Pemimpin Redaksi Magdalene.co Devi Asmarani dalam workshop jurnalis SEJUK di Ambon (18/11)
Setelah awal Oktober 2018 lalu digegerkan kemunculan grup gay di Facebook yang anggotanya pelajar SMP dan SMA Garut, Jawa Barat, pemerintah dan aparat di berbagai daerah kemudian ikut bereaksi mengkriminalisasi dan mempersekusi kelompok LGBT. Meskipun warga LGBT tidak melakukan tindak kriminal, mereka mengalami kekerasan fisik dan psikis, baik yang dilakukan oleh warga maupun aparat.
Yang sangat disesali adalah pemberitaan media massa yang “tidak mampu” mengendus dan memverifikasi langsung kebohongan yang tersebar sejak awal Oktober lalu dari sebuah screenshot grup Facebook yang anggotanya 2600 lebih. Bahkan salah satu media online nasional terbesar membuat judul “3 Fakta Kasus Grup FB Gay di Garut dan Tasikmalaya, Anggotanya Ribuan hingga Tanggapan Ridwan Kamil” (10/10). Media yang sama sudah memberitakan hoax ini sejak tanggal 6 Oktober. Tentu saja, media-media besar lainnya tidak ingin ketinggalan untuk memberitakannya, bahkan dengan judul-judul yang sensasional.
Apa Tanggung Jawab Media?
Akibat beredarnya kabar grup Facebook gay di media sosial dan “digemakan ulang” oleh berita-berita media mainstream yang tidak terverifikasi, muncul gelombang aksi penolakan LGBT dari sekolah-sekolah dan ribuan pelajar di Garut. Tendensi-tendensi moral menjadi sudut pandang hampir setiap pemberitaan.
Baru setelah Kapolres Garut AKBP Budi Satria Wiguna menyatakan bahwa informasi yang beredar di media sosial dan masyarakat tentang grup FB tersebut hoax pada tanggal 11 Oktober 2018, sejak saat itu media mulai mengutip pernyataannya. Tetapi, daya rusak berbagai pemberitaan media tentang LGBT yang moralistis, memojokkan, tanpa mengacu pada fakta-fakta, kajian medis atau kedokteran, psikologi, dan instrumen hak asasi Manusia (HAM), terlanjur “menyihir” publik khawatir dan marah, sehingga membuat keberadaan warga dengan orientasi seksual LGBT menjadi semakin rentan.
Pemimpin Redaksi Magdalene.co Devi Asmarani mengungkapkan bahwa liputan-liputan media tentang LGBT sangat moralistis. Peliputan semacam ini ia sayangkan karena harus menimpa orang-orang yang tidak melakukan apapun yang merugikan masyarakat.
“Reportase sangat bias dan moralistis, sehingga memperkuat stigma terhadap komunitas LGBT dan menjadi bagian aktif yang memersekusi mereka,” papar Devi dalam Workshop Jurnalisme Keberagaman di Tahun Politik yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerjasama dengan AJI Kota Ambon di Ambon (18/11).
Di hadapan peserta workshop yang terdiri dari jurnalis yang tergabung di AJI Kota Ambon, AJI Ternate, AJI Manado, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon dan LPM UKIM Ambon, Devi Asmarani menuturkan bahwa kekeliruan-kekeliruan pemberitaan media disebabkan pengetahuan para jurnalis yang masih lemah terhadap isu LGBT, cenderung heteronormatif, dan kurang melihat dampak diskriminasi terhadap kehidupan mereka.
Untuk itu, sambung Devi dalam sesi hari kedua workshop SEJUK, para jurnalis harus memanfaatkan medianya untuk menghindari menjadikan LGBT kembali menjadi korban, re-viktimisasi, terutama terhadap mereka yang sudah menderita akibat kekerasan karena gender dan orientasi seksualnya berbeda, sexual orientation and gender identity or expression (SOGIE). Maka, menurutnya, dalam setiap memberitakan isu LGBT, sangat penting menyediakan konteks. Lebih jauh lagi, media juga didorong agar mulai menuntut negara memproses secara hukum para pelaku tindak kekerasan yang terus berulang menimpa LGBT.
“Media dapat memainkan peran penting dalam menentukan respons penegakan hukum terhadap kekerasan berbasis SOGIE,” Devi menegaskan.
Dampak Media yang Sensasional
Pada kesempatan yang berbeda, harapan serupa terhadap media disampaikan Dena Rachman, seorang transgender dan mantan artis cilik yang dulu bernama Renaldy. Di depan 20 jurnalis media nasional dan lokal dari Jakarta, Kupang, Makassar, Pontianak, Medan, Surabaya, Yogyakarta dan Jawa Barat, Dena sangat berharap media, dengan pengaruhnya yang powerful, mengedukasi publik dan menagih negara agar lebih menghormati keberagaman gender dan orientasi seksual, sebagai sesama warga Indonesia.
Dena Rachman dalam workshop jurnalis SEJUK di Jakarta (15/11)
Ia menyerukan hal tersebut dalam workshop jurnalis bertema Meliput Isu Kebergaman Gender dan Orientasi Seksual di tahun Politik yang digelar SEJUK di Jakarta Pusat (15/11). Apa yang dipaparkan alumni Ilmu Komunikasi Univeritas Indonesia (UI) dan program Design, Fashion and Luxury Goods di Universitas Bologna, Italia, ini berdasarkan pengalaman dirinya. Dena juga banyak kecewa terhadap pemberitaan media yang kerap menstigmatisasi dan mengkriminalisasi LGBT.
Dena Rachman bahkan mendeskripsikan bahwa media gemar mendiskreditkan LGBT dengan menyuguhkan asumsi-asumsi, ketimbang fakta.
“Media banyak memberitakan sensasi ketimbang prestasi-prestasi LGBT,” sesal Dena Rachman yang sangat prihatin pada kondisi komunitas LGBT yang semakin hari menjadi sangat rentan.
Hari-hari ini reaksi publik terhadap LGBT terus bergulir, terlebih sejak “sensasi” tentang grup Facebook gay di Garut itu. Isu LGBT juga dipolitisasi yang melibatkan pemerintah daerah beserta aparatnya.
Kini, salah satu RT di Sumur Utara, Klender, Jakarta Timur, mengusir penghuni kos yang transgender. Mereka juga memasang banner penolakan keberadaan LGBT di wilayahnya (Sumber: The Jakarta Post, 18/11).
Sebelumnya, penolakan terjadi di pertengahan Oktober lalu: Surat Edaran Pemerintah Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, diterbitkan 15 Oktober agar pengurus masjid, sekolah dan perangkat pemerintah kabupaten menyebarkan tentang bahaya LGBT. Di tanggal yang sama Wali Kota Balikpapan mewacanakan penerbitan Peraturan Wali Kota tentang Pembinaan, Pencegahan, dan Pelarangan LGBT.
Satpol PP Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, merazia 3 orang transgender dan menyemprot ketiganya dengan air mobil pemadam kebakaran pada 2 November 2018. 5 November Deklarasi Perangi LGBT di Payakumbuh, Sumatera Barat, diikuti Wali Kota Payakumbuh. 18 November beralih ke Padang yang mendeklarasikan penolakan LGBT dengan dihadiri Wali Kota Padang.
Kondisi LGBT yang kian darurat ini menuntut kehadiran negara. Tetapi, negara bukan melindungi warganya yang berbeda, malah turut mengkriminalisasi dan mempersekusi. []