Juni 2023 lalu, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin membuat pernyataan bahwa perempuan menjadi imam salat bagi jamaah laki-laki merupakan bentuk penyimpangan ajaran Islam, bukan termasuk sebagai perbedaan. Ia menyampaikan dalam sambutannya pada acara Milad ke-48 Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (26/7/2023) malam.
Ma’ruf Amin mengatakan statementnya pasca viralnya video di Pesantren Al-Zaytun, di mana shaf salatnya perempuan sejajar dengan shaf laki-laki. Pernyataan Ma’ruf Amin tidak ‘kontroversial’, karena pendapat mayoritas menyatakan perempuan haram menjadi imam salat bagi laki-laki, ‘hukum’ ini juga berlaku di Indonesia. Namun, posisinya sebagai Wakil Presiden, rasanya tidak elok mengeluarkan pendapat yang menutup ruang-ruang diskusi dan pendapat. Meskipun tidak nyaring, namun suara-suara yang membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki itu ada.
Tindakan dan kualitas Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden seharusnya setara bagi seluruh warga negara termasuk mereka yang membolehkan perempuan jadi imam salat bagi laki-laki, bukan hanya bagi kelompoknya saja. Ia tidak memiliki kewenangan untuk ‘mengurusi’ ranah privat seperti praktik beribadah sekelompok orang yang beragam.
Dewasa ini, kita mungkin hanya mengenal amina wadud yang terang-terangan melakukan praktik salat di mana ia menjadi imam bagi laki-laki. Namanya naik ketika mengimami salat Jumat di Amerika (2005) dan Oxford (2008), sejak saat itu ia dikenal sebagai The Lady Imam. Atas keberaniannya itu, ia menerima kecaman dari para ulama terkemuka, ancaman pembunuhan, email pornografi, dan sebuah blog yang menulis ‘Amina Wadud Death Watch’, hingga tuduhan sebagai ‘setan berhijab’.
Padahal amina wadud tidak begitu saja memiliki keberanian menjadi imam salat, jauh sebelumnya pada 1992 ia telah melakukan terobosan dengan menulis buku ‘Quran and Woman.’ Di dalam buku itu, amina menafsirkan Quran dari perspektif perempuan dalam berbagai topik, seperti signifikansi perempuan dalam Quran, juga peran dan hak perempuan dalam Islam (BBC.com).
Menurut salah satu ulama sekaligus Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakhai, perempuan jadi imam salat adalah pandangan minoritas ulama, sehingga secara teologis belum menjadi pandangan mayoritas. Tetapi menghukumi bahwa sahnya perempuan menjadi imam dari laki-laki telah keluar dari Islam adalah pandangan yang berlebihan, sangat tidak boleh menghakimi seseorang dalam hal-hal yang sifatnya masih diperdebatkan di kalangan ulama.
“Kita tidak boleh menyatakan suatu pendapat itu sesat, itu tidak bisa,” ujar Imam Nakhai dalam kegiatan Training on Strengthening Women’s Leadership yang dilaksanakan oleh INFID bekerja sama dengan Komnas Perempuan (6/12/2023).
Terkait penerimaan yang ‘sulit’, menurut Nakhai, yang perlu dilakukan adalah strategi. “Apakah kemudian kita akan mencoba mengubah budaya tersebut di mana perempuan menjadi imam salat, saya kira ini soal strategi saja. Soal kapan waktunya, apakah strategi juga pada hari-hari ini, kemudian tiba-tiba menjadikan imam di ruang-ruang publik, perlu dialog yang panjang untuk menemukan pintu masuknya,” tambah Nakhai. Karena secara teologis, Nakhai menegaskan, hukum imam salat perempuan itu ada dan tidak ada hambatan bagi perempuan untuk menjadi imam (Ist).