Pandemi Covid-19 sangat berdampak bagi penyandang disabilitas secara sosial, ekonomi dan kesehatan. Tidak sedikit penyandang disabilitas yang berprofesi di sektor informal sebagai pemijat, tukang parkir, berjualan makanan ringan maupun karya seni harus kehilangan mata pencaharian.
Kondisi inilah yang mengharuskan warga disabilitas tetap diam di rumah. Padahal, selama ini, sebelum pandemi, banyak disabilitas yang harus tinggal di rumah dikarenakan kesulitan akses untuk keluar rumah maupun pergi sekolah. Beberapa sengaja “disembunyikan” karena keluarganya malu. Dampak Covid-19 juga dihadapi penyandang disabilitas yang banyak tinggal di kota-kota kecil dan tidak tergabung di organisasi.
Kerentanan-kerentanan tersebut disampaikan inisiator Jakarta Barrier Free Tourism (JBFT) Cucu Saidah langsung dari akun Instagram @kabarsejuk2008 kepada 80-an audiens yang bergabung dalam diskusi bertema Disabilitas dalam Warna (25/4). Bincang-bincang bersama Cucu Saidah dan suaminya, Faisal Rusdi, membahas bagaimana kondisi disabilitas di tengah pandemi Covid-19.
Namun begitu, diakuinya bahwa penanganan dan respon Covid-19 oleh Kementerian Sosial (Kemensos) sebenarnya sudah mulai berjalan. Tetapi, sambung Cucu, yang perlu diperhatikan adalah kapan dan bagaimana insentif yang diberikan pemerintah selain sembako dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Pasalnya, masih banyak hambatan-hambatan yang harus dilalui penyandang disabilitas, sehingga perhatian dan keterlibatan banyak pihak, baik pemerintah maupun masyarakat menjadi sangat penting.
“Masih banyak penyandang disabilitas yang tidak masuk kartu keluarga (KK) sehingga tidak memiliki KTP yang mana adalah syarat mendapatkan bantuan dari Kemensos. Ini bisa jadi disebabkan karena keluarga yang malu terhadap keberadaan anak penyandang disabilitas,” ucap lulusan master Kebijakan Publik di Flinders University, Australia Selatan.
Saat ini, menurutnya, banyak penyandang disabilitas yang kesulitan akses ke rumah sakit untuk melakukan terapi, perawatan kesehatan ataupun mendapatkan obat. Sebab, situasi di rumah sakit tidak kondusif, lebih rentan, karena mengutamakan penanganan Covid-19. Sementara, akses informasi terkait Covid-19 di Indonesia juga masih belum menyentuh seluruh penyandang disabilitas.
“Apakah rumah sakit-rumah sakit rujukan dan kanal informasi resmi menyediakan teks atau juru bahasa isyarat untuk teman tuli?” demikian perempuan pengguna kursi roda ini menyangsikan.
Mengurangi Hambatan, Melawan Pemiskinan
Dilanjutkan Cucu, kondisi harus di rumah saja selama pandemi menimbulkan kekhawatiran baru. Penyandang disabilitas dapat kembali terlupakan keberadaannya, jika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tidak disikapi atau diterapkan dengan tepat. Padahal, melalui JBFT yang ia, suaminya Faisal Rusdi dan rekan-rekan disabilitas lainnya bangun sejak 2012, interaksi dengan masyarakat dan petugas pelayanan di transportasi publik mulai lebih baik dari sebelumnya, selain juga perubahan infrastruktur.
Selain menjadi wadah buat kalangan disabilitas rekreasi atau jalan-jalan, JBFT dikembangkan untuk mengedukasi publik dan menuntut tanggung jawab pemerintah agar hak-hak disabilitas dihormati dan dan dipenuhi secara setara, sebagai warga negara yang bermartabat. Advokasi JBFT untuk menghapus atau menghilangkan hambatan-hambatan supaya fasilitas-fasilitas publik menjadi aksesibel.
Karena itu, ia menekankan beberapa hambatan yang harus diperhatikan dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas: infrastruktur, perilaku atau sikap dari keluarga dan lingkungan sekitar, informasi, dan kebijakan (peraturan).
Sehingga, lanjut Cucu, hal paling sederhana yang dapat dimulai adalah dengan membuka forum diskusi untuk mengurangi stigma dari lingkungan sekitar. Selain itu, JBFT dan organisasi-organisasi disabilitas lainnya tidak boleh berhenti mengedukasi secara luas masyarakat dan mengadvokasi kebijakan-kebijakan pemerintah. Menciptakan budaya dan sistem yang inklusif dan berkeadilan adalah perjuangan panjang.
Secara berkelakar aktivis disabilitas kelahiran Garut, Jawa Barat, ini sampaikan, menjadi disabilitas di Indonesia tidak boleh miskin. Karena, akses yang ramah terhadap penyandang disabilitas masih sangat minim. Kalaupun ada, biayanya jauh lebih mahal. Hal ini dibenarkan suaminya, Faisal Rusdi.
“Ada taksi yang menyediakan akses penyandang disabilitas tapi harganya jauh lebih mahal. Begitupun dengan hotel yang menyediakan akses disabilitas biasanya bintang 4 ke atas, dan artinya biayanya tidak sedikit,” tukas pelukis mulut yang akrab disapa Uda Faisal yang ketika siaran langsung di Instagram Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) berdampingan dengan Cucu.
Bahkan, ungkap Faisal, untuk akses transportasi umum di kota besar seperti Jakarta saja masih parsial. Hal ini dikarenakan transportasi yang tersedia tidak menyediakan akses secara menyeluruh. Artinya, penyandang disabilitas seperti dirinya atau Cucu yang menggunakan kursi roda harus mengeluarkan biaya tambahan untuk menggunakan taksi.
Mengikis Stigma
Di sisi lain, kebanyakan disabilitas sebelum JBFT lahir merasa malu dan canggung kalau ketemu orang lain, apalagi harus minta bantuan. Tetapi, dengan kegigihan komunitas disabilitas, JBFT kemudian kerap diminta masukan oleh pemerintah maupun pihak swasta untuk memberi pertimbangan terhadap pembangunan infrastuktur atau kebijakan yang aksesibel.
Sehingga, penyandang cerebral palsy yang pertama kali menggelar pameran tunggal lukisan-lukisannya di Adelaide, Australia, ini berharap semakin banyak fasilitas publik yang dapat diakses disabilitas dengan biaya yang sama dengan warga lainnya.
Untuk itu, Faisal dan Cucu mendorong pemerintah serius untuk mewujudkan terbentuknya Komisi Nasional Disabilitas (KND) sebagai turunan dari implementasi UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. KND ini nantinya menjadi komisi untuk mengawasi implementasi segala bentuk UU dan peraturan terkait pemenuhan hak disabilitas di seluruh Indonesia agar tidak diskriminatif.
Di akhir diskusi keduanya menitikberatkan perihal pentingnya interaksi yang baik antara penyandang disabilitas dan masyarakat luas akan mendukung pengenalan terhadap penyandang disabilitas.
“Interaksi ini akan melunturkan stigma dan meningkatkan kesadaran pemenuhan akses bagi disabilitas,” pungkas Cucu.
Penulis: Yuni Pulungan