Ketegangan etnis masih menjadi isu dominan dalam perbincangan orang muda tentang keberagaman di Kalimantan Barat (Kalbar). Upaya-upaya untuk mengatasi kecemasan agar konflik etnis tidak terulang menyita perhatian kalangan mahasiswa. Sementara, diskriminasi terhadap minoritas seksual tak luput mereka angkat.
Sehingga, tantangan mengelola perbedaan etnis, agama, gender dan seksualitas di tengah masyarakat agar tercipta kehidupan yang harmonis dan damai adalah bagian dari dinamika Training & Story Grant Anak Muda Suarakan Keberagaman di Pontianak yang digelar pada 5-8 Maret 2021.
Tak pelak, Teresia, transgender perempuan atau transpuan dari Pontianak, menyampaikan rasa syukurnya karena dapat mengenyam pendidikan di salah satu universitas negeri di Kalimantan Barat (Kalbar). Di hadapan 20 mahasiswa dari kampus-kampus Kalbar dan Kalimantan Timur, Teresia, bukan nama sebenarnya, mengaku beruntung bisa kuliah tanpa harus menyembunyikan identitas dan ekspresi gendernya.
Apa yang diungkapkan Teresia bukan tanpa alasan, mengingat banyak kampus di Indonesia yang tidak menerima LGBT termasuk di institusi pendidikan lainnya. Namun, kecemasan Teresia paling besar adalah keluarganya yang tidak menerima ketika awal mula berproses menunjukkan identitasnya sebagai transpuan.
“Ayah saya seorang militer. Keras sekali. Saya disuruh masuk TNI. Awalnya sangat takut jika ayah tahu, tetapi perlahan akhirnya beliau tahu orientasi seksual saya. Ayah saya tidak menerima,” kenang mahasiswi yang mulai aktif di Pelangi Khatulistiwa, sebuah komunitas yang mewadahi solidaritas LGBT dan bergerak dalam pendampingan serta pencegahan HIV/AIDS di Pontianak.
Penerimaan Ragam Identitas di Masyarakat

Setelah bertahun-tahun menempuh usaha kuat dan intens supaya keluarga menerima perbedaan identitas gender dan orientasi seksual anaknya yang beda, Teresia kini kembali mendapat pelukan ayah maupun ibunya. Penentangan dari orang tuanya berakhir, sebaliknya mereka mendukung langkah Teresia menggapai cita-citanya, tanpa menyembunyikan identitas gender dan seksualnya.
“Saya tidak bisa hidup sebagai laki-laki, karena saya perempuan. Maka saya harus melakukan sesuatu yang membanggakan, positif,” demikian tekad kuat Teresia untuk terus menunjukkan kepada keluarga dan masyarakat bahwa transpuan sama seperti manusia dan warga negara lainnya mampu berprestasi di bidang yang digelutinya, terlebih jika publik Indonesia menerima mereka.
Keberuntungannya semakin bertambah lantaran dia selama empat hari berada di tengah-tengah mahasiswa dari berbagai macam identitas agama dan etnis. Ia dan peserta training lainnya dapat secara terbuka berdiskusi tentang toleransi, kebebasan beragama dan bereskspresi begitu juga penghargaan terhadap LGBTIQ. Kegiatan ini dilaksanakan dengan menjalankan protokol kesehatan secara ketat dan terselenggara atas kerja sama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dengan panitia SEJUK Kalbar dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Warta IAIN Pontianak. Semua yang terlibat dalam training adalah yang telah membuktikan rapid test antigennya dengan hasil negatif.
“Setop berpikir untuk mengubah. Orientasi seksual yang berbeda itu bagian dari kesempurnaan, bagian dari keberagaman. Terimalah fakta,” ajak Koordinator SEJUK Kalbar Dian Lestari kepada para mahasiswa yang aktif di pers kampus dan media sosial itu.
Karena itu, Ketua AJI Pontianak periode 2017-2020 ini meminta peserta yang terdiri dari 13 perempuan dan 7 laki-laki ini agar dalam membuat berita atau postingan baik di media kampus, komunitas, maupun media sosial tidak menggunaan diksi menyimpang, tetapi memakai keberagaman ketika mengangkat isu gender dan seksualitas. Dian yang dalam training ini mengisi materi tentang isu keadilan gender dan seksualitas di media juga mendorong peserta agar menghindari judul bombastis dan sensasional.
Sehingga, lanjut Dian, karena isu dan pengetahuan LGBT itu relatif baru, penting bagi kalangan jurnalis dan aktivis media sosial untuk mengakui kesalahan agar tidak mengulanginya, justru terus memperbaiki. Selain itu, kepada sesama jurnalis dan mahasiswa ia himbau untuk saling mengingatkan jika menjumpai pemberitaan isu LGBT dan keberagaman lainnya yang menguatkan stigma dan menyudutkan kelompok tertentu.
“Kalau ada teman yang membuat judul bombastis, tegur saja,” saran Dian yang sekaligus mengingatkan para peserta terkait dampak pemberitaan isu-isu sensitif di Kalbar agar tidak memicu konflik yang lebih besar.
Perjumpaan, Awal dari Kerja Sama Keberagaman

Narasumber lainnya dalam training ini adalah Program Manager Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad yang membawakan prinsip kebebasan dan demokrasi, Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra tema HAM kebebasan beragama dan berekspresi, Direktur SEJUK Ahmad “Alex” Junaidi seputar dosa-dosa media, Executive Producer KOMPAS TV Budhi Kurniawan tentang Jurnalisme Keberagama, panduan peliputan, dan Ketua Hoax Crisis Center (HCC) Kalimantan Barat Reinardo “Edho” Sinaga materi media sosial: ekosistem keberagaman untuk orang muda.
Training ini membawa para peserta berinteraksi langsung saling memahami komunitas-komunitas rentan dengan mengunjungi jemaat Ahmadiyah, perempuan-perempuan Madura korban konflik yang menenun kain Sambas, masyarakat Baha’i, dan berjumpa komunitas LGBT Kalbar.
Sementara, mewakili peserta Kalimantan Timur, Syalma Namira dari LPM Sketsa Universitas Mulawarman Samarinda menumpahkan rasa bangga dan bahagianya mendapat kesempatan menggumuli keberagaman secara langsung. Ia sangat berharap perjumpaan dengan kalangan mahasiswa dari beragam identitas agama, etnis dan seksualitas ini terus dilanjutkan dalam aksi-aksi bersama. Ia mengajak kolaborasi dalam meramaikan medianya masing-masing, baik media kampus maupun media sosial, lewat unggahan isu-isu toleransi terhadap keberagaman.
“Aku pertama kali bertemu transpuan, terima kasih Teresia. Aku juga bertemu kawan-kawan yang hangat dari berbagai etnis, aduh aku mau nangis…,” ungkap perempuan yang akrab disapa Alma penuh ekspresi.
Peraih Story Grant Keberagaman

Kedalaman kalangan mahasiswa Pulau Borneo membahas isu etnis, agama dan minoritas seksual tampak dari proposal-proposal liputan para peserta. Proposal-proposal tersebut dipresentasikan dalam proses coaching oleh mereka yang kemudian dipilih 10 untuk diteruskan menjadi liputan yang mendapatkan beasiswa terbatas masing-masing Rp3.000.000.
Seluruh kegiatan training dan story grant yang dilakukan di Pontianak ini didukung oleh USAID dan Internews.
Dian Lestari bersama Edho Sinaga dari SEJUK Kalbar serta Yuni Pulungan, Budhi Kurniawan, Tantowi Anwari, Saidiman Ahmad, dan Maulidya Rohmatul Umamah dari SEJUK Jakarta memilih 10 proposal peraih story grant berikut ini:
- Desa Kalibandung: Merawat Hutan Merawat Keberagaman – Mar’atushsholihah, LPM Mimbar Untan Pontianak.
- Gondrongisme dan Bayang-bayang Kekerasan Seksual – Mita Anggraini, LPM Mimbar Untan Pontianak.
- Hak Anak Dirampas Karena Pernikahan Dini – Yasmin Medina Anggia Putri, Universitas Mulawarman Samarinda.
- Kehilangan Pekerjaan Saat Coming Out – Yosi Yoputra Sari, LPM Warta IAIN Pontianak.
- Kekerasan Seksual dan Bela Diri – Eufemia Santi, LPM Mimbar Untan Pontianak.
- Kelompok Ibu Single Parent Dampingi Korban Kekerasan Seksual di Samarinda – Syalma Namira, LPM Sketsa Universitas Mulawarman Samarinda.
- Melihat Lebih Dekat Pernikahan Syarif/Syarifah dengan non-Syarif/Syarifah – Jhihan Ramadhani, LPM Warta IAIN Pontianak
- Mengenal Agama Baha’i di Kalimantan Barat – Doni Chairullah, IAIN Pontianak
- Stigma dan KDRT: Orang Madura Kasar? – Dedek Indah, IAIN Pontianak
- Stigma ‘Orang Barak’ Terhadap Etnis Madura Korban Konflik Sambas – Sopian Lubis, IAIN Pontianak
Selamat!
***
Keterangan cover: Peserta Training & Story Grant Anak Muda Suarakan Keberagaman mengunjungi komunitas Ahmadiyah di Pontianak pada Minggu (7/3). Dalam kunjungan ini peserta banyak berdiskusi untuk mengenal Ahmadiyah dan mendengarkan langsung bagaimana kehidupan mereka di Kalimantan Barat secara khusus dan Indonesia secara umum.