Peserta disabilitas di Dermaga Muara Kamal, Jakarta Utara, dalam wisata JBFT ke Pulau Seribu (30/9)
Pembukaan Asian Para Games 2018 oleh Presiden Joko Widodo menjadi momen penting bagi pemerintah dan publik Indonesia untuk lebih memberikan perhatian pada hak-hak warga disabilitas. Karena itu, seluruh pihak harus mulai terlibat mendorong negara memenuhi tanggung jawabnya menyediakan akses kepada kalangan disabilitas agar mendapat hak yang setara dengan warga negara lainnya untuk secara mandiri menjalankan aktivitas sehari-hari.
Salah seorang disabilitas pengguna kursi roda Faisal Rusdi yang terlibat melatih para volunteer Asian Para Games supaya memahami dan sensitif terhadap kebutuhan atlit-atlit disabilitas, di antaranya, sangat mengandalkan pemerintah agar setelah perhelatan ini negara mulai melakukan upaya-upaya nyata untuk memastikan warga disabilitas bisa keluar rumah secara mandiri untuk beraktivitas. Selain mengapresiasi kerja serius pemerintah dalam menyelenggarakan Asian Para Games 2018, pelukis mulut asal Bandung ini juga memberikan kritik membangun terhadap tanggung jawab negara dalam menerapkan kebijakan-kebijakan yang inklusif.
Faisal menilai pemerintah terlambat dalam melibatkan komunitas disabilitas dalam persiapan Asian Para Games yang berdampak beberapa fasilitas stadion dan pendukung para atlit masih kurang ideal dan cenderung membahayakan disabilitas, baik sebagai atlit, penonton, panitia dan volunteer. Dari sana ia juga berusaha melihat secara umum bahwa negara harus banyak membenahi fasilitas-fasilitas publik agar lebih ramah terhadap disabilitas. Apa yang ia sampaikan ini berdasarkan pengalamannya mengaudit fasilitas umum dari mulai alat transportasi udara, darat seperti bis dan kereta, laut, hingga trotoar, halte, stasiun, terminal dan tempat-tempat wisata.
Pariwisata yang Membahayakan Disabilitas
Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT), sebuah komunitas yang terdiri dari disabilitas beserta beberapa masyarakat yang kerap melakukan audit fasilitas publik, mendapatkan banyak kendala atau hambatan bagi disabilitas untuk secara bebas dan mandiri beraktivitas mengakses fasilitas publik. Fakta tersebut Faisal dan teman-temannya alami dan saksikan sendiri ketika menjajaki transportasi air, pantai dan area di sekitarnya di lokasi wisata wilayah Jakarta.
Bersama Komunitas Historia Indonesia, kegiatan JBFT #43 – Historical Advanture Island ke Pulau Kelor, Onrust dan Cipir digelar sebagai bentuk wisata edukasi yang diikuti 25 peserta dengan melibatkan komunitas disabilitas. Annisa Rahmania (25), salah satu peserta tuli yang terlibat dalam kegiatan ini, mendapat kesan yang tidak mudah bagi dirinya dan rekan-rekan disabilitas lainnya untuk mengakses fasilitas-fasilitas publik menuju dan di dalam Pulau Seribu. Meskipun merasa senang dan menikmati karena bisa berwisata ke tiga pulau bersama para pendamping, namun risiko-risiko yang sangat membahayakan mengancam mereka sejak keberangkatan dari Dermaga Muara Kamal, Jakarta Utara, Minggu pagi (30/9) pkl. 07.30 WIB.
“Jalan-jalan bersama tuna netra dan tuna daksa membutuhkan banyak waktu karena akses mencapai ketiga tujuan wisata cukup menantang, terlebih para pendamping dapat mencederai dirinya dan disabilitas jika ceroboh dalam etika pendampingan,” ujar Nisa (30/9).
Pada saat pemberangkatan, beberapa pemandu dan pendamping membantu para disabilitas daksa untuk memasuki kapal. Proses ini terjadi kesulitan. Jembatan menuju ke kapal posisinya tidak sejajar dengan dermaga, karena sedikit menurun. Di samping itu jembatan yang terbuat dari bambu ini sangat sempit sekali dan tidak rapi, hanya pas untuk ukuran satu kursi roda, akibatnya menyulitkan pengguna kursi roda untuk dapat berjalan mulus di atas jembatan tersebut. Sehingga, para teman-teman disabilitas daksa harus dibantu untuk menuruni jembatan.
Para peserta wisata dan audit fasilitas publik dari JBFT dan Komunitas Historia Indonesia di Pulau Kelor, Kepulauan Seribu (30/9)
Wisata edukasi untuk menjajaki apakah transportasi air, pantai, dermaga beserta area sekitarnya dan pelayanannya sudah akses bagi disabilitas ini diikuti juga seorang artis tuli yang aktif dalam aksi-aksi intervensi publik dari Inggris, Aaron Williamson. Sehingga, kegiatan JBFT ini juga sangat penting untuk saling berbagi dan bersolidaritas sesama disabilitas dan lebih penting buat masyarakat dan pemerintah untuk membenahi fasilitas-fasilitas publik yang sangat minim dan jauh dari aksesibel.
“Aku berharap akses signage system jelas dan tepat penempatannya dan media visual yang memandai keterangan suatu informasi juga memadai,” ujar Nisa penuh harap kepada pemerintah.
Banyak kendala dijumpai ketika pendamping dan pemandu wisata harus membantu para penyandang disabilitas daksa untuk masuk ke kapal. Karena posisi jembatan tidak sejajar dengan kapal, melainkan posisi jembatan lebih rendah dari kapal, maka agar para penyandang disabilitas dapat naik ke dalam kapal, mereka harus diangkat oleh para pemandu dan pendamping.
Kendala dijumpai kembali ketika memasuki dermaga-dermaga pulau tujuan. Untuk dapat keluar dari kapal para peserta harus dibantu oleh para pemandu dan pendamping dengan mengangkat mereka beserta kursi rodanya ke dermaga. Sampai di dermaga, jalan untuk bisa menuju pulau harus melewati beberapa anak tangga, sehingga para peserta disabiltas daksa harus dibantu diangkat kembali.
Bentuk jalan-jalan di dalam pulau pun tidak semua sama tingginya atau sejajar. Beberapa ruas jalan mengharuskan warga disabilitas daksa untuk dibantu naik atau turun.
Pulau Kelor, Onrust dan Kecipir tidak memiliki fasilitas toilet umum yang dapat diakses disabilitas. Bahkan, museum di Pulau Onrust tidak disediakan ramp untuk para penyandang disabiltas daksa dapat masuk ke dalam museum dengan mudah.
Disabilitas Merepotkan?
Masalah akses lainnya adalah ketidaktersediaan pemandu wisata di ketiga pulau tersebut yang dapat menjelasakan tentang sejarah yang ada di sana ke dalam bahasa isyarat. Sehingga segala cerita sejarah di ketiga pulau tersebut tidak dapat diakses oleh disabilitas tuli.
Di akhir kegiatan wisata edukasi ini, Asep Kambali selaku ketua Komunitas Historia Indonesia menyampaikan bahwa tujuan dari kegiatan ini dimaksudkan agar ke depan tercipta akses yang dapat dirasakan oleh semua orang, termasuk oleh kelompok disabilitas.
“Karena memang saat ini akses pariwisata masih sangat minim untuk dapat diakses oleh kawan-kawan disabilitas. Ketika ide ini tercipta, jujur kami awalnya bingung bagaimana melakukan kegiatan ini. Tetapi teman-teman disabilitas meyakinkan kami bahwa sebenarnya kelompok disabilitas bukanlah kelompok yang merepotkan orang lain, justru mereka adalah kelompok yang dapat membantu kami,” tutur Asep.
Bagi Asep kelompok disabiltas adalah agent of change yang memberikan perubahan tentang paradigma dan pemahaman. Maka, menjadi tanggung jawab pemerintah yang mengelola daerah wisata untuk mengubah paradigmanya tentang disabilitas. Sehingga, seluruh warga dapat sama-sama mengakses dan menikmati tempat wisata karena oleh pemerintah disediakan fasilitas-fasilitas yang ramah bagi seluruh warga, tanpa terkecuali kalangan disabilitas.
“Saya cukup lama mengelola Komunitas Historia Indonesia, Kota Tua, termasuk juga ketiga pulau ini, tetapi baru kali ini ada teman-teman disabilitas yang berkunjung ke pulau-pulau ini,” ujarnya dengan nada prihatin dan berharap ada kerjasama lanjutan antara JBFT dengan pemerintah untuk perbaikan-perbaikan ke depan.
Salah satu peserta wisata JBFT ke Pulau Seribu (30/9)
Tanggapan yang sama juga disampaikan Aaron. Dirinya sempat kaget ketika melihat bagaimana proses yang harus dilalui oleh teman-temannya yang disabilitas mulai dari menuju dermaga, masuk ke dalam kapal serta keluar dari kapal yang sama sekali menurut Aaron Williamson tidak memberikan akses yang standar untuk para penyandang disabilitas. Berbagai fasilitas umum yang ada di dalam pulau seperti toilet pun tidak aksesibel. Museum-museum tidak dibangun ramp agar memudahkan disabilitas dengan kursi roda untuk memasukinya, termasuk pemandu wisata yang dapat menerjemahkan ke dalam bahasa isyarat juga tidak tersedia.
Namum demikian, Aaron sangat kagum dengan keberanian dan semangat kawan-kawannya sesama penyandang disabilitas dalam mengikuti kegiatan wisata ini sebagai upaya mengadvokasi pemenuhan akses fasilitas publik untuk semua warga, tanpa terkecuali. Sebab, agenda-agenda wisata JBFT yang sekaligus aksi sebagai audit fasilitas publik senantiasa menyertakan para pendamping yang mengetahui dan sensitif terhadap kebutuhan-kebutuhan dan jenis disabilitas, dengan masing-masing individu yang beragam: bagaimana memperlakukan pengguna kursi roda yang satu dengan lainnya secara berbeda, cara menuntun tuna netra sampai menyediakan penerjemah bahasa isyarat untuk tuli.
Jangan Berhenti di Asian Para Games
Faisal Rusdi pun menaruh harapan besar terhadap Presiden Joko Widodo agar pemerintah tidak cukup dengan memberi perhatian kepada warga disabilitas ketika penyelenggaraan Asian Para Games 2018 ini. Begitupun pelibatan-pelibatan disabilitas harus sering dilakukan pemerintah dalam program-program pembangunannya.
“Jangan euforia di Asian Para Games saja. Pemenuhan pelayanan pemerintah terhadap disabilitas harus juga dipikirkan keberlanjutannya. Sehingga, Indonesia terbangun aksesibilitas dan inklusi. Dan, disabilitas bisa keluar rumah secara mandiri,” ungkap aktivis JBFT ini.
Kebijakan inklusi dan edukasi kepada masyarakat sangat penting untuk senantiasa dilontarkan, menurut Faisal, agar pemerintah tidak terus-menerus mengabaikan hak-hak disabilitas. Karena itu, perhelatan Asian Para Games 2018 menjadi pembelajaran bersama sehingga istilah-istilah yang diskriminatif juga mulai dihindari dalam perbincangan publik Indonesia supaya tidak ada lagi stigma-stigma yang selama ini dilekatkan pada penyandang disabilitas.
Maka, sambung Faisal, istilah seperti inspirasi dalam tema Asian Para Games yang dilekatkan pada disabilitas harusnya tidak digunakan lagi.
“Disabilitas bukan ladang inspirasi, bukan manusia hebat. Kita sama. Sama dan setara dengan semua warga lainnya,” pungkasnya untuk menepis stigma-stigma di masyarakat yang masih kuat dari penggunaan-penggunaan bahasa atau diksi yang tidak setara.[]
Penulis: Rifah Zainani
Editor: Thowik