Selasa, Juli 1, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Uncategorized

Empang Tiga dan Komunitas Epistemik Islam ala Dawam Rahardjo

by Thowik SEJUK
01/06/2018
in Uncategorized
Reading Time: 6min read
Empang Tiga dan Komunitas Epistemik Islam ala Dawam Rahardjo
Share on FacebookShare on Twitter

Aku mengalami masa-masa pergerakan politik Islam dikebiri pemerintah. Tahun 1960 Masyumi dilarang Sukarno. Kebijakan ini masih dilanjutkan presiden Soeharto. Rezim Orde Baru (Orba) mengkooptasi kekuatan Islam sehingga kami harus mencari pola-pola untuk memperjuangkan nilai-nilai luhur agama yang kami yakini. Beberapa teman HMI dan Muhammadiyah pada tahun 1970-an dan 1980-an lebih memilih bergabung dengan Golkar atau birokrasi-birokrasi pemerintahan di pusat maupun daerah untuk menyejahterakan umat Islam. Ada pula aktivis-aktivis muslim yang memilih pergerakan bawah tanah. Ikhtiar ini mereka tempuh akibat tindakan kelewat keras pemerintah Orba terhadap setiap organisasi Islamis yang dituduh mempunyai tujuan-tujuan politik yang berlawanan dengan Soeharto. Beberapa ditangkap karena dituduh subversif.

Ketika Partai Persatuan Pembangunan (PPP) masih berhasil mendapatkan 29,29 persen suara pada pemilihan umum 1977, rezim Orba semakin meningkatkan upaya-upaya peminggiran Islam sebagai kekuatan oposisi politik yang institusional maupun yang ekstra-institusional. Pemerintah memaksa agar Pancasila menjadi ideologi dasar bangsa Indonesia. Agustus 1982 sebelum digelar pemilu semua partai harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal. PPP sebagai partai Islamis harus menanggalkan Islam sebagai ideologi acuan perjuangan.

Setahun berikutnya, pertengahan 1983, terjadi diskusi kecil di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, yang lahir dari kegelisahan kami, sebagai intelektual muslim, terhadap situasi keagamaan dan kebangsaan di negeri ini. Pada saat beberapa kalangan Islamis bergerak di bawah tanah dengan terus memperjuangkan pendirian negara Islam, termasuk kelompok tarbiyah di kampus-kampus negeri seperti UGM dan UI yang mengadopsi gerakan Ihwanul Muslimin Hasan Al-Bana dan Sayed Quthb, Mesir, aku dan beberapa kawanku lebih memilih bagaimana membangun dan mengembangkan masyarakat sipil, civil society, terutama umat Islam, pada ranah intelektual untuk mencapai keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Jadi, kami juga bukan kelompok Islam yang diam dikooptasi rezim otoriter dengan bergabung mendukung kebijakan pemerintah Orba.

Pada waktu itu kami menganggap pemikiran Islam tengah mengalami stagnasi. Teologi sebagai bangunan ilmiah dalam mengkaji agama, pada satu sisi, dan filsafat yang mendasari kritisisme dalam mendudukkan setiap persoalan, pada sisi lainnya, tengah tersingkir dari kajian-kajian Islam. Akibatnya, tidak muncul gagasan-gagasan cerdas dan mendalam mengenai pemikiran Islam. Sehingga di benakku, ketika itu, sampai pada hipotesis bahwa teologi dan filsafat harus menjadi pisau analisis dalam mengembangkan diskursus keislaman dan keagamaan di Indonesia.

Dua pendekatan ini yang aku perkenalkan kepada M. Amin Aziz dan teman-teman lainnya dalam diskusi kecil pada waktu itu. Aku melihat Amin Aziz tampak antusias menyimak gagasan-gagasanku. Kerena itu, kepadanya aku langsung mengusulkan pembentukan wadah pengkajian teologi dan filsafat. Maka, di Jl. Empang Tiga No. 31A, Pasar Minggu, inilah Amin Aziz bersama teman-teman lainnya mendirikan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF). Kini Jalan Empang Tiga telah berganti menjadi Jalan Kalibata Timur. Tetapi, aku dan seluruh teman-teman yang berproses bersama di LSAF, begitupun generasi belakangan, tetap menyebutnya Empang Tiga. LSAF secara resmi didirikan pada 6 Desember 1983 oleh Yayasan Studi Agama dan Filsafat.

Nama Lembaga Studi Agama dan Filsafat itu sendiri aku yang menentukan. Sengaja aku memilih kata agama karena orientasi mengembangkan diskursus sosial, politik, ekonomi, dan budaya – yang pada waktu itu tengah menghangat wacana developmentalism – merujuk pada sumber-sumber pemikiran keagamaan. Karena itu arah pembangunan bangsa, baik secara fisik maupun mental, yang ditawarkan LSAF dikemas dengan memberikan pendasaran pada agama dan filsafat. Yang perlu dicatat, agama yang dimaksud di sini bukan hanya Islam, akan tetapi agama atau keyakinan dalam arti yang lebih luas. Sebab, LSAF tidak berafiliasi pada kepercayaan tertentu, Islam misalnya. Bagi kami, kepercayaan itu urusan individual.

Zacky Siradj yang pertama kali dipercaya menggawangi LSAF. Meski aku sendiri sampai 1987 masih di LP3ES, namun dari awal aku terus terlibat dalam membangun LSAF di Empang Tiga melalui program-program pemikiran Islam. Sebenarnya, ini hanya meneruskan apa yang sudah aku lakukan sebelumnya. Perhatian awalku adalah pada pengembangan pesantren – salah satu program di LP3ES yang aku tangani – agar terjadi perubahan sosial di lingkungan pesantren. Itu mengharuskan diriku meletakkan kajian Islam dalam perspektif yang lebih luas. Maka, ilmu-ilmu sosial harus menjadi perangkat analisisnya. Dari sanalah aku mulai melirik orang-orang IAIN seperti Komaruddin Hidayat, Fachry Ali, dan sebagainya agar terlibat dalam program tersebut.

Setelah aku keluar dari LP3ES dan aktif di Empang Tiga, aku menjabat direktur di LSAF. Praktis sejak itu perbedaan LSAF dengan LP3ES makin kentara. Kerja-kerja intelektual dan pengembangan masyarakat LP3ES bersifat sekuler, sedangkan di LSAF diberikan rujukan agama, Islam. Itulah mengapa program-program pengembangan masyarakat yang dilakukan LSAF lebih banyak bekerjasama dengan IAIN dan terutama diterapkan di pesantren, seperti ekonomi, pendidikan, serta gagasan demokrasi dan toleransi. Sampai sekarang program ini terus berlangsung dengan berbagai bentuknya, sesuai dengan kebutuhan pesantren.

(Kerja-kerja seperti ini mengingatkan aku ketika di Boise, Idaho, di mana gereja-gereja efektif mengembangkan jemaat dan masyarakat di sekitarnya.)

Tak pelak aku pun mesti mengkader orang-orang IAIN dan membekalinya dengan teori-teori sosial agar pemikiran Islam yang dikaji di Empang Tiga mampu membaca perkembangan zaman. Sebab, tujuan dari didirikannya LSAF tidak lain untuk menggali dan mengembangkan pemikiran-pemikiran dalam rangka turut mewujudkan masyarakat yang berilmu dan sekaligus mengamalkannya sebagai ikhtiar menuju tercapainya cita-cita pembangunan bangsa. Hingga detik ini pun aku terus menjadikan LSAF sebagai medan pengkaderan orang-orang IAIN.

Sehingga pada satu kesempatan, ketika Harun Nasution, sang pembaharu Islam, bertandang ke Empang Tiga berujar kepadaku, “Dawam, yang mendidik murid-murid saya tentang ilmu sosial itu bukan saya, akan tetapi Anda.” Ia pun mencoba untuk memberikan pembenaran pada apa yang telah diucapkannya dengan menderetkan nama-nama intelektual muslim seperti Bahtiar Effendy, Mulyadhi Kartanegara, Komaruddin Hidayat, dan Fachry Ali sebagai buah pengkaderanku pada generasi pertama.

Aku menimpalinya dengan kelakar, “Pak Harun, meskipun Komaruddin Hidayat secara resmi asisten Anda, tetapi yang membangun logika atau cara berpikirnya adalah aku.”

Tentu, di depan Pak Harun aku tidak mau jumawa dengan mengklaim bahwa perkembangan IAIN yang mempelajari ilmu-ilmu sosial berasal dari ideku. Namun, aku tahu bahwa ide-ideku itu kemudian ditampung Harun Nasution di kampusnya lalu diikuti oleh Munawir Sjadzali, ketika menjabat Menteri Agama. Mereka mengirimkan mahasiswa-mahasiswa IAIN ke Barat. Maka bermunculan sarjana-sarjana ilmu sosial dan politik yang handal seperti Bahtiar Effendy, Saiful Mujani, Ihsan Ali-Fauzi, dan seterusnya, yang sewaktu di Empang Tiga berjibaku dengan rujukan-rujukan primer filsafat, sosiologi, dan politik.

Pada prinsipnya kami selalu bergairah untuk mendiskusikan artikel dan buku-buku berbobot. Peranku adalah hendak melanjutkan Tjokroaminoto dan H. Agus Salim yang menjadi guru dari banyak tokoh nasional. Kekagumanku pada kedua tokoh itu sangat membekas dan mencoba terus mengamalkannya di Empang Tiga.

Pada kepemimpinan Pipip, sapaan akrab kami di Empang Tiga kepada A. Rifa’i Hasan, LSAF mulai menerbitkan jurnal Ulumul Qur’an. Kami dan kemudian banyak orang lebih senang menyebutnya majalah UQ. Edisi pertama (Vol. I, April-Juni) diluncurkan tahun 1989. Pada jurnal ilmu, kebudayaan, dan peradaban inilah “agama dan filsafat” disuguhkan dalam upayanya mengembangkan pemikiran Islam yang lebih segar, kreatif, dan progresif.

Untuk menjatuhkan pilihan nama jurnal, sampai kemudian bisa meneguhkan hati, aku terlebih dahulu berkonsultasi kepada Quraish Shihab dan K.H. Ali Yafie. Dengan pertukaran argumentasi yang menyemangati, akhirnya nama Ulumul Qur’an diterima. Sehingga istilah itu, Ulumul Qur’an, menjadi populer. Rasa terima kasihku kepada mereka aku tunjukkan dengan menaikkan tulisan Quraish Shihab dan wawancara K.H. Ali Yafie di edisi pertama.

Selama lebih dari dua tahun kami di LSAF mempersiapkan UQ dari segi konsep, bahan-bahan maupun modalnya. UQ dicetuskan di berbagai seminar, diskusi maupun percakapan informal. Aku terharu sekali ketika brosur UQ kami sebarkan, sebelum edisi perdana diluncurkan, begitu banyak sambutan dari publik. Ratusan di antaranya telah membayar, walaupun mereka belum melihat majalahnya. Dengan hadirnya UQ kalangan akademisi dan intelektual muslim seperti mendapatkan ruang dan rujukan untuk memuaskan gairah pemikiran Islam mereka.

Sayangnya, tahun 1998 UQ berakhir. Namun, 1996 sebelum UQ limbung, aku menerbitkan satu buku penting, Ensiklopedi al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci. Buku ini merupakan kumpulan artikelku yang secara rutin mengisi rubrik “Ensiklopedi al-Qur’an” pada setiap terbitan UQ. Untuk mengisi rubrik ini aku banyak berterima kasih pada Pipip, karena kepadanyalah aku kerap larut berdiskusi tentang penafsiaran ayat-ayat al-Quran. Bagiku, al-Quran lebih merupakan ensiklopedi.

Dalam menyusun tafsir-tafsirku, metodologi yang aku pakai adalah tafsir tematis (mawdlu’i). Operasionalisasinya: menafsirkan suatu istilah atau pengertian dalam al-Quran dari dan dengan ayat-ayat al-Quran sendiri. Tetapi sepertinya teknik ini ternyata jarang juga diketahui orang apalagi mengamalkannya. Sehingga, apa yang aku lakukan di UQ ini merupakan perspektif baru dalam upaya memahami kitab suci umat Islam.

Ya, dengan program-program kajian Islam dan penerbitan UQ, Empang Tiga benar-benar menjadi pusat pemikiran Islam. Di sinilah dibidani kelahiran Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI).

Setelah tumbangnya rezim otoriter, aku dan orang-orang LSAF terus mengisi reformasi bangsa ini dengan mengadvokasi kalangan minoritas seperti gereja, Ahmadiyah, Komunitas Salamullah pimpinan Lia Eden, dan sebagainya, yang mendapatkan diskriminasi dan tindak intoleransi. Kami berjejaring dengan kelompok civil society lainnya yang memperjuangkan tegaknya hak dan kebebasan warga untuk beribadah dan meyakini keimanannya. Gerakan ini kemudian tergabung dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Aku bersama teman-teman dan organisasi masyarakat sipil di AKKBB pada tahun 2010 menjadi pemohon uji materil UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama kepada Mahkamah Konstitusi, meski kemudian perjuangan ini dapat dikatakan tidak mencapai apa yang diharapkan: dicabutnya UU tersebut.

LSAF juga merespon Fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, sekularisme, dan liberalisme tahun 2005 dengan melakukan diskusi panjang terhadap 70 cendekiawan muslim dan non-muslim yang termuat dalam dua jilid buku, Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme tahun 2010.

Dengan tetap melakukan pendampingan di pesantren-pesantren, LSAF juga terus berikhtiar mengembangkan pemikiran Islam di Indonesia. Aku dan Budhy Munawar-Rachman mendesain program untuk mengkader mahasiswa Islam di beberapa kota besar Indonesia yang melahirkan Jaringan Islam Kampus (Jarik). Perihal Budhy ini, ia selalu mengaku dirinya sebagai muridku. Memang, dia salah satu kader LSAF terbaikku yang sampai sekarang terus membangun komunikasi dan diskusi-diskusi pemikiran Islam dengan diriku.

Bersama Budhy pula dan teman-teman muda lainnya seperti Neng Dara Affiah, Ulil Abshar-Abdalla dan Luthfi Assyaukanie, aku pada tahun 2010 membuat rangkaian dialog dan diskusi seputar tema-tema keislaman kontemporer. Dari sanalah terbentuk Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI) pada tahun 2011 dengan melibatkan para sarjana, intelektual, dan aktivis muslim. Gagasan-gagasan dalam komunitas ini kemudian ditularkan ke daerah-daerah melalui kampus-kampus Islam, seperti yang dilakukan Jarik.

Begitulah Empang Tiga menjadi ruang untuk menghidupkan Islam agar selalu segar menggerakkan atau menjadi ruh perubahan sosial, baik ketika rezim otoriter berkuasa maupun era reformasi di mana intoleransi dan diskriminasi semakin kuat mengungkung kebebasan warga untuk beragama dan berkeyakian secara berbeda.

***Diadaptasi dari wawancara Biografi M. Dawam Rahardjo yang dilakukan kisaran 2009-2010

SELAMAT JALAN PROF. MUHAMMAD DAWAM RAHARDJO

Baca profil pemikiran M. Dawam Rahardjo di sejuk.org dalam “Kawah Toleransi: Mengenang Kisah M. Dawam Raharjo” dan “Bung Karno, Aku dan Ahmadiyah”

 

 

Tags: #Ahmadiyah#DawamRahardjo#EmpangTiga#ICMI#LiaEden#LP3ES#LSAF#UjiMateriUUPNPS1965#UlumulQur'an#UQ
Previous Post

Bung Karno, Aku dan Ahmadiyah

Next Post

Aparat Negara Terlibat Penyerangan dan Pengusiran terhadap Jemaat Ahmadiyah Lombok Timur

Thowik SEJUK

Thowik SEJUK

Related Posts

Ngober: Ngonten Keberagaman

Ngober: Ngonten Keberagaman

28/11/2024
Transgender

DOSA DAN NERAKA BUKAN URUSAN NEGARA: TRANSGENDER ISA ZEGA UMRAH BERJILBAB TIDAK BISA DIPENJARA

26/11/2024
God is Miraculous in Creating LGBT People

Pernyataan Sikap KOMPAKS: Menyikapi Pernyataan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Bahwa LGBTQ adalah Ancaman Negara

21/11/2024
Gadis Kretek

Review Gadis Kretek: Kisah Cinta Dasiyah Memang Menyedihkan, Namun Peristiwa 1965 yang Menghancurkan Hidupnya

13/11/2023
Next Post
Aparat Negara Terlibat Penyerangan dan Pengusiran terhadap Jemaat Ahmadiyah Lombok Timur

Aparat Negara Terlibat Penyerangan dan Pengusiran terhadap Jemaat Ahmadiyah Lombok Timur

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 7 Alasan Mengapa LGBT Diterima Gereja Ini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Elisheva Wiriaatmadja, Contoh Penganut Judaisme yang Terbuka di Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In