Alnoldy Bahari dalam sidang vonis di PN Pandeglang (30/4/2018)
Amnesty International sangat menentang vonis penjara 5 (lima) tahun dan denda 100 juta rupiah yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang yang diketuai Kony Hartanto SH, MH, terhadap Alnoldy Bahari alias Ki Ngawur Permana. Penggunaan pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait penyebaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) untuk mempidanakan orang dengan tegas ditolak Amnesty International.
Putusan Majelis Hakim PN Pandeglang ini dijatuhkan kepada Alnoldy Senin (30/4/2018) dengan dakwaan Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 UU ITE. Majelis Hakim memvonis hukuman 5 tahun penjara atas status-status Facebook yang dibuat Alnoldy Bahari yang dianggap meresahkan masyarakat Pandeglang.
“Kami menolak pasal-pasal itu dan pasal penodaan agama digunakan untuk mempidanakan warga negara,” kata peneliti Indonesia Amnesty International Papang Hidayat ketika dihubungi sehari paska putusan sidang kasus yang menimpa Alnoldy Bahari (1/5/2018).
Selain merupakan pelanggaran terhadap hak atas berekspresi dan berkeyakinan, Amnesty International memprihatinkan pasal-pasal ini terus-menerus digunakan di Indonesia terhadap orang-orang dengan pandangan keagamaan yang berbeda dan dari kelompok minoritas agama atau keyakinan.
“Pemidanaan (terhadap Alnody) ini juga bertolak belakang dengan komitmen pemerintahan Indonesia saat ini yang secara retorik menyatakan ingin menjamin pluralitas, toleransi, dan keberagaman,” ujarnya.
Karena itu, tidak saja megecam putusan peradilan yang melanggar HAM, Amnesty International juga berencana segera melakukan upaya-upaya reparasi agar negara melindungi dan memulihkan hak-hak korban dan keluarganya yang dihilangkan dan dirusak seperti tempat tinggal beserta isinya, tanah, dan aset-aset bisnis mereka.
Alnoldy Bahari Korban Persekusi dalam Peradilan Sesat penuh Rekayasa
Sementara itu, Tim Kuasa Hukum Alnoldy Bahari menyesalkan sekali atas proses peradilan sesat terhadap Alnodly Bahari yang tidak lain korban persekusi di kampung Gadog dengan menggunakan dakwaan Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 UU ITE. Sebab, sepanjang berlakunya UU ITE, kasus-kasus berdasarkan pasal SARA UU ITE, Alnoldy adalah pemidanaan kedua terberat setelah putusan pidana 6 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah terhadap Sandy Hartono, Pontianak, 2011.
Pratiwi Febry mewakili Tim Kuasa Hukum mengungkapkan bahwa kesesatan Majelis Hakim ditunjukkan melalui putusannya yang sama sekali tidak memasukkan fakta persidangan dengan utuh, sebagaimana yang terungkap di muka persidangan. Pembelokan dan penambahan fakta persidangan oleh Majelis Hakim pun terjadi.
“Dengan demikian dapat disimpulkan Majelis Hakim telah melakukan rekayasa fakta persidangan,” papar perempuan yang akrab disapa Tiwi yang merupakan advokat publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Suasana persidangan vonis atas Alnoldy Bahari dipenuhi massa (30/4/2018)
Majelis Hakim, menurutnya, hanya menggunakan keterangan para saksi dan ahli yang memberatkan Terdakwa untuk membangun fakta sehingga berujung pada peristiwa dan analisis hukum yang sesat. Majelis Hakim bukannya melakukan analisis unsur pidana dengan menggunakan teori dan doktrin hukum, melainkan memakai analisis bahasa dengan menggunakan penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hal ini jelas menjauhkan keadilan dari Terdakwa pada proses persidangan.
“Sikap Majelis Hakim yang tidak imparsial memang sudah ditunjukkan sejak awal persidangan kasus Alnodly sampai proses pembuktian. Kecacatan dalam proses Penyelidikan dan Penyidikan kembali diabaikan oleh Majelis Hakim,” jelas Tiwi.
Pratiwi Febry kembali mengungkapkan bahwa pembelaan Terdakwa dan Penasihat Hukum hanya menjadi sisipan dalam putusan Majelis Hakim tanpa pertimbangan yang jelas dan lengkap. Kalender persidangan (court calendar) yang tidak pernah disepakati oleh Penasihat Hukum dijadikan dasar untuk melanggar hak Terdakwa dengan melewatkan pengajuan eksepsi Terdakwa. Permintaan maaf dan sikap kooperatif Terdakwa selama persidangan dianggap tidak ada oleh Majelis Hakim.
Karena itulah Pratiwi Febry sangat menyesalkan pemberatan putusan justru diberikan oleh Majelis Hakim atas dasar keresahan masyarakat yang tidak jelas wujudnya dan sangat relatif serta tidak tertukur secara hukum.
Selain itu, sambung Tiwi, alat bukti yang cacat berupa hasil laboratorium forensik yang memeriksa status Terdakwa yang berbeda dengan apa yang didakwakan kepada Terdakwa tetap digunakan oleh Majelis Hakim sebagai pertimbangan di dalam putusannya. Ketidakhadiran ahli forensik digital di muka persidangan guna menguji orisinalitas dan otentisitas status FB (Facebook) Terdakwa diabaikan oleh Majelis Hakim. Double Opzet (unsur kesalahan berlapis) gagal dibuktikan oleh Penuntut Umum dan hal tersebut justru dibenarkan oleh Majelis Hakim. Penjabaran dan penjelasan terkait Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat serta kemerdekaan beragama dan berkeyakinan yang telah dikirimkan oleh 2 (dua) organisasi masyarakat ELSAM dan ILRC dalam bentuk Amicus Curiae (Sahabat Peradilan) pun diabaikan oleh Majelis Hakim.
Suasana di luar PN Pandeglang saat persidangan vonis Alnoldy Bahari (30/4/2018)
Persidangan di bawah Tekanan Massa
Tim Kuasa Hukum dan Tim Advokasi Terdakwa juga mencermati betapa proses peradilan yang berlangsung di ruangan sidang utama PN Pandeglang selama ini disesaki puluhan massa aksi dan dalam waktu bersamaan massa juga menggelar aksi yang dipenuhi teriakkan dan ancaman.
Pada sidang putusan, terlihat dalam kerumunan massa aksi Ketua MUI Kabupaten Pandeglang, Ketua MUI Kecamatan Carita, Ketua FPI, Ilyas, dan laskarnya. Orasi-orasi massa aksi kembali menuntut Alnoldy agar dipidana seberat-beratnya. Mereka bahkan mengatakan, “kita hormati putusan pengadilan, tapi kalau tidak diputus maksimal 5 (lima) tahun kita siap ganyang”.
Hal ini, bagi Tim Kuasa Hukum, jelas merupakan pernyataan ancaman kepada Majelis Hakim. Bahkan beberapa kali pengunjung sidang yang merupakan massa aksi melakukan tindakan-tindakan yang melanggar tata tertib persidangan.
“Seperti sidang-sidang sebelumnya, Majelis Hakim mengabaikan dan tidak menegur mereka,” sesal Tiwi.
Berdasarkan keseluruhan fakta persidangan sebagaimana telah diungkapkan, Tim Kuasa Hukum menyatakan mengecam putusan Majelis Hakim PN Pandeglang atas nama Terdakwa Alnodly Bahari yang merupakan produk dari peradilan sesat.
Tim Kuasa Hukum juga meminta Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk memeriksa ketiga Hakim dalam perkara Alnodly Bahari. Selain itu, mereka meminta Komisi Kejaksaan untuk memroses laporan yang telah kami masukan atas 8 (delapan) orang Penuntut Umum yang telah memroses perkara ini dengan penuh kesesatan dan kecacatan.
Kepada Komisi Kepolisian Nasional, Tim Kuasa Hukum meminta untuk segera memroses oknum-oknum serta Pejabat Kepolisian yang telah bertindak melanggar SE Kapolri tentang Penanganan Hate Speech (Ujaran kebencian) dengan mengabaikan perdamaian yang telah terjadi antara masyarakat Kampung Gadog dengan Alnoldy dan isterinya, serta terus menaikkan perkara ini sehingga terjadinya eskalasi konflik di tengah masyarakat. []