Aksi pembakaran sejumlah gereja di Nusa Tenggara Barat (NTB) selama tahun 2000 masih membekas di ingatan Margareta Maria Retnowati, 46, seorang aktivis Katolik yang kini maju menjadi calon anggota legislatif (caleg) untuk DPRD Provinsi NTB.
Pembakaran gereja kala itu dipicu oleh konflik antara kaum Kristen dan Muslim di Ambon selama tahun 1999-2000 yang menewaskan ribuan orang.
“Kami di NTB merasakan akibatnya. Ada semacam upaya balas dendam dari kelompok Muslim terhadap kaum Kristen. Selama dua Minggu, di Mataram orang Muslim ramai-ramai mencari gereja lalu membakarnya”, katanya.
Gereja parokinya, yaitu Gereja St. Maria Immaculata juga menjadi korban. “Massa datang membakar. Kami hanya bisa pasrah,” kata ibu tiga anak ini.
Meski kini, umat di parokinya, sudah kembali memiliki gereja yang dibangun berkat swadaya pada 2010, namun, ia mengakui, kelompok minoritas di sana masih sulit menjalankan agama dengan bebas.
Di Praya misalnya, umat Katolik terpaksa mengadakan Misa secara bergilir di rumah mereka dan dijaga ketat polisi setiap hari Minggu, berhubung hingga kini mereka belum mendapat izin dari pemerintah untuk membangun gereja.
Perlakuan diskriminatif, kata dia, tidak hanya dialami kelompok Kristen, tetapi juga kelompok minoritas lain, seperti Ahmadiyah, dimana sampai saat ini, masih ada ratusan warga Ahmadiyah yang diungsikan sejak tahun 2002 ke wisma di Transito, Lombok, setelah diserang kelompok intoleran.
Situasi sulit demikian yang dihadapi kelompok minoritas mendorong Retno maju sebagai caleg. “Saya ingin ada perubahan. Saya ingin hak-hak mereka diperjuangkan. Dan, itu bisa saya lakukan lewat parlemen”, katanya kepada ucanews.com.
Ia bergabung bersama Partai Amanat Nasional (PAN). Di partai berbasis Islam itu, ia merupakan satu-satunya caleg non-Muslim dari 450 total caleg PAN di NTB.
Memilih bergabung dengan partai berideologi Islam, katanya, tak jadi soal. “Saya tetap sebagai orang Katolik, yang mau membangun kehidupan bersama dengan sesama saudara-saudari Muslim”, ungkapnya.
Retno berjuang bersama 58 caleg lain untuk merebut 5 kursi DPRD NTB. Agar menang, ia harus meraih 24 ribu suara dari sekitar 190 ribu pemilih.
Sosok seperti Retno muncul di tengah skeptisisme kelompok pejuang kebebasan beragama akan hadirnya caleg-caleg yang peduli pada persoalan kebebasan beragama.
“Kami sulit sekali menemukan caleg yang menjadikan isu pelanggaran kebebasan beragama sebagai isu sentral”, kata Hendardi, Ketua Setara Institute untuk Demokrasi dan Perdamaian.
Padahal, kata dia, isu kebebasan beragama harusnya menjadi sorotan karena selama 10 tahun belakangan ini, intoleransi masih menguat di Indonesia.
Data Setara Institute menunjukkan sepanjang 2013 terdapat 222 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Belum lagi sejumlah peraturan yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas.
Senada dengan itu, Pendeta Palti Panjaitan dari HKBP Filadelfia Bekasi mengatakan, dirinya hampir tidak pernah mendengar ada caleg yang menegaskan komitmen serius terhadap persoalan ini.
“Mereka rupanya takut tidak mendapat dukungan dari kelompok mayoritas atau kelompok intoleran”, katanya.
HKBP Filadelfia merupakan satu dari sejumlah gereja yang menghadapi konflik dalam pengurusan izin. Meski mendapat kekuatan hukum untuk mendirikan gereja, namun menguatnya penolakan kelompok intoleran menjadi kendala selama bertahun-tahun.
Di mata Lucius Karus, pengamat dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), gejala langkanya caleg yang berbicara soal isu kebebasan beragama, menunjukkan masih menguatnya gejala pragmatisme dalam berpolitik.
“Mereka sengaja membatasi diri untuk tidak berbicara soal isu-isu tertentu, seperti isu kebebasan beragama. Padahal itu isu sentral. Ini dilakukan hanya semata-mata demi meraih simpati mayoritas”, katanya.
Ia menegaskan, hal seperti ini membuat wajah parlemen Indonesia sulit nantinya untuk menjadi lembaga yang benar-benar bisa mewakili kepentingan semua golongan masyarakat.
Penelitian Formappi terhadap DPR periode 2009-2014 belum lama ini menemukan bahwa 83 persen kinerja mereka meraih predikat buruk. “Untuk hasil pemilu tahun ini, kami masih psimis akan lahir para wakil rakyat yang bisa membawa perubahan”, katanya.
Sejumlah kelompok sipil lain, seperti Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sudah berupaya membangun komitmen para caleg dengan menyiapkan kontrak politik dan pakta integritas, dimana para caleg didesak berjanji untuk menunjukkan keberpihakan pada isu HAM, termasuk kebebasan beragama.
Namun, hanya 226 dari sekitar 200 ribu caleg yang menandatangani pakta integritas tersebut. “Ini memperlihatkan lemahnya komitmen mereka”, kata Masruchah dari Komnas Perempuan.
Di tengah psimisme, masih ada harapan bahwa di antara ribuan caleg yang bertarung ada yang benar-benar peduli pada isu kebebasan beragama.
“Optimisme harus selalu dikembangkan”, kata Muliawan Margana, ketua Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA).
Ia menganjurkan agar pemilih memilih mereka yang yang memegang teguh Pancasila sebagai nilai dasar dan konsensus berbangsa.
“Sebagaliknya mereka yang hanya menggunakan Pancasila sebagai kedok semata seharusnya tidak didukung”, katanya.
Ida Budhiati, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga mengatakan, masyarakat diharapkan tidak berhenti pada sikap pismis. “Karena dari ribuan caleg, pasti masih ada yang baik“, katanya.
Ia menegaskan, KPU berjanji akan membantu publik terutama konstituen dari sebuah daerah pemilihan untuk bertemu secara berkala dengan wakil rakyat mereka pasca pemilu nanti.
“Tujuannya agar setelah menang, mereka (para caleg) masih bisa tetap dikontrol oleh masyarakat yang memilih mereka”, katanya.
Tantangan tentu saja harus dijawab oleh para caleg yang mengaku ingin mempejuangkan hak minoritas, seperti halnya Retno.
Nasaruddin Ahmadi, 45, warga Ahmadiyah di Lombok misalnya mengaku, pihaknya sudah sulit percaya dengan janji para caleg.
“Sebelum pemilu pada 2009 banyak caleg yang memberi kami janji manis, bahwa mereka akan membantu. Tapi sekarang, mereka sudah habis masa jabatan. Situasi kami tetap saja sama seperti dulu.”
Ryan Dagur, Jakarta