Selasa, Juli 1, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Laporan WI 2013: Pemerintah Enggan Tegakkan Kebebasan Beragama

by Redaksi
20/01/2014
in Uncategorized
Reading Time: 2min read
Share on FacebookShare on Twitter

Menurunnya angka diskriminasi, intoleransi dan kekerasan atas nama agama sepanjang tahun 2013 belum dinilai The Wahid Institute (WI) menjadi keberhasilan pemerintah. Hasil pemantauan lembaga yang didirikan mendiang Gus Dur ini menyimpulkan bahwa perbaikan kualitas dan jaminan kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) oleh negara belum menunjukkan perubahan signifikan.

Bahkan, pantauan WI mencatat ada tiga menteri yang menjadi pelaku pelanggaran. Karena itu pula peneliti WI M. Subhi Azhari dalam acara Peluncuran dan Seminar Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan 2013 di Balai Kartini, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin (20/1), sangat menyayangkan ketidakmauan aparat pemerintah di segala sektor untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran KBB. Pelaku dari negara masih banyak. Subhi memaparkan, “Pemerintah kabupaten/kota menempati peringkat paling atas dengan 32 pelanggaran disusul aparat kepolisian sebanyak 30.”

Memang, dari segi kuantitas, 245 jumlah kasus KBB tahun 2013 sebagaimana dilansir WI menyusut jika dibandingkan tahun 2012 sebanyak 278 kasus. Tiga tahun sebelumnya WI menemukan 121 (2009), 184 (2010), dan 267 (2011) kasus.

Laporan WI yang menunjuk pemerintah belum serius mengatasi kasus KBB direspon dengan nada gusar oleh Wakil Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Choirul Anam. Sebagai salah satu penanggap laporan WI, pada kesempatan itu ia mengingatkan bahwa para bupati dan walikota tidak bisa seenaknya membuat kebijakan atau regulasi diskriminatif yang merampas hak-hak warga negara dalam beragama, berkeyakinan dan menjalankan ibadah.

Untuk itu ia menegaskan, “Pembatasan kebebasan beragama dan berkeyakinan hanya bisa melalui undang-undang. Itu yang diamanatkan konstitusi.” Penerbitan aturan atau keputusan pemerintah daerah, pemberlakuan Surat Keputusan Bersama (SKB) ataupun Peraturan Bersama (Perber) untuk mengurangi bahkan meringkus hak dan kebebasan beragama menyalahi konstitusi. “Silakan aparat-aparat itu lihat Pasal 28 J!” tantangnya.

Ia juga menyoroti Polri yang kerap mendasarkan praktik kriminaslisasi atas nama agama kepada kalangan minoritas dari fatwa MUI. “Hendaknya polisi patuh pada hukum, bukan MUI!” kritik Anam.

Dituduh Polri tidak profesional, Brigadir Jenderal Polisi Boy Rafli Amar yang juga menjadi penanggap mengatakan bahwa penegakan hukum yang rasional adalah dasar aparat kepolisian mengatasi masalah-masalah sosial dan kebudayaan yang terkait dengan agama. “Tetapi karena ini persoalan yang sensitif dan rawan, dalam menegakkan hukum polisi bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat, termasuk berkoordinasi dengan alim ulama. Tentu saja, di antaranya MUI agar pengaruhnya bisa membantu mencegah umatnya melakukan intoleransi dan kekerasan atas nama agama,” kilahnya.

Terkait masih banyaknya regulasi diskriminatif di daerah-daerah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia (Karopenmas Divhumas Polri) yang menjadi wakil pemerintah pada acara itu mengajak para kepala daerah agar berlaku adil, berdiri di atas semua pihak untuk menjamin seluruh hak-hak warga negara.

Himbauan melegakan dari Boy Rafli Amar ini semoga saja tidak sekadar retorika, sehingga bisa diharapkan mengantisipasi gejala meningkat dan terus bertumbuhya intoleransi di masyarakat. Kecenderungan masyarakat Indonesia yang intoleran ini oleh beberapa peserta seminar dianggap sudah kelewat meresahkan banyak kalangan. Hal serupa dirasakan semua narasumber. Mereka satu persepsi: kekerasan atas nama agama itu berbahaya, tetapi jauh lebih berbahaya merebaknya intoleransi agama di masyarakat. (Thowik SEJUK)

Tags: #KebebasanBeragama#LaporanKBB#MUI#SKB#WahidInstituteFatwa MUI
Previous Post

Ribuan Pekerja di Hong Kong Demo Kecam Penyiksaan TKI

Next Post

Indonesia: Rights Rollback for Religious Minorities, Women Leadership Fuels Intolerance, Emboldens Abusers

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post

Indonesia: Rights Rollback for Religious Minorities, Women Leadership Fuels Intolerance, Emboldens Abusers

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Alasan Mengapa LGBT Diterima Gereja Ini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In