Laki-laki paruh baya itu berambut cepak berbaju putih. Ia menyambut kami dengan senyum lebar lalu menyodorkan tangannya untuk menyalami kami satu per satu. Tak menunggu waktu lama, ia menuntun kami menyambangi kediamannya. Kami melewati Lorong Wisata yang dipenuhi cat warna-warni, karya masyarakat Pelita Raya, Kota Makassar. Lelaki itu adalah Helmy (50), salah satu penganut agama Baha’i di Kota Makassar.
Dalam sejarah Indonesia, Agama Baha’i menjadi salah satu agama yang kerap didiskriminasi. Pada era pemerintahan Presiden Soekarno agama Baha’i dilarang. Pelarangan itu dituangkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 264 Tahun 1962. Alasannya, karena dianggap bertentangan dengan revolusi dan juga cita-cita Sosialisme Indonesia. Namun setelah reformasi, Keppres itu dicabut. Pencabutannya tertuang melalui Keppres Nomor 69 Tahun 2000. Hingga kini, penganut agama Baha’i masih eksis di Indonesia.
Rumah berlantai dua dengan konsep modern. Tempat ini kerap menjadi lokasi berkumpul penganut agama Baha’i untuk melakukan perayaan agama. Di rumah ini, Helmy tinggal bersama keluarganya.
Meski sang istri menganut agama Islam, Helmy mengatakan istrinya kerap membantu memfasilitasi kegiatan agamanya. “Istri saya Islam, makanya sering diskusi sama istri terkait perpindahan agama, tapi saya sering katakan agama itu satu, Tuhan itu satu.”
Agama yang berasal dari Persia ini adalah agama monoteis yang percaya bahwa semua agama bersumber dari Tuhan yang sama, Tuhan yang Maha Esa. Agama Baha’i, sambung Helmy, menerima adanya agama-agama sebelumnya, seperti Hindu, Budha, Zoroaster, Yahudi, Kristen, Islam, dan agama lainnya.
“Makanya, kita itu yakini bahwa semua utusan itu sama, memang sama dengan Bahaullah,” tutur Helmy.
Awal mula menganut Baha’i, Helmy bilang, sempat menemui pertentangan dari sang istri. Tak hanya keluarga, laki-laki yang bekerja sebagai driver ojek online ini bahkan pernah menjadi perbincangan di masyarakat. Saat itu ia tengah mengikuti musyawarah sebagai pemandu acara.

“Pada saat sesi doa, saya persilakan warga untuk berdoa, tapi tidak ada yang mau Jadi saya baca doa sesuai agama saya. Karena saya menganggap bahwa doa itu untuk semua orang,” kenangnya.
Kejadian itu, sontak memicu keberatan beberapa masyarakat, meski tidak mereka sampaikan secara langsung kepada Helmy.
“Mungkin dia (masyarakat) berpikir kenapa doa Baha’i dibaca di dalam masjid,” tebaknya.
Namun begitu, atas pendekatan yang toleransi bahkan tidak mempersoalkan perlakuan masyarakat, perlahan Helmy diterima. Bahkan saat ini, ia hidup berdampingan dengan rukun dengan masyarakat yang berbeda keyakinan. Terbukti, saat ini Helmy tengah menjabat sebagai Dewan Lorong.
Lorong Wisata adalah karya bersama warga di satu titik Kota Makassar yang dikembangkan penuh warna dengan beragam kegiatan. Helmy sebagai Dewan Lorong berperan sebagai salah satu inisiator agar lingkungannya menjadi lebih hidup. Banyak masyarakat lain dan para pejabat Kota Makassar dan Provinsi Sulawesi Selatan yang mengunjungi Lorong Wisata ini.
“Saya lihat, agama ini (Baha’i) tidak menyimpang dari agama lain. Semua yang mereka lakukan dalam bentuk sosial. Apalagi Pak Helmy selalu sosialisasi masyarakat untuk melakukan edukasi,” tutur Ros (51) salah satu tetangga Helmy penganut agama Islam dan menjabat sebagai RW.
Ros merasa peran Helmy di lingkungan mereka sangat membantu. Lorong Wisata adalah bukti keaktivan Helmy membaur dengan warga.
Helmy sendiri mengenal agama Baha’i dari ayahnya yang juga menganut kepercayaan yang sama. Berbeda dengan Helmy yang bisa mengakui keyakinannya pada keluarga dan masyarakat. Helmy tidak, malah menyembunyikan.
“Dulu agama Baha’i dilarang, baru dibuka (tidak dilarang) itu saat era Gus Dur,” kata Helmy.
Kendati agama Baha’i sudah tidak dilarang, penganut agama ini tetap enggan menunjukkan identitas keyakinannya secara terbuka. Kata Helmy, di Makassar sendiri penganut kepercayaan ini pernah berkisar hingga 300 orang. Sayangnya, kini jumlah penganut agama ini sulit untuk diketahui secara pasti, ” Banyak yang tidak mau mengakui kalau mereka agama Baha’i jadi kami tidak tau angka yang pasti,”tutur Helmy.

Agama Baha’i, Mengusung Toleransi
Muthrib (23), salah satu penganut agama Baha’i menuturkan, landasan agama Baha’i adalah keyakinan bahwa Allah dan pendahulunya dikenal sebagai Bab. Dalam bahasa Persia, Bab berarti gerbang, “Bab ini sebagai persiapan kedatangan sang Bahaullah,” kata Muthrib.
“Abdul Baha kemudian mempercayakan kepada Shoghi Effendi untuk membangun keadilan sedunia. Keadilan sedunia yang dipercaya hingga saat ini, tujuannya untuk membimbing umat Baha’i, agar terarah dan tidak melenceng dari ajaran,” tambah Muthrib.
Muthrib kemudian menyerahkan kepada peserta kami kitab kumpulan doa. Kitab yang bersampul biru itu berisikan doa-doa sembahyang, doa pernikahan bahkan prinsip ajaran agama Baha’i.
Dengan antusias, Muthrib menjelaskan kepada kami satu persatu dari 19 prinsip yang ada. Yakni, dasar semua agama adalah satu, tidak boleh campur tangan dalam urusan politik dan terakhir kesetiaan kepada pemerintah.
“Melarang mengikuti politik partisipan untuk mencegah kepentingan-kepentingan golongan tertentu. Kita tidak pernah mau melawan kebijakan pemerintah, karena ajaran Bahaullah menyerukan untuk patuh kepada pemerintah.”
Soal penyebaran ajaran agama Baha’i agar dikenal masyarakat, Muthrib bilang hanya akan menempuh jalan kebaikan, “kalau peradilan dunia itu menganjurkan untuk belajar agama dengan diskusi langsung, jadi kita bisa menyumbang langsung ke masyarakat untuk saling memahami.”
Muthrib juga menjelaskan wadah yang disipkan saat ini lebih memungkinan agama Baha’i bisa dikenal di dunia luar,
“Saat ini ada kantor hubungan luar, ada konferensi antar umat beragama, ada perwakilan agama Baha’i, hal sederhana juga ikut workshop Sejuk sebagai langkah awal mengenalkan agama Baha’i ke masyarakat luas.”
Sebagai perempuan keturunan orang tua yang sudah menganut Baha’i, Muthrib bercerita bagaimana kehidupan menjadi minoritas, “Tidak ada yang resisten sih, karena kami dianggap baik, bergaul saja. Kami bahkan fokuskan pendidikan ke anak, remaja, muda-mudi, bahkan untuk semua kalangan usia. Kami tidak inklusif, jadi tidak terbatas untuk agama Baha’i saja.”
Meski Muthrib mengaku tak pernah mendapat diskriminasi dari teman dan lingkungannya. Namun dalam kolom agama di KTP nya hanya berisi tanda strip. Soal kolom Agama di KTP, Helmy beda lagi, di KTP-nya ia disebut beragama Islam. Walaupun jelas dia bukan Islam.
“Di KTP Islam. Waktu pengurusan (KTP) saya bilang agama Baha’i, tapi pegawai tidak tahu, dia anggap sebagai lelucon,” kata Helmy dengan tertawa.
Persoalan identitas agama di KTP ini bukan hanya masalah Helmy dan Muthrib. Aturan di Indonesia memang hanya mengakomodir enam agama untuk dituliskan dalam KTP; Islam, Budha, Hindu, Kristen Katolik, Kristen Protestan dan Konghucu.
“Kita tidak pernah ngotot, karena kita patuh terhadap pemerintah, kita tidak pernah mau melawan kebijakan,” kata Ratih (38) salah satu penganut agama Baha’i.
Daripada mempersoalkan hal itu, Ratih bilang mereka (penganut Baha’i) akan focus pada hal-hal yang berdampak bagi lingkungan. “Kita semua beragama. Ada tujuan moral ganda untuk meningkatkan kapasitas menyumbang bagi masyarakat.”
Agama Baha’i, menurut Ratih, mengutamakan untuk mengajarkan anak-anak mengenai akhlak. Bagaimana mereka tumbuh dengan sifat rohaniah, sehingga ketika menginjak usia remaja, mereka akan paham apa yang akan mereka lakukan.
“Kalau keadilan pasti harus melewati proses. Intinya kami fokuskan ke anak-anak, bagaimana pertumbuhannya untuk menghadapi dunia yang akan mereka hadapi,” papar Ratih.
Dalam ajaran Baha’i, semua manusia harus bekerja sama agar terciptanya hidup berdampingan dalam perdamaian dan persatuan. Karena itu juga, ajarannya sangat pantang melawan apapun kebijakan pemerintah. Bahkan soal kolom agama KTP yang tidak mengakomodasi keyakinan mereka.
“Kami fokus untuk mengabdi terhadap lingkungan masyarakat untuk membawa perubahan dan perdamaian,” pungkas Helmy.
Penulis: Nur Afni Aripin, Irmalasari, dan Taprianto Bongga
Foto cover: Pusat spiritual Baha’i di Haifa, Israel (dokumentasi SEJUK)