Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina semakin menjadi perhatian dunia dewasa ini. Serangan demi serangan brutal yang dilancarkan Israel terhadap pemukiman penduduk di wilayah Palestina telah menggiring situasi tersebut bukan sebagai konflik politik semata, melainkan sebagai tragedi kemanusiaan yang harus segera diakhiri. Sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menggelar diskusi “Mendorong Perdamaian di Gaza Melalui Two-States Solution,” Rabu (16/07) di Kantor KontraS, Jalan Borobudur, Jakarta. Dalam diskusi tersebut hadir Adriana Elisabeth dari LIPI, Harun Syaifullah mewakili Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, dan Mufti Makarim dari KontraS.
Meski tema diskusi adalah mengupayakan two states solution sebagai langkah perdamaian, namun Adriana Elisabeth justru meragukan efektifitas dari langkah ini. Ia melihat bahwa secara teknis pemenuhan two state solution cukup rumit. Pertama, model yang diterapkan akan seperti apa, negara mana yang akan menjadi representatif. Selain itu, ketergantungan Palestina terhadap Israel juga masih begitu tinggi, dengan begitu solusi dua negara akan menjadi sulit. Mufti Makarim berpandangan serupa, bahwa langkah ini menjadi sulit ketika kedua belah pihak memiliki point of view yang berbeda mengenai Hammas. Bagi Israel Hammas adalah persoalan, sementara bagi Palestina kelompok ini merupakan solusi. Selain itu, pertikaian dua negara ini juga telah dibubuhi berbagai kepentingan dari negara-negara pendukung masing-masing. Kita bisa melihat sendiri bahwa konflik antara Israel dan Palestina kerap menjadi arena perebutan kepentingan oleh negara-negara pendukung kedua belah pihak. Karena itu persoalan yang melingkupi konflik ini semakin melebar dan tidak sederhana. Jika persoalannya hanya menyangkut Israel dan Palestina, tanpa berkelindan dengan kepentingan negara-negara lain, maka solusi dua negara mungkin saja dilakukan.
Lalu bagaimana peran Indonesia dalam menyikapi konflik dua bangsa yang kian memburuk ini? Harun Syaifullah menegaskan bahwa negara tetap pada sikapnya dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Ini artinya Indonesia telah memilih posisi di pihak Palestina. Tetapi jika demikian, akan sulit bagi Indonesia untuk menjadi mediator yang bisa mendorong perdamaian bagi Israel-Palestina. Dalam pandangan Adriana, negara yang menjadi mediator harus menempatkan diri dalam posisi netral. Selain itu, mediator juga harus merupakan negara yang dihormati oleh kedua belah pihak. Sementara ini Indonesia bahkan enggan membuka jalur diplomatik dengan Israel, karenanya agak sulit untuk mendapat simpati dari negara ini. Bagi Adriana, fungsi mediator adalah mendengarkan aspirasi dari kedua belah pihak sehingga bisa memetakan persoalan dengan lebih objektif, dan ini sulit dipenuhi oleh sebuah negara yang telah menentukan keberpihakannya.
Sementara itu, Mufti Makarim menekankan pentingnya gerakan masyarakat sipil untuk mendorong perdamaian Israel-Palestina. Pengalaman advokasi berbagai NGO dari negara-negara ASEAN dalam meredam konflik di Myanmar telah membuktikan betapa kuatnya pengaruh gerakan masyarakat sipil. Ia juga mengingatkan bahwa gerakan ini harus berpijak pada semangat yang sama, yakni solidaritas kemanusiaan. Selama ini menyebar persepsi bias di masyarakat terkait konflik Palestina-Israel. Dalam konteks Indonesia, konflik ini kerap dipahami masyarakat sebagai pertarungan agama, yakni antara Islam dan Yahudi. Karena itu semangat yang ditonjolkan dalam menyikapinya berupa solidaritas Islam. Persepsi seperti itu cukup berbahaya dalam pandangan Mufti. Karena dengan begitu, persoalan sesungguhnya, yakni tragedi kemanusiaan, digiring kepada sentimen keagamaan yang besar kemungkinannya malah memperkeruh konflik. Untuk itu, perlu ada upaya penyadaran persepsi terhadap masyarakat, bahwa konflik ini bukanlah konflik agama, melainkan persoalan perbedaan pandangan masing-masing bangsa dalam memahami batasan teritorial serta isu kedaulatan. Mufti juga menyayangkan betapa persepsi bias seperti itu sangat mudah terserap oleh masyarakat Indonesia. Sebab, pentingnya gerakan masyarakat sipil yang diharapkan mampu mendorong negara untuk berperan sebagai peace maker, akan terhambat oleh kesalahan persepsi ini. Manakala sentimen keagamaan masih saja menguat, maka negara berada dalam posisi sulit untuk menentukan langkah tanpa mengabaikan suara masyarakat tentang isu solidaritas Islam.
Maka untuk perdamaian Israel-Palestina, Mufti menekankan pentingnya kontribusi dari tiga unsur masyarakat, yakni: media, kelompok masyarakat yang bekerja di ruang lingkup kemanusiaan, dan organisasi-organisasi keagamaan. Mufti menekankan bahwa peran media sangat dibutuhkan dalam mendorong perdamaian untuk dua bangsa yang tengah bertikai ini. Melalui berbagai informasi yang berimbang dan lebih mengedepankan jurnalisme damai, media mampu mengedukasi masyarakat untuk menyikapinya dalam bentuk solidaritas kemanusiaan. Dengan begitu, tidak mustahil akan lahir gerakan masyarakat sipil yang mampu mengupayakan perdamaian dalam konflik berkepanjangan ini. Selain itu, Mufti juga menekankan pentingnya organisasi keagamaan untuk menyuarakan solidaritas kemanusiaan, demi mengkonter suara dari kalangan konservatif yang ingin menggiring konflik Israel-Palestina sebagai bentuk perselisihan antar-agama. [Evi/SEJUK]