Dari kiri ke kanan: Saiful Mujani, Ignatius Haryanto, Thung Ju Lan, dan Andy Budiman (29/12/2016)
Peneliti senior Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dr. Saiful Mujani menegaskan bahwa menguatnya sikap anti-Cina/Tionghoa belakangan ini tidak merefleksikan sikap massa secara nasional. Hal tersebut disampaikan Saiful dalam diskusi “Ada Apa di Balik Sentimen Anti-Cina?” yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang digelar Kamis, 29 Desember 2016, bertempat di LBH Jakarta.
“Sikap anti-Tionghoa tidak berakar pada massa, tetapi lebih karena faktor lain, yakni kontestasi politik elit di Jakarta yang membutuhkan massa,” paparnya.
Saiful menyampaikan hasil analisisnya tersebut berdasarkan serangkaian hasil survei opini publik nasional terkait sikap intoleransi dalam kurun waktu 2001-2016 yang dilakukan dengan menggunakan teknik probability sampling.
“Salah satu cara untuk menggali sikap toleran atau intoleran masyarakat Indonesia adalah dengan survei opini publik,” ungkap saiful.
Selama 2001-2016 etnis Cina/Tionghoa selalu dimasukkan dalam survei yang ia kelola, dengan asumsi mereka adalah kelompok minoritas yang sering menjadi target. Menariknya, dari temuan surveinya, sentiment negative terhadap etnis Cina/Tionghoa relative kecil dan cenderung konstan atau stabil. Jadi sentimen anti-Cina hanya ramai di media saja, terutama di media sosial.
Terlebih, jika mengacu pada survei terakhir (November 2016), sambung Saiful, kelompok yang paling banyak tidak disukai warga adalah ISIS (25,5%), lalu LGBT (16,6%) dan Komunis (11,8%), baru kemudian Yahudi 5,0%. Sementara terhadap etnis Cina/Tionghoa hanya 0,8%.
Sementara pengamat media Ignatius Haryanto menyayangkan banyak media hanya mengkloning berita dari tempat lain dengan muatan yang tidak terverifikasi. Terkait isu anti-Cina ini mereka pun tidak memproduksi sendiri beritanya.
“Banyak Logical fallacies yang disebarluaskan media, padahal dibangun atas data atau fakta yang salah,” ujar pria yang akrab disapa Kumkum.
Peneliti senior di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) ini mengungkap banyaknya pembuatan judul berita yang provokatif dan menyesatkan yang mendorong sentiment negatif terhadap etnis Tionghoa. Terlebih, media online hanya mengejar klik, terutama media abal-abal. Misalnya judul berita “Jokowi akan impor 10 juta warga Cina. Mau beranak pinak di Indonesia?”
Pemberitaan yang banyak beredar dengan nada kebencian terhadap Cina tidak merujuk pada data dan sumber bisa dipercaya. Bahkan data pemerintah atau sumber resmi pun diabaikan. Pemilihan narasumber cenderung asal menyerang atau anti-Tionghoa. Dan, celakanya, model-model informasi online yang tidak bertanggung jawab itulah yang di-viral-kan di media sosial.
“Narasumber tidak kredibel dan menyampaikan hal-hal spekulatif, berandai-andai, dan tidak berbasis fakta atau data,” sesal Ignatius Haryanto.
Karena itu, di era revolusi digital yang sangat canggih dengan media cyber yang marak di mana banyak orang punya keahlian untuk melakukan penipuan, memodifikasi gambar, memelintir informasi, ia sangat menganjurkan kepada publik agar hati-hati untuk bisa memilah antara info yang datang dari media online, blog, media sosial. Karena semua itu berbeda-beda dan harus dicermati dengan parameter: seberapa kredibel sumber itu? Jika kita tidak yakin dengan yang kita baca, dari manapun itu, sambung Ignatius Haryanto, periksa dengan media online yang kredibel! Baru kita bisa percaya apabila menemukan hal yang sama.
Pemateri diskusi berikutnya yang merupakan peneliti LIPI Bidang Perkembangan Masyarakat Dr. Thung Ju Lan, M S.c, lebih memberikan data dan sejarah etnis Tionghoa di Indonesia secara padat. Ini dilakukan untuk menyuguhkan betapa informasi atau stereotipe tentang etnis Tionghoa maupun Cina daratan lebih banyak “mitos” yang tidak ada faktualitasnya. Datanya lemah sekali. Sehingga, ahli studi Cina Universitas Indonesia (UI) ini berusaha membongkar sentimen-sentimen anti-Cina yang disandingkan dengan data atau fakta sebenarnya.
Lebih lengkapnya, berikut adalah materi-materi pesentasi yang ditampilkan dan dibahas dalam diskusi:
Materi Persentasi Diskusi Ada Apa di Balik Sentimen Anti-Cina oleh Saiful Mujani di sini
Materi Persentasi Diskusi Ada Apa di Balik Sentimen Anti-Cina oleh Thung Ju Lan di sini
Materi Persentasi Diskusi Ada Apa di Balik Sentimen Anti-Cina oleh Ignatius Haryanto di sini
Andy Budiman, salah satu pendiri SEJUK, berlaku sebagai moderator diskusi yang pesertanya tidak semua tertampung karena yang hadir melebihi kapasitas ruang diskusi LBH Jakarta. Banyak di antara mereka terpaksa harus berdiri. []