
Aksi Tolak RKUHP di seberang Istana Merdeka, Jakarta (9/3/2018)
[Jakarta, 24 April 2020] – DPR dan pemerintah sedang mengambil kesempatan dalam kesempitan dalam situasi pandemi Covid-19 untuk terus membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Masyarakat sipil masih menilai, paradigma represif dan punitif masih digunakan dengan pasal-pasal yang masih sangat bermasalah dan untuk itu perlu ditolak pembahasaannya saat ini. Mengingat, masyarakat sedang tidak bisa berpartisipasi secara langsung, namun bukan berarti publik setuju dengan materi-materi RKUHP.
Pasal-pasal tersebut akan mengkriminalisasi persetubuhan di luar pernikahan, perzinaan dan kohabitasi, meskipun dilakukan oleh orang dewasa secara konsensual, tanpa paksaan dan kekerasan. Hal ini adalah bentuk serangan langsung terhadap privasi. Padahal, setiap orang dewasa memiliki hak untuk memilih bagaimana mereka menjalani relasi manusia di dalam lingkup pribadi dan mempertahankan martabatnya sebagai manusia bebas, sebagaiman dijamin dalam Konstitusi Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Selain itu, hak privasi seharusnya juga dijamin negara dalam Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (UU No. 12/2005) menyatakan; (1) Tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya. (2) Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan seperti tersebut di atas.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Sekar Banjaran Aji ketika mendiskusikan pasal-pasal privasi yang masih ada di RKUHP. Ia pun sangat menyesalkan Komisi III DPR RI yang berusaha mengesahkan RKUHP dengan pasal-pasal kontroversial seputar urusan privat tentang kohabitasi, zina, pencabulan, aborsi dan kontrasepsi, sementara menurutnya banyak sekali permasalahan publik yang lebih penting.
Sekar yang juga aktif di Aliansi Nasional Reformasi KUHP melihat akan semakin banyak terjadi kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok rentan seperti LGBTIQ jika RKUHP disahkan. Pasalnya, RKUHP menempatkan LGBTIQ tidak setara dengan masyarakat lainnya.
“Jika materi-materi urusan privat dalam RKUHP disahkan, maka kelompok rentan semakin rentan,” ujar Sekar yang menyampaikan kekhawatirannya ini dalam webinar Diskusi Media: Ketika Pasal-pasal Privasi RKUHP Terus Dipakasa Disahkan di Tengah Covid-19 yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Jumat (24/4/2020).
Dampak lain yang akan terjadi ketika negara terlalu masuk mengurusi wilayah privasi warga, sambung Sekar, penjara-penjara semakin penuh dan tidak bisa menampung, karena saat ini saja penjara sudah melebihi kapasitas.
Kebijakan yang tidak bijak
Menurut Dena Rachman, aktris dan aktivis, RKUHP memiliki tendensi untuk melihat sesuatu dari satu sisi nilai moral yang bisa jadi mengakomodir atau mempromosikan keyakinan kelompok tertentu dan menyingkirkan kelompok lain.
“Indonesia adalah negara demokratis yang menjamin kebebasan, namun kebebasan ini perlu dilihat dan dikaitkan dengan keyakinan dan keperluan orang lain lain juga yang berbeda-beda, tidak bisa kita memandangnya hanya secara subjektif, tapi juga objektif,” kata desainer yang sekaligus pengusaha yang kerap memamerkan produknya di berbagai negara.
Salah satu contohnya, pasal yang melarang praktek kohabitasi atau tinggal bersama. Menurut Dena, pasangan non-heteroseksual kesulitan untuk melegalkan hubungan mereka sehingga lebih memilih untuk tinggal bersama.
“Selama ini kelompok-kelompok ini saja sudah mengalami diskriminasi, kalau RKUHP diloloskan tidak hanya diskriminasi saja, tapi juga kena tindak pidana. Ini kan tidak mengakomodir semua kelompok masyarakat, karena disusun hanya berdasarkan satu sudut pandang saja,” tambahnya.
Dena tidak melihat adanya urgensi dari pembahasan RKUHP yang mengkriminalisasi ini. Terlebih, sambungnya, komunitas transgender bisa dijerat tiga pasal RKUHP sekaligus: kohabitasi, penggelandangan dan pencabulan.
“Apa sih tujuannya? Apakah agar menjadi alasan untuk mempersekusi kelompok-kelompok minoritas? Atau mempromosikan kelompok tertentu?” protesnya.
Menurutnya juga, DPR sebagai pihak yang merumuskan sering gagal melihat permasalahan yang tepat sehingga gagal juga menghadirkan solusi yang tepat bagi masyarakatnya.

Negara campur tangan urusan privat
Alih-alih menghargai dan melindungi ranah privat warganya, negara justru akan mengintroduksi masyarakat untuk ikut campur dalam masalah-masalah privasi warganya. Jika disahkan dengan pasal-pasal yang tidak menghargai hak privasi, dikhawatirkan, media akan banyak memberitakan masalah-masalah privasi daripada mengurusi kepuntingan public yang harusnya dikawal oleh media.
Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO Wahyu Dhyatmika juga melihat ketidakpatutan DPR RI, karena di saat bangsa ini dicekam Covid-19 justru digunakan untuk terus membahas RKUHP dengan pasal-pasal drakonian dan semangatnya punitif, bukan keadilan restoratif.
Karena itu, tugas media adalah memastikan DPR untuk menghentikan pembahasan RKUHP dan mendengar suara atau aspirasi publik. Sebab, yang sedang terjadi dalam kontroversi RKUHP yang memasuki ruang privasi warga adalah pertarungan nilai. Maka, media harus mengawal agar tidak terjadi pemaksaan atas kepentingan dan nilai-nilai kelompok tertentu.
“Peran media, sebagai bagian dari dari publik adalah memastikan pembahasannya inklusif, tidak ada pemaksaan. Memastikan kelompok minoritas suaranya disampaikan agar terjadi dialog itu, dan meminta DPR mersponnya,” paparnya.
Namun begitu, terhadap isu-isu privasi seperti tubuh dan seksualitas, ia menyadari banyak media yang tidak mematuhi Kode Etik Jurnalistik yang sebenarnya sangat tegas mengatur pers yang wajib melindungi privasi narasumber, tidak memberitakan hal-hal cabul dan tidak memberitakan berdasarkan prasangka atau diskriminasi, termasuk terhadap keberagaman gender dan seksual. Akibatnya, sangat mungkin media ikut andil dalam menciptakan kepanikan moral di masyarakat dan menjadi alasan DPR untuk terus membahas RKUHP.
“Mindset DPR tentang keterancaman kemerosotan moral, bisa jadi karena media membangun kesalahkaprahan, stigma terhadap minoritas,” duganya.
Wahyu menjelaskan, meskipun sebagai entitas bisnis, media juga mempunyai tujuan sosial, sehingga pemberitaan tidak dibenarkan mengumbar sensasionalisme dan menyudutkan kelompok tertentu. Tetapi, media yang merupakan ruang publik harus direbut dan diakses oleh kelompok rentan, jangan ditinggalkan.
“Keterhubungan redaksi dengan masyarakat sipil lainnya dan kelompok rentan perlu dilakukan, seperti audiensi. Datang ke media, nasional, lokal, ke wartawan. Kritik dan lakukan percakapan terus-menerus untuk memperbaiki situasi,” anjur Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
Ketika ada ketidakpercayaan terhadap prosedur yang berlaku untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan, maka ia mengingatkan agar semua pihak menggunakan kerangka hukum untuk menegur media-media yang melanggar kode etik.
Budhi Kurniawan, produser Kompas TV dan bagian dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) mengamini bahwa RKUHP berpotensi mengkriminalisasi banyak pihak, termasuk media. Dikhawatirkan RKUHP akan semakin menjadikan lebih banyak media yang membuat pemberitaan tentang isu-isu privasi sehingga menjadi edukasi baru bagi masyarakat. Ini tentu akan meningkatkan stigma dan diskriminasi kepada kelompok-kelompok tertentu bahkan minoritas.
Ia mencurigai bahwa DPR ingin terus dianggap bekerja bahkan saat pandemi ini saat melanjutkan pembahasan RKUHP, namun sayangnya pilihan RUU yang dibahas adalah yang menerima penolakan dari banyak kalangan.
“Mengapa RKUHP yang dibahas? Mengapa tidak RUU PKS yang lebih penting? Atau kebijakan-kebijakan yang mengakomodir kebutuhan kelompok minoritas saat pandemi Covid-19?” paparnya.
Selain kerap memberikan pemahaman terkait teknis peliputan dan menulis yang mengedepankan perspektif korban, menghindari sensasional dan isu privat, juga memberi perspektif tentang keberagaman, SEJUK juga kerap mengingatkan agar memilih narasumber yang tidak ikut menyerang korban atau menghasut.
“SEJUK dalam posisi ikut mengkritik pembahasan secara sembunyi-sembunyi saat masyarakat tidak bisa berdemonstrasi di situasi pandemi seperti sekarang,” sahutnya.