Setara Institute memberi judul “Stagnasi Paripurna” untuk laporan tahunannya mengenai kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Dilansir telah terjadi 292 tindakan dan 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan sepanjang tahun 2013. Meski angka pelanggaran tersebut menurun sebanyak 42 peristiwa dan 80 tindakan dari tahun sebelumnya, tetapi tidak berarti kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengalami perbaikan, ungkap Bonar Tigor Naipospos dalam konferensi SETARA Institute, Kamis (16/01) di Jakarta.
Jika sebatas melihat angka, maka akan terjadi penafsiran yang keliru atas kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, lanjut Bonar. Karena menurutnya, angka tidak menjamin penurunan yang signifikan dalam persoalan ini. Ia menyebutkan bahwa Indonesia mengalami stagnasi sempurna dalam hal jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Stagnasi yang terjadi dikatakan sempurna karena melihat begitu banyaknya faktor yang mendukung kemandegan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Dalam berbagai peristiwa, para pelaku pelanggaran berasal dari kalangan yang sama sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, pihak negara paling banyak diwakili oleh aparat polisi dan non-negara oleh kelompok FPI. Selain itu, wilayah yang menjadi basis pelanggaran pun masih daerah yang sama, yakni Jawa Barat. Begitu juga dengan bentuk-bentuk tindakan pelanggaran, baik yang dilakukan negara maupun non-negara, masih serupa dengan yang terjadi di tahun sebelumnya. Bahkan bentuk pelanggaran oleh negara mengalami peningkatan dalam wujud tindakan langsung (by commission), yang berarti negara lebih banyak menjadi pelaku langsung dalam berbagai pelanggaran, dari sebatas melakukan pembiaran (by omission).
Sepanjang tahun 2013, terjadi peristiwa intoleransi di beberapa wilayah Indonesia yang sebelumnya tidak termasuk daftar sebagai daerah dengan kasus pelanggaran kebebasan beragama, seperti Jambi misalnya. Menurut Bonar, fenomena ini menunjukkan bahwa kasus intoleransi telah menjadi virus yang akan terus menular dari satu daerah ke daerah lainnya jika tetap dibiarkan. Sebut juga kasus Syiah yang mendapat klaim sesat dari MUI Jawa Timur. Melalui fatwa tersebut, diskriminasi terhadap kalangan Syiah bukan hanya terjadi di Jawa Timur, melainkan terus menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Dari kasus Syiah kita juga bisa melihat bahwa sebuah fatwa selalu menjadi amunisi bagi kelompok intoleran untuk menjustifikasi segala tindakannya. Dalam pandangan Bonar, pemerintah tidak mengalami perbaikan dalam menghentikan penyebaran virus-virus semacam itu, karenanya stagnasi dalam hal ini terjadi.
Melihat beberapa fenomena di atas, maka sulit untuk mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan perbaikan atas kondisi kebebasan beragama yang kian terancam. Apalagi, bila menengok kembali pernyataan-pernyaatan provokatif dari pejabat publik seperti Surya Dharma Ali dan Gemawan Fauzi terhadap kelompok tertentu di masyarakat. Selain itu, nampak ada upaya keras dari presiden untuk mengalihkan tanggung jawab kepada pemerintah lokal dan masyarakat terkait intoleransi yang terjadi. Bukan hanya itu, seringkali kita melihat upaya pencitraan yang seakan-akan menunjukkan kepedulian negara atas kerukunan semua umat beragama di Indonesia. Padahal, selama tujuh tahun SETARA melakukan monitoring kondisi kebebasan beragama, tidak ada perbaikan yang signifikan dari negara dalam mengupayakan atau mengatasi terjadinya berbagai pelanggaran. Ini semakin membuktikan bahwa kondisi kebebasan beragama tengah mengalami stagnasi di Indonesia, terutama karena negara cenderung berperan sebagai musuh baginya. [Evi/SEJUK]