Mengapa individu LGBTIQ penting untuk beraliansi, penting mencari teman atau kemudian berada di bawah naungan organisasi? Itu adalah salah satu pertanyaan yang diajukan kepada Ketua Cangkang Queer Amek Adlian dalam siaran langsung di instagram SEJUK, Sabtu (9/5) lalu.
Disampaikannya, bisa jadi ada LGBT yang berada di kota kecil, sulit mencari akses, itu perlu untuk mencari aliansi. “Hal ini dikarenakan penting juga untuk mencari perlindungan saat ada hal2 tdk diinginkan, atau setidaknya punya wadah bertemu LGBTIQ lain lalu berbagi cerita, tambahnya.”
Aliansi yang dimaksud Amek bukanlah langsung organisasi besar dengan banyak orang. Jumlah dua hingga tiga orang saja disebutnya sudah aliansi. Untuk yang susah mencari teman, sekarang lebih mudah karena bisa cari lewat sosial media atau internet. Bisa juga dengan mencari komunitas LGBT di kota yang lebih besar. Biasanya akan diarahkan ke komunitas LGBT di daerah yang dimaksud.
Menurut Amek, itulah yang dilakukan Amek dan teman-teman saat mendirikan Cangkang Queer pada 2012 lalu. Setelah sebelumnya sudah bertemu, berbagi cerita dan berdiskusi duluan di dalam organisasi yang berbeda. Lalu memutuskan untuk membuat wadah khusus bagi komunitas LGBT di Sumatera Utara (Sumut).
Awalnya Cangkang Queer ada untuk memberikan ruang agar teman-teman LGBT di Sumut punya wadah berbagi cerita dan berdiskusi. Juga edukasi tentang pendalaman isu LGBT dan SOGIE. Hingga kini kerja-kerja yang mereka lakukan sudah berkembang sesuai empat pilar yang menjadi misi yaitu pendidikan, penelitian dan pengembagan, advokasi dan kampanye.
“LGBT ini kan rentan diskriminasi, baik oleh individu, media atau kelompok. Kalau sendiri, pasti dia bingung gimana cara membela diri. Tapi kalau beraliansi, dia tahu apa-apa saja yang harus dilakukan. Komunitas pun bisa mengupayakannya secara lembaga,” papar Amek.
Ini juga yang dilakukan Cangkang Queer saat ada pemberitaan tidak benar dan menyudutkan di media di Sumut, sebisa mungkin mereka mengajukan hak jawab agar pemberitaan tidak semakin berkembang dan menyebabkan disinformasi di masyarakat.
Meskipun begitu, aliansi yang dimaksud Amek tidak hanya terbatas terhadap kelompok LGBT saja, tapi juga media, akademi dan pemuka agama. “Dulu, memang kami Cangkang Queer takut ya sama media karena pemberitaannya sering salah dan menyudutkan, tapi kini kami mulai membuka diri dan membangun jejaring.”

Menurut Amek itu perlu karena akan membantu saat diperlukannya meluruskan disinformasi terkait LGBT atau memberitakan kegiatan2 yang dilakukan oleh komunitas LGBT. “Nggak semua kok ternyata wartawan yang menolak. Banyak juga yang terbuka sama LGBT.”
Bicara tentang media, Amek mengamini bahwa stigma dan disinformasi pada komunitas LGBT juga turut disebabkan oleh media massa. “Beritanya sering salah, tidak tepat, menyudutkan dan bias. Ini bisa jadi karena jurnalis dan media tidak paham SOGIESC, tidak punya perspektif HAM dan masih percaya bahwa dunia ini biner semua. Hitam dan putih,” papar Amek.
Hal inilah yang menjadikan membangun aliansi ke media massa juga perlu. Untuk membuka forum diskusi antara komunitas dan media, sehingga media memberikan ruang terhadap komunitas LGBT dalam pemberitaan. “Pelan-pelan, duduk bersama, diskusi. Kemarin ada sekitar dua hingga 3 media memberitakan acara donasi kami. Itu sudah kemajuan, membantu sekali,” ucapnya.
Amek juga bercerita, kejadian prank sampah oleh seorang youtuber kepada transparan di Bandung adalah dampak dari stigma dan disinformasi LGBT selama ini. “Orang itu merasa bahwa seksualitas itu biner, hanya ada dua, hitam dan putih. Jadi, transpuan menurutnya ya salah. Dia merasa punya kuasa dan transgender itu tidak lebih darinya. Itu jelas pemikiran yang jahat,” tambahnya.
Stigma pada LGBT juga berdampak pada kondisi kesehatan mental individu LGBT yang seringnya merasa tidak aman dan sering berpikir tidak memiliki ruang di masyarakat. Perlakuan-perlakuan diskriminatif terhadap kelompok LGBT sebagai buntut stigma dan disinformasi juga menjadikan LGBT tidak memiliki akses setara dalam mendapat pendidikan dan pekerjaan.
“Salah satunya sering diejek, itu sudah pasti. Ini bisa jadi menurunkan rasa percaya diri.”
Menyambut IDAHOBIT 2020, Amek percaya sudah saatnya kita bersama-sama memutus rantai fobia terhadap LGBTIQ. Yang selama ini diam saja, marilah kita sama-sama menyerukan isu-isu perjuangan kesetaraan hak-hak LGBT menjadi isu bersama dan semua orang. Dengan begini, semoga stigma dan disinformasi terkait LGBT tidak ada lagi.