Video dan gambar porno kerap dicari, dinanti, dan dinikmati banyak orang. Padahal, objeknya tak merasa menikmati dan nyaman dieksploitasi. Ini tampak pada penggambaran sosok-sosok disabilitas yang menginspirasi dan diberitakan media dengan cara mengglorifikasi, melebih-lebihkan, kondisi kedisabilitasan mereka beserta prestasinya. Disabilitas di-framing media sebagai luar biasa.
Framing media terhadap disabilitas menyebabkan disabilitas dipandang sebagai individu yang harus dikasihani, diberikan bantuan, dan menjadi inspirasi bagi non-disabilitas. Di sisi lain, media minim menaruh perhatian pada isu kebutuhan disabilitas, misalnya ruang publik dan akses yang inklusi dan ramah terhadap pengalaman disabilitas.
“Disabilitas tak menarik diberitakan media. Kami menjadi berita setiap Hari Disabilitas Internasional 3 Desember. Itu pun kalau (kami) menginspirasi, nadanya mengasihani,” ungkap Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulsel Maria UN saat berkunjung dan berdialog dengan Tribun Timur dan Jejak Fakta (14/8).
Ketika tak mampu menangkap stigma dan diskriminasi yang warga disabilitas tanggung, media lantas mengangkat mereka lebih pada sisi mengasihaninya (charity). Media tidak masuk pada hak-hak dan martabat utuh disabilitas sebagai manusia (human rights based) yang seharusnya negara bertanggung jawab menjamin aksesibilitas yang sama dan setara dalam mengenyam pendidikan, memperoleh pelayanan kesehatan, mendapat pekerjaan dan fasilitas publik lainnya.
“Kami dijadikan ‘inspiration porn’ oleh media. Sebab, media tak mengangkat keterhalangan kami mengakses hak-hak. Seolah kami harus menginspirasi agar menjadi objek berita. Kami, disabilitas, biasa saja, seperti orang atau warga lainnya yang seharusnya diperlakukan setara,” terang Ismail, disabilitas yang aktif di Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Sulsel, dalam Training Advokasi Media untuk Komunitas: Membangun Ruang Aman di Media untuk Kelompok Rentan di Sulawesi Selatan yang dilaksanakan SEJUK di Makassar (12/8), rangkaian program USAID MEDIA @usaidindonesia–@internewshq kerja sama dengan @kwrss.sulsel dan @lapar_sulsel.
Training tersebut adalah upaya untuk menumbuhkan sensitivitas di kalangan anak-anak muda dari minoritas rentan untuk berkontribusi dan menghadirkan narasi alternatif dan melawan misinformasi, disinformasi, serta hoaks yang banyak menarget kelompok minoritas di Sulawesi Selatan. Kegiatan ini diikuti oleh 25 peserta dari berbagai komunitas yang terdiri dari perempuan, disabilitas, transpuan, pendamping ODHA, Ahmadiyah, Syiah, Umat Baha’i, dan Masyarakat Adat Tolotang.