Menteri Lukman Hakim Saifuddin sejak akhir 2014 lalu berulang kali menyampaikan bahwa Kementrian Agama yang dipimpinnya sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB).
Langkah ini merupakan respons pemerintah terhadap begitu banyaknya kasus penindasan hak-hak umat beragama dalam beberapa tahun terakhir ini. Ini terentang dari pelarangan dan ancaman terhadap pembangunan rumah ibadat (misalnya kasus Gereja Yasmin di Bogor), pelarangan beribadat (misalnya kasus pelarangan shalat Jumat jemaat Ahmadiyah di Jakarta), penyerangan fisik terhadap kalangan beragama yang dianggap berbeda dengan yang diyakini permuka agama setempat (misalnya penyerangan terhadap Islam Syiah di Madura), serta pembunuhan umat beragama yang menolak untuk pindah dari lokasi tertentu (misalnya pembantaian jemaat Ahmadiyah di Cikeusik).
Menurut Lukman, RUU itu dirancang untuk mengatasi berbagai kasus intoleransi keagamaan dan pelanggaran kebebasan beragama yang kerap terjadi.
“Undang-undang ini perlu disusun untuk melindungi seluruh umat beragama. Meskipun landasan hukum perlindungan umat bergama telah tercakup di dalam pasal 28 dan 29 UUD 1945, belum ada undang-undang yang bersifat organik mengenai hal itu,” ucapnya (Antara 16/06).
Namun demikian, Lukman menyadari, naskah RUU ini masih belum sempurna. Karena itu ia mengundang masyarakat sipil, akademisi, praktisi lembaga keagamaan atau ormas-ormas yang memiliki kepedulian pada isu ini untuk memberikan masukan.
“Kami mengundang semua pihak untuk turut berkontribusi bagi tersusunnya regulasi yang berkeadilan dan melindungi agama dan umat beragama, baik yang disebut minoritas maupun mayoritas,” ujarnya.
Isi Draft
RUU itu memang sudah disiapkan sejak akhir 2014 lalu. Walaupun belum dipublikasikan secara resmi, Kementrian Agama sudah mengirim draft sementaranya ke beberapa lembaga secara terbatas, misalnya berbagai Majelis Agama, Komnas HAM dan beberapa LSM yang menaruh kepedulian terhadap isu agama.
Ada 12 Bab dan 41 pasal dalam draft RUU PUB tersebut. Isinya cukup komprehensif. Di dalam RUU tersebut, termuat bab-bab khusus tantang registrasi agama, majelis agama, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), prosedur pendirian rumah ibadat, penyiaran hari besar keagamaan, penyebaran agama serta bantuan luar negeri. Dimuat pula sejumlah ketentuan ancaman hukuman pidana bagi mereka yang melanggar UU.
Ada banyak muatan RUU ini yang akan berdampak besar bagi penataan hubungan antar umat beragama di Indonesia.
Di bab II, RUU ini membedakan antara agama yang diakui dan yang “hanya teregistrasi”. Dalam bab ini, juga dimuat ketentuan tentang tata cara registrasi bagi agama yang tidak diakui.
Di bab III, tentang majelis agama, salah satu hal krusial adalah ketentuan bahwa majelis agama diberi hak “menentukan suatu paham keagamaan menyimpang atau tidak”.
Bab V RUU ini memuat rangkaian ketentuan tentang pembangunan rumah ibadat yang memang merupakan salah isu besar hubungan antar umat di Indonesia saat ini. Dalam Bab ini misalnya ada ketentuan mengenai kewenangan dan kewajiban pemerintah kabupaten/kota dalam hal pendirian rumah ibadat serta persyaratan persetujuan warga setempat dalam hal pembangunan rumah ibadat. Ada pula ketentuan tentang penggunaan rumah atau gedung yang dapat dipakai untuk kepentingan rumah ibadat sementara.
Bab VI tentang Penyiaran Agama memuat ketentuan bahwa penyiaran agama harus dilakukan dengan semangat toleransi, tidak provokatif, tidak fanatik dan memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Pada bab ini juga dimuat ketentuan tentang peran pemerintah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan penyiaran agama.
Di dalam Bab VIII tentang Pemulasaraan Jenazah, termuat aturan tentang pemulasaraan bagi orang yang tidak diketahui agama yang dianutnya.
Yang tentu juga sangat penting adalah rangkaian ketentuan pidana yang termuat dalam Bab X. Menurut bab ini. ada sejumlah tindakan yang akan diancam oleh hukuman pidana, yakni:
Pertama, menghina agama yang diakui dan teregistrasi, menghina keagungan Tuhan, firman Tuhan dan sifat-sifat Tuhan, kitab suci, nabi/rasul dan sahabat nabi/rasul, sebutan lain sesuai ajaran agama yang dianut dan menghina ibadah keagamaan. Ancaman pidananya: maksimal dua tahun penjara.
Kedua, menyiarkan dan menyebarluaskan penghinaan-penghinaan seperti disebutkan di atas, baik dalam bentuk rekaman, tulisan maupun gambar. Ancaman pidananya: maksimal lima tahun.
Ketiga, menghasut untuk meniadakan keyakinan agama yang dianut serta membujuk orang lain untuk pindah agama dengan cara yang menimbulkan keresahan. Ancaman pidananya: empat tahun.
Keempat, menghalangi orang lain melakukan ibadah (ancaman: maksimal tiga tahun) serta dengan sengaja membuat kegaduhan di dekat bangunan tempat ibadah saat berlangsung ibadah (ancaman: maksimal enam bulan).
Kelima, menghina orang yang sedang menjalankan ibadah (ancaman: masimal tiga tahun) atau melakukan penghinaan kepada petugas agama yang sedang menjalankan tugasnya. Ancaman: maksimal dua tahun.
Keenam, menodai atau merusak kitab suci, bangunan tempat ibadah, atau benda yang dipakai untuk ibadah. Ancaman: maksimal lima tahun.
Ketujuh, membujuk, menghasut dan memprovokasi orang lain untuk menolak keberadaan kelompok umat beragama tertentu sehingga menimbulkan keresahan. Ancaman: maksimal satu tahun.
Dengan demikian terlihat bahwa bila UU ini diberlakukan, mereka yang menghina agama, mereka yang menghalangi dan menghina orang lain yang beribadat, merusak bangunan tempat ibadat atau menghasut untuk menolak keberadaan kelompok umat beragama tertentu, dapat dikenakan ancaman hukuman pidana.
Kelemahan Draft RUU
Walaupun pemerintah merancang UU ini dengan semangat melindungi hak umat beragama, ada pula suara kritis yang terdengar mengenai muatannya.
Budhy Munawar Rachman, salah satu aktivis Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), berpendapat bahwa pemerintah masih harus terus menyempurnakan RUU ini dengan serius karena isinya masih banyak yang bermasalah.
“Dari review teman-teman, isi RUU PUB itu masih banyak yang bermasalah. Kami khawatir kalau draftnya masih seperti ini akan menimbulkan kontroversi dan tidak akan menjawab masalah-masaalah dalam masyarakat,” jelas Budhy saat diwawancara.
Bagi Budhy RUU tersebut hanya mengumpulkan berbagai peraturan terkait yang terbukti tidak berhasil menyelesaikan persoalan selama ini. Isinya cenderung sekedar diambil dari Peraturan Menteri, Peraturan Bersama Dua Menteri dan Undang-Undang Nomer 1 tahun 1965 tentang Penodaan dan/atau Penistaan Agama (PNPS).
“Semua regulasi negara yang berkaitan dengan pengelolaan keragaman dan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dulunya terserak di mana-mana dan juga status hukumnya berbeda-beda secara hirarkis kini hendak disatukan dalam satu undang-undang,” jelas Budhy.
“Saya khawatir kalau undang-undang ini berlaku, masalah kebebasan beragama tidak akan mengalami kemajuan, karena isinya masih sama dengan peraturan-peraturan yang selama ini ada. Misalnya saja, seseorang tetap dengan mudah bisa dikriminalkan, hanya gara-gara dia menulis sesuatu di twitter yang dianggap menodai agama,” lanjut Budhy.
Salah satu persoalan mendasar dalam RUU ini, menurut Budhy, adalah adanya kewenangan majelis Agama untuk menetapkan apakah sebuah paham keagamaan menyimpang atau tidak. Dalam konteks saat ini, misalnya untuk denominasi Kristen lembaga yang dimaksud adalah Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), sementara kalau Islam itu adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Ini jelas merugikan aliran agama yang tidak mainstream,” ungkap Budhy. “Sekarang saja MUI sudah menganggap Syiah, Ahmadiyah dan LDII sesat. Kalau RUU ini diberlakukan, hampir pasti mereka akan dicap sesat. Kalau mereka sesat, mereka tidak akan mendapat perlindungan dan bahkan potensial dikriminalkan. Fenomena itu bukan hanya di Islam, agama lain juga begitu,” jelas Budhy.
Masalah lainnya adalah tentang pendirian rumah ibadah. Menurut Budhy ketentuan tentang rumah ibadah diambil dari ketentuan yang ada dalam peraturan bersama dua menteri tentang pendirian rumah ibadah. Tidak ada yang baru sama sekali. Padahal selama ini ketentuan itu tidak bisa menyelesaikan persoalan yang ada terkait pendirian rumah ibadah.
“Lihat saja kasus GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi, sampai sekarang belum juga beres. Jemaat GKI Yasmin sudah 92 kali beribadat di depan Istana, belum juga pemerintah bisa menyelesaikannya,” tegas Budhy.
Menurut Budhy, masalahnya tidak ada aturan yang memberi perlindungan bagi pembangunan rumah ibadat yang sudah bisa memperoleh syarat-syarat perizinan pembangunan. Ia memberi contoh pembangunan gereja GKI Yasmin. Pengurus gereja sudah bisa memenuhi semua persyaratan, termasuk 60 tandatangan masyarakat sekitar yang berbeda agama. Namun ketika syarat itu sudah terpenuhi, pembangunan gereja tetap tidak bisa dilakukan. Bahkan setelah Mahkamah Agung menyatakan pembangunan gereja bisa dilakukan, perintah itu pun tak dihormati oleh pemerintah dan masyarakat.
“Gereja Yasmin itu secara yuridis sudah punya kekuatan MA, tapi pemerintahnya tidak mau melaksanakan putusan MA. Harusnya Wali Kota Bogor saat ini mengambil inisiatif, tapi sampai saat ini dia tidak berani. Bayangkan orang seprogresif Bima Arya tidak bisa berbuat banyak, ” ujarnya. “Tapi masalah ini pun tidak diatur dalam RUU ini.”
“Tidak ada hal baru dalam RUU PUB ini,” kata Budhy. “Karena itu, para aktivis kebebasan beragama dan berkeyakinan menganggap kalau subtansinya masih seperti itu, Kementrian Agama sebaiknya jangan melakukan sosialisasi dulu.”
Peringatan Budhy jelas perlu didengar. Bila serius ingin melindungi kepentingan umat beragama, pemerintah perlu menyiapkan naskah yang secara substantif dan terperinci memang melindungi hak umat beragama dengan merujuk pada beragam kasus yang sudah dan masih berlangsung.
(Warsa Tarsono)
Sumber berita: http://www.madinaonline.id/wacana/rancangan-uu-perlindungan-umat-beragama-jalan-keluar-atau-sumber-masalah-baru/