Di tanah kita, agama dan tradisi saling memberi arti, membuka peluang untuk saling menghargai. (Najwa Shihab)
Kalimat tersebut menegaskan betapa Indonesia tidak dapat lepas dari keberagaman agama dan tradisi yang dimiliki. Keduanya saling mengisi.
Begitu juga yang terlihat pada Gereja Ijen Katedral Malang. Minggu (30/6), tim lokakarya Serikat Jurnalistik untuk Keberagaman (SEJUK) berkesempatan memahami lebih luas mengenai bagaimana agama dan tradisi dapat membuka peluang toleransi, khususnya di gereja tersebut. Hal senada disampaikan oleh Romo Emil, Pemimpin Gereja Ijen, bahwa sejak awal gereja ini dirancang untuk menciptakan kedamaian.
“Pada perayaan paskah kemarin misalnya, Bapak Walikota beserta Polresta Malang mengunjungi gereja juga, dan kami menerima,” lanjut beliau.
Gereja yang merupakan pemekaran dari Gereja Kayutangan ini dibangun oleh pemborong NV Bouwunding Buerau Siten en Louzada pada Februari 1934. Hingga akhirnya diresmikan pada 28 Oktorer 1934 yang juga ditandai sebagai hari ulang tahun gereja katedral. Berdiri di kawasan yang dulunya merupakan kompleks pemukiman orang Belanda, gereja ini memiliki sisi menarik bagi para penyuka dunia arsitektur atau fotografi, yaitu nuansa Neo-Gothic dalam bangunannya. Dibangun pada masa penjajahan Belanda, membuat asritektur bangunan gereja mengikuti arsitektur yang sedang berkembang di bangsa Eropa saat itu, yaitu Gotik.
Karakteristik dari gaya Gotik sendiri yaitu bentuk bangunan yang lancip ke atas sehingga menjadi penggambaran dari hubungan vertikal antara umat dengan Tuhan maupun horizonal dengan sesama manusia. Sama maknanya dengan nuansa Gotik, gereja yang dirancang oleh Rijksen en Estourgie ini bertujuan untuk memberikan suasana khidmat dalam beribadah.
“Maknanya sama, sama-sama menunjukkan kebesaran Tuhan, nama neo-gothic itu kan hanya menunjukkan batasan waktu atau masa saja,” jelas (Yoannes Paulus) Agung Kresdianto, salah satu Orang Muda Katolik (OMK) di Gereja Ijen.
Selain nuansa Gotik, ornamen-ornamen kuno khas Belanda juga terlihat masih terawat di gereja ini. Dari pintu masuk utamanya, corak kayu dengan model Belanda masih dipertahankan. Tiga lampu gantung panjang yang menghias titik tengah ruangan, dan jendela dengan aksen warna-warna yang memberikan kesan klasik dan nyaman. Begitu juga dengan bentuk utama dari gereja yang diapit oleh dua menara tinggi dengan hiasan jam raksasa kuno di sebelah kanannya. Corak-corak inilah yang kemudian menarik dan dijadikan sebagai spot foto oleh masyarakat.
Meskipun secara administratif gereja ini belum diakui sebagai cagar budaya, namun secara rekam jejak, gereja ini menjadi salah satu peninggalan kuno bersejarah. Latar belakang sejarah yang dimiliki oleh gereja katedral ini menjadi daya tarik tersendiri untuk masyarakat pada umumnya. Gereja ini kerap dijadikan sebagai obyek kegiatan-kegiatan non keagamaan seperti bakti sosial, jalan santai, dan fotografi. Dalam hal ini, Agung mengungkapkan mengenai keterbukaan mereka untuk menerima berbagai kegiatan yang ada. Tidak hanya kegiatan OMK, tetapi juga kerja sama pemuda-pemuda Malang lainnya.
“Bahkan kami pernah melakukan kerja sama dalam berbagai bakti sosial dengan remaja masjid,” jelas Agung.
Menurut keterangannya, Gereja ini juga sering dikunjungi turis asing yang tertarik pada arsitektur Neo-Gothic. Penerimaan-penerimaan itu juga terlihat ketika tim SEJUK hadir untuk melakukan liputan. Mereka menyambut dengan baik, menyiapkan tempat diskusi, dan bahkan menyediakan kudapan.
Penerimaan terhadap masyarakat umum pada dasarnya menjadi hal yang biasa dalam kegiatan mereka. Adanya latar belakang sejarah yang bisa dipelajari membuka peluang para akademisi untuk ikut memahami gereja maupun agama ini. Selain itu, corak bangunan yang dianggap mewah dan unik juga memberikan daya tarik kepada masyarakat umum untuk mengunjungi gereja tersebut, meskipun sekadar berfoto-ria atau melihat-lihat saja. Namun, setidaknya melalui aspek tersebut, membuka interaksi antar umat beragama. Sehingga, pengenalan dan pemahaman antar-umat beragama dapat lebih terbuka.
Selain gereja ini, perspektif arkeologi dalam toleransi beragama sebenarnya sudah ada sejak dulu dan terdapat dalam tempat ibadah lain. Misalnya cerita Karmawibhangga dalam relief Candi Borobudur yang menggambarkan masyarakat Jawa Kuno yang sangat menghormati pendeta-pendeta lain di samping bhiksu. Kemudian ditemukannya sisa-sisa candi Shiwa di sekitar Candi Borobudur yang menunjukkan bahwa Raja yang beragama Buddha Mahayana saat itu membiarkan rakyatnya untuk memeluk agama sesuai dengan pilihan mereka.
Benih-benih toleransi juga telah muncul seiring adanya multikulturalisme sejak masa Kerajaan Majapahit. Sebagai bentuk penanganan multi-agama, Hayam Wuruk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang memiliki nilai-nilai saling menghargai perbedaan dan toleransi antar agama. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk pencegahan konflik sosial-agama yang dimungkinkan timbul akibat dari penanganan yang kurang sesuai terhadap masyarakat multikultur.
Cerita-cerita tersebut memiliki kesamaan kondisi pada masa sekarang dan mendatang. Seperti halnya Borobudur yang tidak hanya memiliki fungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga salah satu wisata terkenal di Indonesia, bahkan dunia. Begitu juga dengan Gereja Ijen Katedral yang memiliki keindahan arsitektur Neo-Gothic sebagai daya tarik masyarakat. Oleh karena itu, prespektif sejarah yang dimiliki dalam setiap tempat ibadah atau agama tertentu dapat dijadikan pendekatan alternatif dalam merawat toleransi.
Mendukung hal tersebut, Romo Emil menjelaskan bahwa gereja pun dibangun tidak hanya untuk umat katholik, tetapi untuk semua umat Tuhan. Begitu juga dengan upaya-upaya toleransi dan perdamaian yang merupakan upaya yang universal. Dalam artian, bukan hanya karena Indonesia yang beragam. “Persaudaraan, perdamaian, itu sebenarnya hakekat orang beragama, untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri, merasa benar sendiri, tetapi suatu kehidupan bersama dengan yang lain,” tutup Romo Emil. []
Anis Nurul Ngadzimah adalah anggota Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia adalah peserta workshop pers mahasiswa yang diadakan oleh SEJUK kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF), Kementerian Hukum dan HAM RI, Unit Aktivitas Pers Mahasiswa (UAPM) Inovasi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan LPM Basic Universitas Brawijaya pada 28 Juni – 1 Juli 2019 di Malang.