Sabtu, Juli 5, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

MINORITAS HARUS DIBELA: Catatan atas Buku “Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia”

by Redaksi
17/01/2014
in Uncategorized
Reading Time: 3min read
December in fear, December  in happiness
Share on FacebookShare on Twitter

Dalam kasus-kasus kebebasan beragama yang terjadi bukanlah konflik. Justru, minoritas agama dan keyakinan seperti Ahmadiyah, Syiah dan gereja menjadi pihak-pihak yang dipersekusi. Kalangan mayoritas melakukan penyerangan terhadap kelompok-kelompok keagamaan yang sedikit jumlahnya. Bahkan aparat seperti beberapa pemda tidak hanya mendiamkan, tetapi ikut melakukan persekusi.

Demikian Koordinator KontraS Haris Azhar memberikan catatan atas ketidaksetujuannya terhadap pendekatan konflik yang digulirkan dalam diskusi dan peluncuran buku Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia sore tadi (17/1/2014) di Hotel Ambara Jakarta Selatan. Dengan kenyataan yang sama sekali tidak seimbang itu, ia pun menyitir prinsip yang dimajukan mendiang Gus Dur, “Minoritas harus dibela!” Maka negara, dalam hal ini polisi, tidak cukup memperlakukan kedua belah pihak secara sama, terlebih terhadap kelompok yang paling rentan dan hak-haknya ditumpas

Berlaku sebagai salah satu narasumber penanggap diskusi buku yang digelar oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM Yogyakarta, dan The Asia Foundation, Haris Azhar menuntut polisi bertindak adil dengan memberikan affirmative action terhadap minoritas.  Baginya, alasannya sangat jelas, “Pemolisian kebebasan beragama mengharuskan aparat kepolisian dalam bertugas mengacu pada Konstitusi dan Kovenan HAM pasal 18 ICCPR sebagai upaya proteksi dan pemenuhan terhadap hak-hak setiap warga negara. Beragama dan berkeyakinan sebagai fundamental freedom harus dilindungi dan sama sekali tidak boleh dikurangi.”

Sementara penanggap lainnya datang dari Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Komjen Pol. Drs. Badrodin Haiti yang mengakui pentingnya kepolisian meningkatkan kinerjanya dalam menangani kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan di lapangan. Ketika terjadi peristiwa, menurutnya, kecepatan Polri dengan perangkatnya yang terjun menggunakan peralatan lengkap akan menimbulkan dampak deterrences (penangkalan atau pencegahan). Badrodin sendiri pernah bertugas menangani gejolak anti-Syiah di Bangil, Jawa Timur, yang menurut kajian buku Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia terbitan PUSAD Paramadina, Januari 2014, yang diedit Samsu Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi: polisi berhasil menangani kasus tersebut secara efektif sehingga tidak sampai berujung kekerasan terbuka yang menyebabkan jatuhnya korban.

Dalam kasus Syiah Bangil Badrodin berkisah, “Kehadiran polisi dengan seragam dinas dalam pengajian-pengajian yang diselenggarakan massa penentang Syiah mampu membuat ulama-ulama yang berceramah mengerem untuk menyampaikan provokasi-provokasi kepada pengikutnya.” Sehingga, respon pimpinan kepolisian sangat menentukan keberhasilan menangani kasus kebebasan beragama. Pimpinan kepolisian harus memberikan perhatian serius pada kasus semacam ini. Ia mencontohkan kegagalan pemolisian pada peristiwa Cikeusik, Banten, yang menyebabkan jatuh korban di pihak Ahmadiyah disebabkan respon pimpinan kepolisian yang lemah. “Yang bergerak dalam kasus itu hanya Kapolsek, sementara Kapolres tidak turun,” sesalnya.

Hal yang sama disampaikan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adrianus Meliala. Selain terbatasnya anggaran Polri serta luasnya cakupan wilayah kerja sehingga kecepatan akses menuju lokasi kerap terhambat atau terlambat, tidak efektifnya pemolisian kebebasan beragama juga sangat disebabkan kekurangtanggapan pimpinan kepolisisan.

Ia juga menyoroti minimnya pendidikan polisi yang ditugaskan dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Banyak sekali polisi kurang memahami tupoksi (tugas pokok dan fungsi) terkait pemolisian kebebasan beragama. Di lapangan mereka tidak sedikit yang mengalami afinitas atau tarik-menarik sentimen keimanan pada diri petugas yang beragama berbeda, misalnya polisi-polisi beragama Islam yang ditugaskan mengamankan gereja. Ia menambahkan, “Minimnya pendidikan ini juga menyebabkan rendahnya kepekaan polisi untuk menjadikan konflik keagamaan sebagai prioritasnya.”

Samsu Rizal Panggabean mewakili pihak yang bertanggung jawab atas kerja keras menerbitkan buku Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia dalam kesempatan tersebut menguraikan pentingnya membuat peta tentang efektivitas kerja-kerja polisi dalam pemolisian kebebasan beragama. Buku yang didasarkan atas riset yang merentang Januari 2012 sampai September 2013 ini sekaligus untuk menunjukkan fakta-fakta dan penyebab mengapa pemolisian di tempat dan waktu tertentu berhasil tetapi pada tempat lainnya gagal.

Seluruh narasumber berharap terbitnya buku dengan jumlah halaman vii + 368 ini dapat berkontribusi pada peningkatan tugas aparat dalam pemolisian kebebasan beragama ke depannya. Buku yang menjabarkan hasil penelitian tentang pemolisian pada, pertama, konflik sektarian yang mengambil kasus Ahmadiyah di Cikeusik dan Manislor serta Syiah di Sampang dan Bangil, kedua, konflik antar-agama dengan kasus gereja (HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin) dan masjid (Nur Musafir di Batuplat, Kupang, dan Abdurrahman di Wolobheto, Ende), bukan saja sebagai kritik atas kegagalan pemolisian di Cikeusik dan Sampang, juga mengapresiasi polisi yang secara efektif berhasil mencegah berkembang dan meluasnya konflik menjadi kekerasan yang tidak bisa dikelola. Begitulah Rizal meringkaskan isi dan maksud penelitian yang termuat dalam buku dengan rekomendasi-rekomendasi yang dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja pemolisian kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Di atas segalanya, Haris Azhar menyampaikan rekomendasinya kepada polisi: penting untuk kembali melihat situasi keberagaman di Indonesia yang makin memburuk dan karena itu kelompok-kelompok yang paling rentan harus mendapatkan jaminan perlindungan dari negara. Sehingga, ia memberikan tantangan kepada pihak kepolisian agar berani menindak dengan mempidanakan para pelaku baik di tingkat masyarakat yang memprovokasi maupun aparat-aparat yang diskriminatif yang mendorong massa melakukan intoleransi dan tindak kekerasan atas nama agama, merampas hak-hak konstitusional kalangan minoritas. (Thowik SEJUK)

Previous Post

Ahmadiyah Paling Sering Jadi Korban Intoleransi Sepanjang 2013

Next Post

Formulir Proposal Fellowship Liputan Keberagaman 2014

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post

Formulir Proposal Fellowship Liputan Keberagaman 2014

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hotspace Privat Event Jakarta, Bukan Tindak Pidana!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Alasan Mengapa LGBT Diterima Gereja Ini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In