“Tidak ada seks bebas, yang ada hanya seks bertanggung jawab dan seks tidak bertanggung jawab.”
Hal tersebut ditegaskan Dewi Candraningrum dalam sesi Media dan Gender, Workshop Pers Mahasiswa bertajuk Jurnalisme Keberagaman Menghidupkan Toleransi di Semarang (1/2/2019).
Menurut paparan Dewi, seks bertanggung jawab adalah seks dengan konsensual atau yang biasa disebut persetujuan.
Dewi juga menegaskan bahwa keperawanan hanyalah konsep dari masyarakat yang sangat patriarkis. Sebenarnya keperawanan tidak ada dalam medis.
“Seks sudah seharusnya bebas karena kalau tidak maka itu disebut perkosaan,” kata Dewi di hadapan para peserta workshop Serikat Jurnalis untuk Keberaganan (SEJUK) yang berasal dari Banda Aceh, Lhokseumawe sampai Maumere.
Selain seorang feminis dan akademisi, Dewi Candraningrum juga mendokumentasikan kisah-kisah perempuan melalui lukisan dan mentransformasikannya menjadi scarf, yang salah satu scarf-nya bertema Ianfu.
“Usia Ianfu mulai dari sembilan hingga tujuh belas tahun saat mereka diculik” ujar Dewi seraya menunjukkan ke salah satu sosok di scarf-nya, ”Namanya Sri Sukanti.”
Ia adalah Ianfu termuda, sambungnya, yang diculik (prajurit Jepang-red) ketika usia sembilan tahun.
Dewi Candraningrum di tengah peserta workshop pers mahasiswa SEJUK (1/2/2019)
Dalam workshop yang diadakan atas kerjasama SEJUK, Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF), LPM IDEA & LPM Justisia UIN Walisongo Semarang dan Kemenkumham ini, Dewi Candraningrum menekankan agar pemberitaan media terhadap korban perkosaan harus berhati-hati dan berpihak pada korban. Salah satu caranya adalah media tidak menampilkan kronologi dengan lengkap. Sebab, hal itu akan membuat korban diperkosa berkali-kali media.
Oleh karena itu, tegasnya, jurnalis haruslah memiliki sensitivitas yang lebih karena nasib korban perkosaan sangatlah ngilu. []