Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menjadi korban penculikan peristiwa 1998, melakukan testimoni sekaligus pembacaan surat terbuka yang ditujukan kepada calon presiden dan wakil presiden Jokowi-Jusuf Kalla. Hadir dalam konferensi pers yang digelar di Hotel Cemara (04/07) tersebut mantan aktivis yang berhasil pulang ke tanah air, yakni Faisol Riza, Raharja Waluyo Jati dan Aan Rusdianto. Pada kesempatan tersebut masing-masing menceritakan kronologi penculikan yang dialaminya. Faisol Riza mengungkapkan bahwa selama masa interograsi ia berulang-ulang ditanyai perihal gerakan bawah tanah PRD seperti siapa yang mendanai dan tokoh-tokoh mana yang terlibat. Pada saat itu, muncul juga nama Amien Rais. Satu pernyataan sang interogator yang masih terngiang di telinga Riza adalah: “Dari pada kalian aksi menentang Suharto, lebih baik kalian bakar saja toko-toko milik orang-orang Cina.” Dan Riza mengingat setelah itu meledaklah peristiwa Mei ’98 yang mengorbankan banyak etnis Tionghoa.
Dalam konferensi tersebut, Riza menyatakan bahwa hal terpenting yang ingin diperjuangkan para aktivis ini adalah pengembalian atau kejelasan terkait 13 kawan mereka sesama PRD yang hilang hingga saat ini. Adapun mengenai penegakkan hukum, diakui Riza bahwa itu sudah tidak lagi menjadi perhatian utama. Karena selama enam belas tahun perjuangan mereka, penegakan hukum untuk kasus ini sama sekali mandeg. Sebab itu, harapannya yang disematkan pada momen pesta demokrasi kali ini adalah menghasilkan pemimpin yang berkomitmen untuk memberikan titik terang mengenai keberadaan kawan-kawan mereka yang hilang.
Pada kesempatan tersebut, Raharja Waluya Jati membacakan surat terbuka yang ditujukan kepada capres/cawapres Jokowi-JK berisi dukungan mereka terhadap pasangan ini beserta amanah-amanah yang ingin mereka sampaikan untuk Jokowi-JK. Dalam surat tersebut disampaikan harapan besar para korban penculikan ini terhadap pasangan Jokowi-JK yang mereka percayai dapat menjadi jalan keluar dari penantian panjang atas penyelesaian masalah yang telah tertunda selama enam belas tahun ini. Para aktivis ini percaya bahwa pasangan Jokowi-JK pantas mendapatkan amanah tersebut mengingat keduanya adalah pihak yang tidak menjadi bagian dari kejahatan politik di masa lalu. Mereka juga menyinggung track-record JK yang berhasil menyelesaikan kasus-kasus pelik yang terjadi di Aceh dan Poso. Selain itu, ketokohan Jokowi yang mereka percayai bisa merangkul semua elemen masyarakat, menjadi faktor tersendiri bagaiamana akhirnya kepercayaan tersebut mereka semaikan kepada pasangan ini. Karena itu, dalam surat terbuka mereka juga berpesan, bilamana Jokowi-JK terpilih kelak, hendaknya mereka mengenyahkan segala keraguan dalam menuntaskan kasus penculikan para aktivis ini dan berjuang tanpa lelah demi menemukan titik terang atas keberadaan 13 aktivis yang hilang. Dalam surat tersebut dijelaskan betapa sebenarnya kasus penculikan ini telah memiliki pijakan penyelesaian melalui keputusan DPR RI pada 15 September 2009. Dalam keputusan tersebut terdapat empat rekomendasi yang harus dilaksanakan terkait kasus penculikan ini, yakni:
- Merelkomendasikan kepada Presidden RI untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc;
- Merekomendasikan kepada Presiden RI serta segenap institusi pemerintah serta ihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM (sic) masih dinyatakan hilang;
- Merekomendasikan kepada pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hiilang;
- Merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
Karena itu, dalam konferensi tersebut para aktivis yang juga korban penculikan 1998 tersebut sepenuhnya memberi dukungan terhadap pasangan Jokowi-JK dengan catatan mau menunjukkan komitmen mereka terkait penyelesaian kasus ini. Mereka juga mengungkapkan bahwa tidak mungkin menyemaikan harapan kepada pasangan Prabowo-Hatta. Di samping Prabowo sebagai bagian dari sejarah kelam tersebut, juga sikap capres ini yang dengan sendirinya menularkan keraguan akan komitmen tinggi untuk menyelesaikan kasus ini. Prabowo sendiri dengan tegas menolak pengadilan HAM Ad Hoc. Ia memperlakukan kasus ini seolah-olah sama halnya dengan kasus kriminal biasa. Selain itu, Prabowo memiliki banyak kesempatan untuk berkontribusi dalam penyelesaian kasus ini, tetapi yang lakukan selama ini justru sebaliknya: mengelak dan menyerang. [EVI/SEJUK]