
Ada 32 kasus penodaan agama dari Januari sampai awal Mei tahun ini yang menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menjadi potret meningkatnya pelanggaran terhadap hak dan kebebasan warga. Ia menyebut, di antaranya, kasus yang menimpa Romesko Purba yang memperjuangkan gerejanya di Karimun, Kepulauan Riau, kemudian dilaporkan ke polisi dan dijerat pasal penodaan agama.
Banyaknya korban yang dijerat dengan delik penodaan agama, menurut Asfin, disebabkan aparat hukum yang tidak menjalankan penegakan hukum sesuai dengan instrumen hak asasi manusia (HAM). Yang menjadi pertimbangan aparat adalah fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), adanya desakan massa, kemudian polisi menggunakan alasan ketertiban umum atau meresahkan masyarakat.
“Definisi penodaan agama terus berkembang, seperti tafsir yang berbeda dari mainstream, menyatakan sesuatu yang dianggap menghina, kritik terhadap agama atau ajaran lain, kritik terhadap pemahaman ajaran agama lain, otokritik terhadap ajaran yang dianutnya,” papar Asfin dalam webinar “22 Tahun Reformasi: Kebebasan dalam Masyarakat yang Makin Religius” yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Internews, Rabu (13/5).
Sehingga, lanjut dosen hukum acara pidana Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini, ketika ada orang yang kritis dan berbeda pendapat atau ekspresi tentang agama akan dengan mudah dikriminalisasi menggunakan Undang-undang No. 1 PNPS 65 dan turunannya serta pasal-pasal penodaan agama yang terdapat dalam Undang-undang ITE dan Undang-undang Ormas.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan yang tidak bisa ditawar dan harus dijamin negara dalam praktiknya banyak dilanggar Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang punya wewenang merekomendasikan perizinan pendirian rumah ibadah.
“Di beberapa tempat FKUB menjadi solusi, tapi sedikit,” ungkapnya, seraya menunjukkan dua kesalahan mendasar dari FKUB, pertama, menyerahkan hak warga yang menjadi tanggung jawab negara kepada warga sekitar (terkait tanda tangan perizinan pendirian rumah ibadah) sehingga ini menjadi penyebab meningkatnya intoleransi, dan, kedua, persoalan agama itu bukan urusan daerah, tapi pusat.
Jaleswari Pramodhawardani: Kerja Sama Semua Pihak untuk Melawan Intoleransi
Menanggapi hal tersebut, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam mengatasi potensi-potensi ancaman demokrasi dan memperbaiki implementasi aturan-aturan yang belum dijalankan dengan benar oleh aparat dan pemerintah daerah.
Persoalan-persoalan penegakan hukum dan kebebasan beragama dan berkeyakinan, menurutnya, tidak hanya menjadi urusan satu sektor atau lembaga pemerintahan saja. Masyarakat sipil dan media juga harus mengambil peran pengawasan dan bersama-sama melakukan evaluasi dan koreksi.
“Ada orang-orang pemerintah yang perlu dikawani untuk melawan intoleransi,” ajak Dani karena tantangan hari ini untuk memerangi hoaks dan ujaran kebencian berhadapan dengan kedigdayaan teknologi, non-state actor.
Ia juga meminta FKUB diawasi bersama agar bisa bekerja untuk menciptakan kerukunan dan memerangi sikap-sikap intoleransi. Sebab, dari pengamatannya, di beberapa daerah anggota atau pengurusnya tidak mencerminkan keberagaman agama dan keyakinan yang ada. Baginya, FKUB yang baik apabila proses rekrutmen anggotanya merefleksikan kebutuhan masyarakat yang tepat.

Terlebih lagi, Dani melihat bahwa benih-benih intoleransi sudah lama tersebar melalui institusi pendidikan. Ia menjelaskan, jika mengacu pada penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) sepuluh tahunan yang lalu tentang maraknya intoleransi dan radikalisme dalam dunia pendidikan, maka banyak dari mereka yang waktu itu diwawancarai sekarang sudah bekerja bahkan di instansi-instansi pemerintahan dan menularkan pandangan dan sikap intoleransinya.
“Intoleransi bukan hanya di pelajarnya, mahasiswa, tetapi juga guru-guru dan pengajarnya,” ujar Dani mengingatkan ke semua pihak.
Sementara, inkonsistensi pemerintah dalam menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan justru menurut peneliti Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad makin mengeraskan intoleransi. Ia menyesalkan diterbitkannya Undang-undang Ormas dan pelarangan Hizbu Tahrir Indonesia (HTI) yang tidak mengurangi diskriminasi dan intoleransi yang terus meminggirkan kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah.
“Upaya pemerintah mengatasnamakan kebebasan dengan melarang kelompok lain tidak mengurangi diskriminasi, tapi justru menambah. Yang seharusnya ditegakkan itu adalah kebebasan setiap orang. Dan, kita tidak bisa menghukum orang hanya karena kita menganggap suatu ketika dia akan melakukan pengrusakan,” kata Saidiman.
Dalam webinar yang dimoderatori Ahmad Junaidi, editor The Jakarta Post ini, Saidiman mengajak seluruh pihak, terutama pemegang kebijakan, untuk percaya diri bahwa berdasarkan penelitian SMRC yang dirilis 2019 menunjukkan 82% masyarakat Indonesia percaya pada sistem demokrasi dan kebebasan dengan kelompok yang paling dibenci adalah ISIS.
(Proses webinar lengkap dapat diikuti di: https://www.youtube.com/watch?v=fYsWpH3dSgM)
“Jadi sebetulnya kita semua dan pemerintah punya modal yang sangat besar untuk menegakkan demokrasi dan kebebasan karena mendapat dukungan dari publik,” saran salah seorang pendiri SEJUK ini.
Pada kesempatan yang sama Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan menyampaikan tantangan kebebasan pers dalam kaitannya meliput isu-isu agama. Secara umum, pelaku yang sering mengancam dan merampas kebebasan pelaku pers adalah polisi, tentara, pejabat pemerintahan juga publik. Tetapi, lanjutnya, setelah aksi 212 pada Desember 2016, seperti ada cluster baru yang menjadi ancaman bagi pekerja pers, yaitu ormas agama.
“Peristiwa itu seperti membuka kotak pandora kasus intoleransi di Indonesia, kebetulan Ahok yang menjadi trigger-nya saat itu,” kata Manan sambil menunjukkan data kekerasan terhadap jurnalis yang terus meningkat sejak 2015 dan mencapai puncaknya dengan total 81 kasus pada tahun 2016.[]
Penulis: Thowik & Yuni Pulungan