Keamanan digital saat ini menjadi isu sangat penting mengingat banyak terjadi ancaman dan kriminalisasi di dunia siber. Ketika aktivitas masyarakat selama pandemi semakin tergantung dengan internet, ancaman digital terhadap warga untuk berpendapat dan berekspresi justru terus meningkat.
Kecemasan seperti ini dirasakan sekali oleh kalangan jurnalis yang bekerja di ranah siber. Karena itulah jurnalis dan pengecek fakta TEMPO Ika Ningtyas mendorong para jurnalis agar mengetahui bentuk-bentuk ancaman di ranah online, bagaimana benar-benar memahami dan memastikan keamanan digital pada perangkat kerja maupun tempatnya bekerja.
“Sebelum era digital saja banyak jurnalis yang kritis yang mendapat serangan, sehingga saat ini jurnalis semakin rentan terhadap ancaman,” papar aktivis Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) ini dalam workshop online bertema Jurnalisme Keberagaman: Merawat Toleransi di tengah Covid-19 (8/7).
Menurutnya, ancaman digital adalah tindakan kejahatan yang berupaya merusak dan mencuri data atau mengganggu kehidupan di dunia maya secara umum. Dari sanalah Ika yang juga pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia ini mengajak para peserta workshop yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) bekerja sama dengan Internews ini agar lebih waspada mengingat banyak ancaman keamanan digital bisa menjadi pintu atau bersamaan atas terjadinya bentuk-bentuk kekerasan fisik.
Selain pandemi berdampak pada meningkatnya kekerasan digital, angka kekerasan terhadap perempuan juga ikut menanjak. Hal tersebut disampaikan oleh Pemimpin Redaksi IDN Times Uni Lubis yang menyayangkan media-media melupakan isu-isu perempuan selama pandemi.
Hal tersebut menurut Uni Lubis disebabkan rendahnya media yang sensitif gender, dari tingkat redaksi sampai jurnalis lapangan, termasuk jurnalis perempuan.
“Belum tentu jurnalis perempuan bisa menulis berperspektif gender,” kata mantan pengurus Dewan Pers selama dua periode ini kepada 16 jurnalis dari wilayah Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
Kombinasi konstruksi sosial yang bias gender dan orientasi bisnis, lanjut mantan pemimpin Rappler Indonesia, membuat jurnalis dan media lupa pada tugasnya: voicing for the voiceless.
Workshop SEJUK yang berlangsung 6-8 Juli 2020 ini juga menghadirkan Ketua Jemaat Ahmadiyah Tasikmalaya Nanang Darojat dan Huria Kristen Indonesia (HKI) Pdt. Hary Jese Hutagalung. Keduanya menyampaikan kesaksian dan kronologi kasus diskriminasi yang menimpa rumah ibadah mereka. Maulidya mewakili komunitas LGBTIQ juga ikut testimoni.
Perjumpaan secara virtual kelompok korban atau minoritas dengan kalangan jurnalis ini mencairkan kekhawatiran jurnalis-jurnalis di daerah ketika memberitakan isu-isu kebebasan beragama yang dapat berakibat pada keamanan dirinya dari ancaman kelompok-kelompok yang tidak sungkan menggunakan kekerasan karena alasan agama. Media lokal juga kerap melakukan swasensor pada isu-isu kebebasan beragama yang memberikan suara pada kelompok korban atau minoritas.
Namun, di ujung kegiatan jurnalis dari Bandung, Iqbal (Tempo), berpikir untuk mengangkat diskriminasi yang dialami gereja HKI Bandung yang sejak 2012 sampai hari ini belum mendapatkan izin pendirian rumah ibadah.
Sebelum sampai sesi testimoni, para peserta terlebih dahulu mendiskusikan materi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, secara konseptual dan berbasis hak asasi manusia (HAM) yang dibawakan Saidiman Ahmad, peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Daniel Awigra, deputi direktur Human Rights Working Group (HRWG). Materi Jurnalisme Keberagaman dan Panduan Meliput Keberagaman disampaikan editor The Jakarta Post yang sekaligus Direktur SEJUK Ahmad Junaidi dan produser KOMPAS TV Budhi Kurniawan.
Rangkaian dari kegiatan workshop ini digelar juga coaching story grant. 16 peserta mempresentasikan proposal liputannya pada Sabtu siang (11/7). Para mentor story grant kemudian memilih 10 proposal liputan yang berhak mendapatkan beasiswa liputan isu keberagaman masing-masing Rp 7.000.000.
Berikut adalah 10 proposal liputan story grant wilayah Jakarta, Jawa Barat dan Banten:
– Nasib ARV di Masa Pandemi (Aulia Adam, tirto.id)
– Pengikut Sunda Wiwitan yang Tersisa di Tasikmalaya (Bambang Arifianto, Pikiran Rakyat)
– Komunitas Transpuan di Bandung Pasca-Kasus Prank Ferdian Paleka (Emi La Palau, suara.com)
– Pemakaman Tionghoa di Cirebon (Erika Lestari, ayocirebon.com)
– Perempuan Nelayan Jakarta Utara Berhadapan dengan Reklamasi, Patriarki dan Pandemi (Faisal Irfani, VICE)
– Pemerintah Bungkam, Bahaya Laten Konflik SARA di Indonesia (Felix Nathaniel, tirto.id)
– Nasib Perempuan ODHA Terdampak PHK (Lea Citra, KBR 68H)
– Pernikahan Beda Suku, Etnis dan Agama di Indonesia (Siti Parhani, magdalene.co)
– Kondisi Komunitas Ahmadiyah Pasca-Relokasi dari Cikeusik ke Cipondoh (Togar Harahap, fin.co.id)
– Yahudi dalam Bayang-bayang Merah Putih (Vanny El Rahman, IDN Times)