Jurnalis Indonesia tidak boleh membangun prasangka diskriminatif. Demikian dikatakan Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam forum sosialisasi Peraturan Dewan Pers No. 2 tahun 2022 tentang Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman (PPIK) yang diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) di Bandung (19/07/2023).
Dalam kesempatan itu, Ninik menjelaskan bahwa norma tertinggi yang seharusnya menjadi pedoman perilaku semua warga negara, termasuk jurnalis, adalah Pancasila, UUD 1945, dan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Dalam semua dokumen ini, terdapat jaminan hak yang sama bagi semua warga negara di depan hukum.
“Tidak boleh karena kamu Batak, misalnya, kamu dibatasi hak-haknya,” jelas peraih gelar doktor bidang hukum dari Universitas Jember tersebut.
Prinsip kesetaraan ini juga harus dimiliki oleh setiap jurnalis. Menurut Ninik, salah satu tugas dan peran pers adalah menjaga dan menegakkan konsolidasi demokrasi.
Karena itu, lanjut Ninik, pers atau jurnalis tidak boleh membangun prasangka dan sikap diskriminatif. Dia melihat bahwa masih banyak jurnalis yang bersikap diskriminatif dalam peliputan.
“Kelompok tertentu kadang dianggap bukan manusia, karena itu boleh ditulis apa saja. Wawancara dengan pejabat seperti bupati sering berbeda dengan rakyat biasa, apalagi dengan kelompok minoritas, perempuan, minoritas agama, dan seterusnya,” jelas mantan komisioner Komnas Perempuan dan Ombudsman RI tersebut.
Menurun Ninik, etika seorang jurnalis harus sudah ada sejak dari proses. Jurnalis harus mempelajari latar belakang isu yang akan ditulis atau dilaporkan. Riset perlu dilakukan sebelum terjun ke lapangan. Etika penulisan tentang keberagaman bukan sekadar berhenti pada hasil karya, kata dia, tapi sejak dari proses. Dimulai dengan tiadanya prasangka.
Ninik menjelaskan bahwa dalam peliputan, jurnalis juga perlu membangun engagement dan terlibat di masyarakat. Apa yang akan diberitakan perlu didialogkan. Perlu ada pemahaman di kalangan jurnalis tentang wilayah privat yang tidak bisa diintervensi dan wilayah publik yang merupakan ranah informasi umum.
Selain itu, lanjut Ninik, penulisan berita juga harus memikirkan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh produk berita tersebut. Seorang jurnalis perlu memperhatikan sensitifitas dan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh tulisan. Produk jurnalistik, kata dia, seharusnya tidak memperburuk suasana, tapi menyelesaikan, atau paling tidak memberi alternatif pandangan.
“Pers tidak mengobarkan kebencian,” tegasnya.
Dalam hal pemilihan narasumber berita, Ninik mengusulkan agar mengambil tokoh yang benar-benar memiliki keterkaitan dengan isu yang diangkat. Dia menegaskan bahwa jurnalis sebaiknya menghindari melibatkan tokoh agama sebagai narasumber untuk isu hak beragama. Jika untuk isu hak warga negara untuk beragama dan berkeyakinan memakai narasumber tokoh agama, sangat rentan isunya akan berbelok dari pembicaraan tentang bagaimanan warga terpenuhi hak-haknya menjadi pembicaraan tentang doktrin agama yang pada ujungnya bisa muncul dalam bentuk penyesatan.
Lebih jauh Ninik menyatakan bahwa jurnalis perlu memiliki sikap empati bahkan keberpihakan pada kelompok kecil atau minoritas.
“Kelompok minoritas adalah mereka yang secara sosial tersubordinasi dan membutuhkan sokongan,” tegasnya.
Hal lain yang juga disoroti adalah tentang distribusi pemberitaan. Menurut Ninik, kadangkala konten dan judul berita sudah bagus, tapi menjadi bermasalah karena narasi distribusinya melalui media sosial bermasalah. Caption di media sosial juga perlu menjadi perhatian yang serius.
Ninik menyadari bahwa memang tidak mudah bicara tentang isu keberagaman. Masih ada kegamangan di antara jurnalis tentang bagaimana menulis atau menampilkan foto dalam berita terkait keberagaman. Karena itu dibutuhkan pedoman pemberitaan terkait isu keberagaman (PPIK) yang dirumuskan Dewan Pers bersama stakeholdersnya.
Ninik mengusulkan bahwa pedoman yang sudah diterbitkan oleh Dewan Pers dengan dukungan sejumlah konstituen tersebut benar-benar bisa dipahami dan diterapkan bukan hanya pada level konsep, tapi juga sampai ke teknik visual dan narasinya.
“Pedoman tersebut diharapkan bisa lebih nyata,” pungkasnya.