Naila Rizqi Zakiah dalam forum perdana Ngobrolin Indonesia (21/4/2018)
Masyarakat Indonesia sudah sejak lama mengakui keberagaman gender. Banyak praktek budaya di nusantara yang menghormati keberadaan gender yang berbeda-beda.
Hal tersebut disampaikan aktivis gender LBH Masyarakat Naila Rizqi Zakiah dalam diskusi dan peluncuran dua wadah dialog lintas generasi dan sektor, Ngobrolin Indonesia dan Perempuan Peduli Kebinekaan dan Keadilan (PPKK), Sabtu lalu (21/4) di Atterine Jakarta.
Untuk itulah di hadapan sekitar seratusan peserta diskusi Naila mencoba membongkar kesalahan-kesalahan yang terus dikembangkan di masyarakat dan sejatinya lebih berupa tuduhan dari banyak pihak yang menyatakan bahwa prinsip dan perjuangan feminimisme tidak ada dalam agama tertentu atau kalaupun ada tetapi itu dianggap bukan merupakan budaya Indonesia, melainkan hasil dari konspirasi Yahudi yang juga dicampur-adukkan dengan budaya Barat, dan seterusnya.
“Perjuangan feminisme dan LGBT bukan dari Barat. Jadi perjuangan kesetaraan gender itu bukan gagasan yang dijajah dari luar,” tegas Naila sambil memaparkan fakta dan praktek keberagaman gender di nusantara seperti di Bugis, di mana masyarakat mengakui dan menghormati lima jenis gender: Makunrai (perempuan), oroane (lak-laki), calabai (laki-laki yang perempuan), calalai (perempuan yang seperti laki-laki), dan bissu (kombinasi dari semua jenis kelamin) yang sangat dihormati.
Karena itu ia mendorong publik dan pemerintah agar tidak lagi menolerir perlakuan untuk menjadikan manusia sebagai warga kelas dua di Indonesia dengan praktik-praktik diskriminatif berdasarkan perbedaan gender dan orientasi seksual.
Tim Ngobrolin Indonesia, di antaranya Anindita Sitepu (tengah) dan Anindya Restuviani (paling kanan)
Dalam rangka memperingati Hari Kartini dengan mengambil tema besar diskusi “Indonesia di tahun 2030”, kepedulian tentang kesetaraan gender pada saat ini menjadi tantangan yang membutuhkan lebih banyak perhatian. Tantangan ini memerlukan keterlibatan bukan hanya dari satu golongan tertentu, tetapi rasa peduli terhadap hak dan peran perempuan di segala bidang sudah harus menjadi pembahasan kaum milenial, dari perempuan maupun laki-laki. Karena kesetaraan gender sangat membutuhkan perhatian dari masyarakat itulah, maka perlu adanya ruang-ruang untuk mengembangkan pemahaman yang sesungguhnya perihal “peran gender” supaya masyarakat dapat sepenuhnya menghormati.
Berbagai ide dan harapan tersebut muncul dan beberapa menjadi tujuan dari digelarnya dialog lintas generasi dan sektor untuk kebinekaan yang merupakan kegiatan perdana Ngobrolin Indonesia dengan Perempuan Peduli Kebinekaan dan Keadilan (PPKK). Ruang hangat Sabtu sore itu juga mengungkap fakta-fakta di sekitar tentang masih rendahnya pandangan terhadap peran perempuan berdasarkan pengalaman, persepektif, dan hasil tinjauan.
“Apabila ada 2 orang yang memiliki jabatan sama dan dalam pekerjaan yang sama pula, yaitu laki-laki dan perempuan, tetapi gaji laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Saya pernah merasakannya sendiri”, ungkap Anindya Restuviani yang merupakan Co-Director Hollaback! Jakarta.
Kartini Sjahrir (kiri) dan Anindita Sitepu (kanan) memperkenalkan Ngobrolin Indonesia dan Perempuan Peduli Kebinekaan dan Keadilan (PPKK)
Salah satu inisiator Ngobrolin Indonesia Anindita Sitepu menjabarkan tema dialog kali ini dengan menekankan pentingnya seluruh elemen masyarakat Indonesia agar bersama-sama menatap masa depan bangsa ini yang menghargai kebinekaan .
“Target Sustainable Development Goals tahun 2030 mengingatkan Indonesia pada agenda pembangunan yang sudah disepakati global, tidak ada satu golongan, ras, suku pun yang boleh didiskriminasi atau tidak mendapatkan haknya terhadap pembangunan yang setara”, kata perempuan yang akrab disapa Nindi.
Dr. Nurmala Kartini Sjahrir selaku Dewan Penasihat ASEAN Insitute for Peace and Reconciliation dan juga merupakan wakil dari PPKK berharap generasi muda semakin aktif dalam membuat ruang-ruang yang lebih luas untuk berkomunikasi mengenai pemahaman pentingnya nilai-nilai kebinekaan.
Sebab, menurut Kartini Sjahrir, keterlibatan generasi muda dalam setiap langkah bangsa bersama generasi-generasi sebelum mereka akan berdampak pada saling menguatkan pemahaman isu kebinekaan dan keadilan. Dengan begitu, masyarakat Indonesia bisa tetap saling menghormati tanpa mempersoalkan perbedaan yang ada.
Henny Supolo yang aktif dalam mengembangkan program-program untuk para guru dalam menghidupkan semangat kebinekaan dalam kesempatan yang sama juga ikut menyampaikan pesan-pesan reflektif. Henny Supolo mengingatkan bahwa kekurangan rasa menghargai terhadap kebinekaan disebabkan karena terlalu banyak bicara dan sangat kurang mendengar. Maka, sebagai para pejuang kebinekaan (yang hadir dalam acara ini) seharusnya lebih banyak mendengarkan mulai dari hal kesetaraan gender, keadilan kaum minoritas, dan lain-lain, karena banyak orang yang bukan tidak mau tetapi karena tidak tahu.[]
Dilaporkan: Sherin Vania Angjaya
Editor: Thowik SEJUK