Oleh: Djohan Effendi
Mantan Menteri Sekretaris Negara RI era Presiden Abdurrahman Wahid
Dalam beberapa bulan terakhir ini masyarakat kita menyaksikan berbagai peristiwa yang sangat menghebohkan. Mulai dengan kasus pengucilan terhadap warga Jemaat Ahmadiyah, sebuah organisasi yang mengusung prinsip “cinta bagi semua orang dan tiada kebencian bagi siapapun”, hanya karena dianggap sebagai penganut aliran sesat. Dan hal ini diamini oleh kalangan petinggi negara, di pusat dan di beberapa daerah. Mereka dinista sebagai manusia Indonesia yang hak-hak sipil mereka sebagaimana dijamin oleh konstitusi seolah-olah sudah tercerabut. Mereka merupakan warga negara yang tertindas yang tidak mendapatkan kedudukan setara dengan warga negara lain walaupun mereka adalah pembayar pajak yang patuh, nenek moyang mereka adalah penduduk asli Nusantara ini, dan sebagian mereka sudah hidup sebelum RI lahir.
Heboh Ahmadiyah itu disusul oleh heboh terorisme, pemboman di beberapa tempat, bahkan terjadi di mesjid. Ditambah lagi oleh heboh pencucian otak oleh gerakan yang disinyalir sebagai pendukung cita-cita NII (Negara Islam Indonesia). Tapi anehnya reaksi organisasi-organisasi Islam tidak sedahsyat reaksi terhadap Ahmadiyah. Mengapa? Pertanyaan ini mengusik pikiran kita.
Boleh jadi bagi berbagai kalangan organisasi-organisasi Islam di negeri kita “kesesatan” Ahmadiyah Qadian menyangkut aspek “ushuliyyah” atau akidah, terutama berkenaan dengan konsep “khatamun nabiyyin“, karena perbedaan tafsir. Padahal rukun iman mereka sama dengan rukun iman kaum Sunni, begitu juga dalam praktek ibadah. Sedangkan perbedaan organisai-organisasi Islam dengan pelaku terorisme dan kalangan NII hanyalah berkenaan dengan masalah pemahaman dalam aspek “furu’iyah” atau masalah cabang, bukan akidah agama, khususnya dalam masalah “fiqh siyasah” atau fikih politik.
Dilihat dari segi cita-cita politik agaknya ada kesamaan ideologis antara kalangan radikal yang menginginkan pelaksanaan syariat Islam, pelaku terorisme dan pendukung ide NII. Bahkan, dalam perspektif ideologis, terdapat kesamaan ideologis dengan partai-partai Islam yang pada saat amandemen UUD masih menginginkan pemberlakuan kembali Piagam Jakarta khususnya menyangkut tujuh kata yang dihapuskan, “dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluknya”. Tentu saja kesamaan ideologis itu juga dapat dilihat dari berbagai Pemerintah Daerah yang memprakarsai kelahiran apa yang disebut sebagai perda-perda syariah.
Berdasarkan hal di atas tidaklah mengherankan, apalagi organisasi-organisasi Islam dan partai-partai Islam kelihatannya bersikap setengah hati dalam menentang tindakan kelompok radikal, ideologi organisasi Islam transnasional, pemahaman agama mereka yang dianggap pelaku terorisme, dan kalangan NII. Padahal kelompok-kelompok ini tegas-tegas menolak ideologi negara, Pancasila, dan menolak bahkan mengkafirkan demokrasi – walaupun mereka hanya bisa hidup dan berkembang di negara-negara demokrasi. Itu berbeda dengan sikap mereka terhadap Ahmadiyah yang sama sekali tidak membahayakan dan mengancam negara.
Menyimak fenomena di atas kita bisa berkesimpulan bahwa pemberantasan terorisme dan ideologi anti-Pancasila tidak akan kunjung berhasil apabila tidak ada sikap tegas dari kalangan organisasi dan partai Islam. Apalagi kalau organisai semacam MUI, NU, dan Muhammadiyah tidak bersikap tegas dan bergerak secara terencana dan terorganisasi melawan paham dan tindakan yang ingin mengganti ideologi negara dan mengubah RI menjadi negara yang berdasarkan agama.
Kalau hal ini yang terjadi tidaklah terlalu salah kalau muncul anggapan bahwa perbedaan antara kelompok radikal, penganut paham yang mendukung terorisme dan kalangan NII dengan organisasi, partai, dan pemda-pemda yang memberlakuan perda syariah hanyalah perbedaan cara. Yang pertama melalui perjuangan ilegal dan kekerasan, sedangkan yang kedua melalui perjuangan konstitusional dan parlementer.