
Sidang dugaan penodaan agama dan permufakatan jahat untuk menggulingkan Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada tiga petinggi eks-Gafatar kembali digelar dengan agenda mendengarkan keterangan para terdakwa. Mahful Muis, Abdussalam, dan Andry Cahya diduga melanggar pasal 156a dan pasal 110 KUHP juncto 107 KUHP dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara atau seumur hidup.
Ancaman terhadap ketiganya didasarkan Fatwa MUI dan SKB 3 Menteri yang menyatakan larangan beraktivitas keagamaan bagi anggota eks-Gafatar tahun lalu, 2016, sebagai respon atas pengusiran secara paksa dari lahan pertaniaan mereka di Kalimantan.
Pada sidang ke-20 yang digelar Kamis lalu (2/2/2017) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, ketiga terdakwa menyampaikan keterangannya terkait dengan dakwaan yang dituduhkan. Selaku Terdakwa 1 Mahful Muis mengatakan bahwa stigma sesat yang muncul dan berkembang di masyarakat akibat fatwa MUI sangat merugikan eks-Gafatar. Sehingga, segala sesuatu yang dilakukan, meskipun positif, akan tetap terlihat negatif.
Sementara, sambung Mahful, imbas dari stigma yang dilekatkan terhadap Gafatar, membuat warga eks-Gafatar harus mengalami pembakaran, penjarahan dan pengusiran dari rumah dan lahan pertaniannya oleh oknum diskriminatif dan kalangan intoleran yang dikirim pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Meluasnya stigma terhadap Gafatar disinyalir karena keterkaitannya dengan keyakinan Millah Abraham, yang merupakan prinsip monoteisme atau ketauhidan, juga keterlibatan terdakwa 2 Abdussalam alias Ahmad Mushaddeq yang notabene pernah dijerat hukuman penodaan agama pada tahun 2007.
Bagi Mahful semua dakwaan yang ditimpakan kepada mereka sangat janggal karena Abdussalam sudah tidak lagi menyatakan diri sebagai rasul dan telah menyelesaikan masa hukumannya selama 5 tahun. Bahkan menurut mantan Ketua Umum Gafatar tersebut, yang dialami oleh Gafatar justru ketidakadilan dalam kebebasan berkeyakinan dan keberagamaan.
Bahkan, tambahnya, negara dan masyarakat seharusnya bisa membedakan Gafatar sebagai sebuah organisasi yang melakukan aksi sosial dengan keyakinan dari tiap-tiap individu di kalangan eks-Gafatar yang berbeda-beda.
“Jika pun sebelumnya beberapa warga adalah anggota aktif Komunitas Millah Abraham, 2009 lalu, tetap harus bisa dibedakan. Sebab, Gafatar bukan aliran keagamaan, melainkan organisasi sosial kemasyarakatan dan anti-politik praktis,” demikian Mahful menegaskan.
Sehingga Mahful berkesimpulan, tidak bisa keyakinan warga eks-Gafatar dikait-kaitkan dengan organisasi Gafatar dan apalagi dengan organisasi NKTN (Negeri Karunia Tuan Nusantara).
Dalam keterangan lanjutan yang diberikannya, Mahful banyak menguraikan alasan penggunaan istilah-istilah seperti Damai Sejahtera, Puji Tuan, dan penggunaan kata Mesias. Dalam persidangan istilah-istilah tersebut dijadikan bukti telah dilakukannya penistaan karena dinilai menggantikan istilah-istilah yang ada pada salah satu agama.
Menanggapi hal tersebut Mahful mengatakan, “Negara ini disatukan dengan bahasa dan merupakan suatu hal yang wajar apabila istilah tersebut menggunakan bahasa Indonesia agar mudah dimengerti dan dipahami selagi konteksnya sama”.
Terkait dengan penggunaan kata Tuan Semesta Alam, Mahful yang pernah menjabat sebagai Wakil Persiden NKTN menyatakan bahwa kata Tuan adalah ungkapan yang sama dengan kata Tuhan atau Allah dan bukan perlambangan. Justru, kata Tuan mempunyai makna yang tepat. Definisinya sebagai pemilik, berdasarkan kaidah yang sebenarnya. Ini berbeda jika dibandingkan dengan kata Tuhan.
“Kata Tuhan digunakan ketika membedakan antara Tuan Allah dan Tuan Yesus di saat menerjemahkan Al Kitab dari Bahasa Portugis ke Bahasa Indonesia” pungkasnya. []
***Dilaporkan kontibutor Sejuk.org Nanang Nurhayudi