Dalam kasus-kasus kebebasan beragama yang terjadi bukanlah konflik. Justru, minoritas agama dan keyakinan seperti Ahmadiyah, Syiah dan gereja menjadi pihak-pihak yang dipersekusi. Kalangan mayoritas melakukan penyerangan terhadap kelompok-kelompok keagamaan yang sedikit jumlahnya. Bahkan aparat seperti beberapa pemda tidak hanya mendiamkan, tetapi ikut melakukan persekusi.
Demikian Koordinator KontraS Haris Azhar memberikan catatan atas ketidaksetujuannya terhadap pendekatan konflik yang digulirkan dalam diskusi dan peluncuran buku Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia sore tadi (17/1/2014) di Hotel Ambara Jakarta Selatan. Dengan kenyataan yang sama sekali tidak seimbang itu, ia pun menyitir prinsip yang dimajukan mendiang Gus Dur, “Minoritas harus dibela!” Maka negara, dalam hal ini polisi, tidak cukup memperlakukan kedua belah pihak secara sama, terlebih terhadap kelompok yang paling rentan dan hak-haknya ditumpas
Berlaku sebagai salah satu narasumber penanggap diskusi buku yang digelar oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM Yogyakarta, dan The Asia Foundation, Haris Azhar menuntut polisi bertindak adil dengan memberikan affirmative action terhadap minoritas. Baginya, alasannya sangat jelas, “Pemolisian kebebasan beragama mengharuskan aparat kepolisian dalam bertugas mengacu pada Konstitusi dan Kovenan HAM pasal 18 ICCPR sebagai upaya proteksi dan pemenuhan terhadap hak-hak setiap warga negara. Beragama dan berkeyakinan sebagai fundamental freedom harus dilindungi dan sama sekali tidak boleh dikurangi.”
Sementara penanggap lainnya datang dari Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) Komjen Pol. Drs. Badrodin Haiti yang mengakui pentingnya kepolisian meningkatkan kinerjanya dalam menangani kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan di lapangan. Ketika terjadi peristiwa, menurutnya, kecepatan Polri dengan perangkatnya yang terjun menggunakan peralatan lengkap akan menimbulkan dampak deterrences (penangkalan atau pencegahan). Badrodin sendiri pernah bertugas menangani gejolak anti-Syiah di Bangil, Jawa Timur, yang menurut kajian buku Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia terbitan PUSAD Paramadina, Januari 2014, yang diedit Samsu Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi: polisi berhasil menangani kasus tersebut secara efektif sehingga tidak sampai berujung kekerasan terbuka yang menyebabkan jatuhnya korban.
Dalam kasus Syiah Bangil Badrodin berkisah, “Kehadiran polisi dengan seragam dinas dalam pengajian-pengajian yang diselenggarakan massa penentang Syiah mampu membuat ulama-ulama yang berceramah mengerem untuk menyampaikan provokasi-provokasi kepada pengikutnya.” Sehingga, respon pimpinan kepolisian sangat menentukan keberhasilan menangani kasus kebebasan beragama. Pimpinan kepolisian harus memberikan perhatian serius pada kasus semacam ini. Ia mencontohkan kegagalan pemolisian pada peristiwa Cikeusik, Banten, yang menyebabkan jatuh korban di pihak Ahmadiyah disebabkan respon pimpinan kepolisian yang lemah. “Yang bergerak dalam kasus itu hanya Kapolsek, sementara Kapolres tidak turun,” sesalnya.
Hal yang sama disampaikan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adrianus Meliala. Selain terbatasnya anggaran Polri serta luasnya cakupan wilayah kerja sehingga kecepatan akses menuju lokasi kerap terhambat atau terlambat, tidak efektifnya pemolisian kebebasan beragama juga sangat disebabkan kekurangtanggapan pimpinan kepolisisan.
Ia juga menyoroti minimnya pendidikan polisi yang ditugaskan dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Banyak sekali polisi kurang memahami tupoksi (tugas pokok dan fungsi) terkait pemolisian kebebasan beragama. Di lapangan mereka tidak sedikit yang mengalami afinitas atau tarik-menarik sentimen keimanan pada diri petugas yang beragama berbeda, misalnya polisi-polisi beragama Islam yang ditugaskan mengamankan gereja. Ia menambahkan, “Minimnya pendidikan ini juga menyebabkan rendahnya kepekaan polisi untuk menjadikan konflik keagamaan sebagai prioritasnya.”
Samsu Rizal Panggabean mewakili pihak yang bertanggung jawab atas kerja keras menerbitkan buku Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia dalam kesempatan tersebut menguraikan pentingnya membuat peta tentang efektivitas kerja-kerja polisi dalam pemolisian kebebasan beragama. Buku yang didasarkan atas riset yang merentang Januari 2012 sampai September 2013 ini sekaligus untuk menunjukkan fakta-fakta dan penyebab mengapa pemolisian di tempat dan waktu tertentu berhasil tetapi pada tempat lainnya gagal.
Seluruh narasumber berharap terbitnya buku dengan jumlah halaman vii + 368 ini dapat berkontribusi pada peningkatan tugas aparat dalam pemolisian kebebasan beragama ke depannya. Buku yang menjabarkan hasil penelitian tentang pemolisian pada, pertama, konflik sektarian yang mengambil kasus Ahmadiyah di Cikeusik dan Manislor serta Syiah di Sampang dan Bangil, kedua, konflik antar-agama dengan kasus gereja (HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin) dan masjid (Nur Musafir di Batuplat, Kupang, dan Abdurrahman di Wolobheto, Ende), bukan saja sebagai kritik atas kegagalan pemolisian di Cikeusik dan Sampang, juga mengapresiasi polisi yang secara efektif berhasil mencegah berkembang dan meluasnya konflik menjadi kekerasan yang tidak bisa dikelola. Begitulah Rizal meringkaskan isi dan maksud penelitian yang termuat dalam buku dengan rekomendasi-rekomendasi yang dibutuhkan untuk memperbaiki kinerja pemolisian kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Di atas segalanya, Haris Azhar menyampaikan rekomendasinya kepada polisi: penting untuk kembali melihat situasi keberagaman di Indonesia yang makin memburuk dan karena itu kelompok-kelompok yang paling rentan harus mendapatkan jaminan perlindungan dari negara. Sehingga, ia memberikan tantangan kepada pihak kepolisian agar berani menindak dengan mempidanakan para pelaku baik di tingkat masyarakat yang memprovokasi maupun aparat-aparat yang diskriminatif yang mendorong massa melakukan intoleransi dan tindak kekerasan atas nama agama, merampas hak-hak konstitusional kalangan minoritas. (Thowik SEJUK)