dan, sebagai ikutannya, tentang “penyimpangan”.

Lalu, bagaimana suatu negara menentukan “penyimpangan”?

Ada satu kalimat kunci, dalam Penjelasan UU PPPA yang menyebutkan ini: “Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alatalat/cara-cara untuk menyelidikinya.” Ini segera mengundang pertanyaan mengenai apakah negara dapat memasuki wilayah keberagamaan warga negaranya?

Jelas, ini adalah debat panjang, yang tak akan diulangi di sini. Jika kita melihat prinsip yang dipegang pemerintah, sesungguhnya sudah tampak jelas posisinya. Dalam Buku Sosialisasi SKB tahun 2006 tentang JAI (Balitbang Diklat Depag, Agustus 2008), tegas dikatakan bahwa dengan SKB tersebut, “pemerintah tidak sedang mengintervensi keyakinan masyarakat”. Ini pentingdigarisbawahi, karena terkadang masih dipertanyakan dan diperdebatkan. Posisi pemerintah sudah jelas. Pertanyaannya, apakah dengan SKB itu, pemerintah berhasil mempertahankan posisinya?[xiv]

Dalam logika pemerintah, karena tak mau mengintervensi keyakinan masyarakat, penentuan penyimpangan itu ditempuh dengan beberapa cara. Pertama, memperhatikan pendapat lembaga keislaman, yang dalam praktiknya, biasanya ini berarti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Penting diperhatikan bahwa, terlepas dari klaim bahwa ia merepresentasikan Muslim Indonesia, yang masih bisa dipertanyakan, MUI juga hidup dalam konteks sosial-politik yang terus berubah, bukan dalam vakum, dan karenanya mengalami perubahan karakter (misalnya, yang paling menonkol antara sebelum dan sesudah 1998), dan fatwa-fatwanya pun dikeluarkan tak terpisah dari konteks ini.[xv]

Dari sisi pemerintah, meskipun tak secara langsung mengatakan suatu aliran keagamaan menyimpang atau tidak, sesungguhnya tindakan memilih lembaga mana yang dianggap mewakili suatu agama, sebetulnya itu sudah merupakan bentuk turut campur dalam kehidupan keagamaan komunitas penganutnya. Ini karena selalu ada pilihan untuk memilih lembaga yang dianggap mewakili, dan masing-masing lembaga mungkin memiliki pandangan yang tidak sepenuhnya sama. Apalagi persoalannya di sini bukanlah sekedar menentukan apakah suatu aliran menyimpang atau tidak, tapi ada banyak konsekuensi amat penting dari penentuan itu. Sementara setiap lembaga keagamaan tentu boleh-boleh saja mengeluarkan fatwa yang dianggapnya benar, ketika pemerintah menjalankan kebijakan berdasarkan fatwa itu, yang membawa konsekuensi pada pemenuhan atau pelanggaran hak-hak kelompok itu, maka tanggungjawab terpentingnya tetap ada di tangan pemerintah. Sekali lagi, pemerintah selalu memiliki pilihan, termasuk pilihan untuk menjadikan sebuah fatwa sebagai (dasar) kebijakan atau tidak.

Kedua, satu cara menarik yang, setahu saya, baru sekali dilakukan, adalah dengan mengadakan pertemuan dengan kelompok yang dianggap menyimpang. Ini dilakukan dengan pihak Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) pada sekitar Desember 2007 – Januari 2008. Selain JAI, pertemuan yang berlangsung beberapa putaran itu melibatkan beberapa tokoh Muslim di luar Ahmadiyah. Pertemuan itu menghasilkan 12 butir penjelasan Pengurus Besar Ahmadiyah tentang keyakinan mereka untuk menunjukkan bahwa Ahmadiyah tidak menyimpang. Langkah berikutnya adalah dilakukannya pemantauan oleh Kemenag selama tiga bulan (Februari-April 2008) di 33 kabupaten. Pemantauan itu, yang dilakukan dengan kunjungan lapangan ke beberapa daerah dan kajian tafsir al-Qur’an Ahmadiyah, memberikan hasil yang kemudian dipakai Bakor Pakem sebagai dasar rekomendasi peringatan keras kepada JAI pada April 2008.

Dalam banyak butir penjelasan, termasuk yang sangat prinsipil menyangkut syahadat Ahmadiyah, kitab suci mereka, tak mengkafirkan non-Ahmadi, dan hubungan sosial dengan Muslim non-Ahmadi, ditemukan bahwa warga JAI tidak berbeda dari arus utama Muslim. Yang jadi masalah akhirnya adalah beberapa butir (nomer 2 dan 3) terkait konsep kenabian menurut Ahmadiyah. Di sini pun, mereka jelas mengakui Nabi Muhammad; ketika Mirza Ghulam Ahmad disebut sebagai “nabi”, itu dijelaskan dengan mengatakan bahwa “nabi” di situ dipandang berbeda, bukan pembawa syari’at, tapi justru tunduk pada syariat Rasulullah Muhammad. Penjelasan ini bisa terus diperdebatkan. Tapi setidaknya sudah cukup untuk mengatakan bahwa ini adalah soal penafsiran, yang bisa keliru bisa benar, bisa buruk bisa baik. Dan biasanya penafsiran, apalagi dalam hal teologis seperti ini, tak bisa diputuskan segera. Dari satu sisi, bisa jadi ini bahkan hanya soal semantik. Persoalannya salah-benar teologis berbeda dengan salah-benar kriminal, yang tidak terlalu bisa mengakomodasi wilayah abu-abu.

Ruang antara hitam dan putih yang menyangkut perbedaan semantik dan tafsir itu pada akhirnya mesti dipotong oleh kalimat tegas rekomendasi Bakor Pakem (April 2008) bahwa, setelah memberi kesempatan dan melakukan pemantauan selama 3 bulan, ternyata JAI “tidak melaksanakan 12 butir tersebut secara konsisten dan bertanggungjawab”. Melihat hasil pemantauan Kemenag yang sebetulnya tidak tegas, pernyataan Bakor Pakem sebetulnya cukup mengejutkan—seakan-akan hasil penelitian itu tidak dipertimbangkan. Lebih jauh, kita bisa bertanya, apa sesungguhnya maksud 12 butir penjelasan itu? Adakah andaian bahwa dalam masa 3 bulan “pemantauan” itu JAI dituntut mengubah keyakinan keagamaannya? Meski terdengar berlebihan—bahwa pemerintah menuntut reposisi teologis dari warganya dalam waktu 3 bulan—bisa jadi itu yang dibayangkan badan di bawah Kejaksaan Agung ini.

Proses tersebut dipaparkan dengan agak terinci untuk menunjukkan bahwa upaya menghakimi penyimpangan teologis atau praktik mau tidak mau pasti menjadi persoalan yang rumit, kompleks dan tidak konklusif—kecuali dalam kasus-kasus ekstrem. Lebih jauh, meskipun pemerintah mengklaim tidak mau mengintervensi keyakinan masyarakat, dalam kenyataannya hal itu, secara langsung atau tidak, sulit dihindari, dan karenanya dibutuhkan kehati-hatian yang amat tinggi. Apa yang disampaikan secara umum (dan sebetulnya, kabur) dalam Penjelasan UU PPPA, bahwa Kementerian Agama memiliki “alat-alat/cara-cara untuk menyelidiki” penyimpangan, membuka ruang yang amat luas. Perlu ditegaskan di sini bahwa ini bukanlah soal praktik atau implementasi UU, tapi kekaburan itu sudah ada inheren sejak dalam UU-nya, dan inheren ada dalam persoalan yang ingin diatur (yaitu tentang pokok-pokok agama. Dan, harus diakui, jika mau adil, ketidak-konklusifan itu tampaknya mustahil diatasi.

Sementara perbedaan internal agama bisa dan perlu berlangsung terus, telah dan akan terus terjadi (bahkan mungkin akan memperkaya dan menjadi rahmat), penghukuman oleh negara membawa konsekuensi yang jauh berbeda dan lebih luas. Setiap kelompok yang terdampak legislasi ini, maka bukan hanya hak keberagamaannya yang terdampak, tapi sudah pasti— sebagaimana itunjukkan dalam banyak berita media, penelitian-penelitian, termasuk juga yang didiskusikan di ruang ini oleh pemohon dan beberapa ahli lain—pasti hak-hak sipil, politik, dan ekonominya akan terpengaruh juga.

Setiap kelompok agama, seperti MUI atau lainnya jelas memiliki hak untuk menyatakan kelompok agama lain telah menyimpang; lebih jauh, sebagai bagian dari asosiasi warga, wajar jika ia berusaha mempengaruhi kebijakan negara. Persoalannya berbeda dengan negara. Sejauh menyangkut penghukuman oleh negara, wilayah luas tafsir tentang “penyimpangan” dalam UU PPPA (yang membawa sanksi legal) mesti dibatasi agar tidak melanggar hak-hak kelompok lain. Usulan tafsir konstitusional dalam bentuk putusan “(tidak) konstitusional bersyarat” adalah satu cara membuat pagar-pagar konstitutionalitas tersebut.

Ini bukanlah meminta MK untuk masuk dalam wilayah teologis. Tapi memberi pagar-pagar konstitusional dalam ruang tafsir keagamaan yang amat luas—sejauh ia dipertimbangkan sebagai dasar pengambilan kebijakan negara. Tujuannya adalah memastikan bahwa keputusan apapun yang diambil atas dasar UU ini tidak bertentangan dengan Konstitusi, dalam hal ini hak-hak sipil, politik dan ekonomi kelompok-kelompok yang potensial terdampak UU itu.

C. Kesimpulan

Dua argumen utama yang diajukan di atas adalah:

  • MK dapat memberikan penafsiran bersyarat atas konstitusionalitas UU PPPA, karena secara substansial UU tersebut belum sempurna dan memang dapat diperbaiki. Argumennya adalah penelitian mengenai karakter UU PPPA itu sendiri maupun dalam perbandingan dengan UU serupa di 70 negara lain; juga sebagaimana diakui MK sendiri pada Putusan tahun 2010. Dari sisi formil, MK sendiri memiliki kewenangan untuk itu, persis untuk tujuan yang diharapkan oleh pemohonan ini: untuk memperbaiki keadaan, sementara suatu UU yang memiliki konsekuensi negatif tidak bisa dibatalkan atau belum diubah (dan tampaknya masih akan demikian untuk waktu yang lama) oleh legislator.

 

  • MK perlu memberikan penafsiran (tidak) konstitusional bersyarat, karena luasnya wilayah tafsir agama mengenai “pokok-pokok agama”, banyaknya faktor yang mempengaruhi tafsir keagamaan, dan seriusnya konsekuensi penilaian itu (oleh negara, sebagaimana dimandatkan oleh UU PPPA), melampaui urusan keyakinan keagamaan. Ini bukanlah pembatasan atas hak kelompok-kelompok agama tertentu yang ingin menjaga agamanya, karena hak mereka untuk itu tidak dikurangi sama sekali. Tapi merupakan pembatasan tafsir negara agar tidak melanggar hak-hak warga negara yang menjadi bagian dari kelompok yang dihakimi. Usulan tafsir konstitusional dalam bentuk putusan “(tidak) konstitusional bersyarat” adalah suatu cara membuat pagar-pagar konstitutionalitas tersebut atas tafsir keagamaan—sejauh ia dipertimbangkan sebagai dasar pengambilan kebijakan negara. Tujuannya adalah memastikan bahwa keputusan apapun yang diambil atas dasar UU ini tidak bertentangan dengan Konstitusi, termasuk hak-hak sipil, politik dan ekonomi kelompok-kelompok yang potensial terdampak.

UU PPPA ini telah dua kali diajukan ke MK, yang berpandangan tak dapat membatalkannya, meskipun ada banyak catatan serius. Dan sebagai akibatnya, situasi buruk yang menimpa individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu—yang paling tidak sebagiannya telah diakui MK dalam kedua putusan sebelumnya—tidak berubah, bahkan mungkin memburuk! Pada saat ini, hal minimal yang bisa dilakukan MK untuk memperbaiki keadaaan adalah suatu “jalan tengah” yang sebetulnya sudah pernah dipertimbangkan MK juga, tetapi sayangnya tidak menjadi bagian dari Amar Putusan. Usulan pemohon adalah satu bentuk jalan tengah itu: pemberian syarat konstitusionalitas. Benar bahwa keputusan seperti itu belum akan menyelesaikan semua masalah yang muncul akibat adanya kekaburan dan ketidakpastian yang inheren ada dalam UU PPPA, namun sudah akan memperbaiki keadaan secara cukup signifikan dan merupakan satu langkah lebih maju dari MK, untuk memenuhi upaya menemukan “jalan tengah”. []

 

****

[i] Joelle Fiss dan Jocelyn G. Kestenbaum, Respecting Rights? Measuring the World’s Blasphemy Laws, U.S. Commission on International Religious Freedom, 2017.

[ii] Putusan Mahkamah Konstitusi No.140/PUU-VII/2009, hal. 270.

[iii] Putusan Mahkamah Konstitusi No.140/PUU-VII/2009, hal. 305.

[iv] Putusan Mahkamah Konstitusi No.140/PUU-VII/2009, hal. 270. Lihat juga Rumadi, “Kebebasan dan Penodaan Agama”, Indo-Islamika 1:2, 245-271 (2012), hal. 255 dan seterusnya. Rumadi melihat bahwa “jalan tengah” bisa juga dimaknai posisi di tengah pertarungan ideologis “negara Islam” vs. “negara sekular”. Pandangan ini memang dapat dilihat tersirat dalam Putusan MK tersebut, namun secara eksplisit “jalan tengah” diajukan dalam hubungannya dengan tiga posisi tentang konstitusionalitas UU PPPA yang muncul dalam masa persidangan

[v] Disebutkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No.140/PUU-VII/2009, bagian 3.71, hal. 304.

[vi] Op. Cit. Rumadi (2012)

[vii] Simon Butt, The Constitutional Court and Democracy in Indonesia, Brill-Nijhoff, 2015, hal. 124-125.

[viii] Ibid. 126, 127

[ix] Misalnya, sebagai konsekuensi dari dikeluarkannya banyak peraturan-peraturan daerah, mengikuti SKB 2006, sebagaimana sebagiannya didaftar dalam berkas permohonan Pemohon pengujian UU ini. Lihat juga Bagir 2018.

[x] Sejak 2014 Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama, telah membuat draft RUU Perlindungan Umat Beragama. Namun dari beberapa draft yang Penulis pernah membaca, tidak tampak ada upaya untuk melakukan perbaikan atas UU PPPA, meskipun dalam beberapa kesempatan “penodaan agama” disebut akan diatur dalam RUU itu. RUU tersebut hingga tahun 2019 tidak measuk dalam daftar prioritas Prolegnas. Di luar itu, belum ada diskusi sama sekali mengenai revisi UU PPPA sebagaimana disarankan oleh putusan MK pada tahun 2010 dalam bagian Pandangan Mahkamah.

[xi] Selain pandangan MK sebagaimana dikutip di atas, yang menghendaki UU PPPA untuk “memiliki unsurunsur materil yang lebih diperjelas sehingga tidak menimbulkan kesalahan penafsiran dalam praktik”( (Putusan Mahkamah Konstitusi No.140/PUU-VII/2009, hal. 304), lihat juga concurring opinion Hakim Konstitusi Harjono yang, meskipun setuju untuk mempertahankan UU tersebut, namun mengakui bahwa “Dari aspek redaksional, rumusan Pasal 1 Undang-Undang a quo mengandung ketidakjelasan sehingga tidak memenuhi syarat bahwa perumusan undang-undang tindak pidana haruslah jelas (lex certa).” (hal. 311), sehingga diperlukan revisi. (312).

[xii] Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia, Yogyakarta: CRCS – Universitas Gadjah Mada, 2017.

[xiii] Penulis membahas hal ini dalam Zainal Abidin Bagir, Kerukunan dan Penodaan Agama: Alternatif Penyelesaian Masalah, Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2018. (Dapat diunduh di: crcs.ugm.ac.id/news/11963/laporan-crcs-penanganan-penodaan-agama.html); dan Zainal Abidin Bagir, “The Politics and Law of Religious Governance in Indonesia” dalam Robert W. Hefner ed. Routledge Handbook of Contemporary Indonesia, London: Routledge, 2018, 284-295.

[xiv] Sebagian dari tulisan dalam beberapa paragraf di bawah diambil dari laporan yang ditulis penulis dan diterbitkan dalam Laporan Kehidupan Beragama di Indonesia 2008, Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya, UGM, 2009, hal. 14-19.

[xv] Lihat beberapa kajian M. Nur Ichwan, dosen UIN Yogyakarta yang banyak mengakaji mengenai MUI, misalnya dalam “Toward A Puritanical Moderate Islam: The Majelis Ulama Indonesia and the Politics of Religious Orthodoxy”, dalam Martin van Bruinessen, ed. Contemporary Developments in Islam – Explaining The “Conservative Turn”, Singapore: ISEAS, 2013, 60-104.

 

 

Tags: #Ahmadiyah#MahkamahKonstitusi#MK#UUNo1PNPS1965#UUPNPS#ZainalAbidinBagir
Previous Post

Menjaga dan Memperjuangkan Kebhinnekaan

Next Post

Jaringan Ulama Perempuan Indonesia: Hindari Politisasi Identitas dan Hoax

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Jaringan Ulama Perempuan Indonesia: Hindari Politisasi Identitas dan Hoax

Jaringan Ulama Perempuan Indonesia: Hindari Politisasi Identitas dan Hoax

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Global Peace Foundation Indonesia Gelar Peace! Project: Membangun Harmoni dalam Keberagaman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In