Oleh: Nurdin Hasan*
Kho Khie Siong, Ketua Komunitas Hakka Aceh, menyebutkan bahwa toleransi antarumat beragama terjalin sangat baik di Aceh. Interaksi sosial juga cukup baik terbina antara orang Islam dan non-muslim. “Kami sangat menghormati pelaksanaan syariat Islam di Aceh,” katanya.
Saat ditanya tanggapannya soal pasal dalam Qanun Acara Jinayat yang dapat menjerat non-muslim, Kho menyatakan tak bisa berkomentar banyak, karena belum mempelajari secara detil ketentuan tersebut.
“Tetapi, ini terkesan agak aneh karena yang saya tahu syariat Islam di Aceh hanya berlaku untuk Muslim saja. Jadi kenapa harus diberlakukan juga untuk non-Muslim,” ujarnya.
Pernyataan senada juga diutarakan Baron Ferryson Pandiangan, Pembimbing Masyarakat Katolik di Kementerian Agama Provinsi Aceh. Menurut dia, umat Katolik yang berjumlah 5.300 lebih di Aceh sangat menghormati pelaksanaan syariat Islam karena ini bentuk kearifan lokal dan kekhususan Aceh.
“Toleransi orang Aceh terhadap warga non-muslim sangat tinggi. Saya pribadi merasa lebih menjadi Katolik sejati sejak bertugas di Aceh. Saya merasa lebih taat,” kata Baron, yang telah tiga tahun lebih menetap di Banda Aceh.
Soal menjerat warga non-muslim bila melakukan pelanggaran bersama orang Islam, Baron menyatakan, Pemerintah Aceh belum pernah mensosialisasikan masalah tersebut kepada umat Katolik. “Patut dipertanyakan juga apa motif di balik masuknya pasal itu karena syariat Islam hanya untuk muslim,” katanya.
Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad menyatakan kekhawatirannya saat pasal kontroversial itu diimplementasikan, karena bisa jadi polisi syariah bakal bertindak di luar kewenangan seperti diatur dalam Qanun Hukum Acara Jinayat.
“Ini bentuk diskriminasi terhadap warga non-muslim oleh DPRA karena tetap memaksakan pasal itu masuk dalam qanun,” katanya. “Siapa bisa jamin kalau WH tak akan bertindak di luar batas kewenangan mereka, seperti yang sering terjadi selama ini ketika pasal itu dilaksanakan.”
Sementara itu, Saifuddin Bantasyam, pengamat hukum dari Universitas Syiah Kuala, memastikan bahwa pasal kontroversial itu tak bisa diimplementasikan karena tak ada hukum materil. Empat qanun yang jadi dasar hukum materil pelaksanaan syariat Islam di Aceh berlaku bagi muslim.
“Ketika hukum acara menambah klausul yang juga berlaku bagi non-muslim, dasar hukum penuntutan apa? Jadi, Qanun Hukum Acara Jinayat tak dapat dilaksanakan untuk non-muslim,” katanya.
Saifuddin menambahkan satu aturan hukum tidak boleh dibuat kalau tak bisa dilaksanakan. Non-muslim di Aceh bisa dijerat dengan aturan hukum pidana Indonesia kalau melanggar syariat bersama muslim. “Bisa saja non-Muslim dijerat pasal mengganggu ketertiban umum. Bukan memasukkan pasal diadili di Mahkamah Syar’iyah karena tak dapat dilaksanakan,” ujarnya.
Saifuddin yang merupakan seorang dosen Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala, menyatakan pernah terjadi tahun 2006, tiga orang Kristen dan seorang Islam terlibat perjudian hendak diadili di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
“Di persidangan, hakim bertanya pada tiga orang Kristen itu apakah mereka tahu fungsi Mahkamah Syar’iyah. Mereka menjawab tidak tahu. Lalu, hakim menjelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah hanya mengadili orang Islam,” tutur Saifuddin.
Kemudian hakim bertanya kepada mereka apakah mau masuk Islam sehingga bisa diproses di Mahkamah Syar’iyah. Hakim juga menjelaskan syarat-syarat bagi seseorang pindah agama. Tetapi, ketiganya sepakat tidak mau pindah ke agama Islam. “Akhirnya, hakim memutuskan Mahkamah Syar’iyah tak punya kompetensi dan tak berwenang mengadili perkara itu,” katanya.
Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Jamil Ibrahim, sependapat dengan Saifuddin. Menurut Jamil, non-muslim yang melakukan pelanggaran bersama Muslim tak dapat diproses dengan qanun syariat Islam karena empat hukum materil yang ada hanya berlaku untuk orang Islam.
“Tetapi, non-muslim di Aceh boleh menundukkan diri diproses di Mahkamah Syar’iyah jika melakukan pelanggaran bersama muslim. Caranya dia memilih apakah diadili di Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Negeri atas kesadaran sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun,” katanya.
Ditambahkan, masuknya pasal kontroversial yang tetap mengadili warga non-Muslim kalau tak ada aturan hukum pidana Indonesia akan membingungkan hakim Mahkamah Syar’iyah karena tidak dapat dilaksanakan. “Mungkin nanti akan dibuatkan qanun khusus yang mengatur masalah itu,” ujarnya.
Sondang Marbun, Pembimbing Masyarakat Kristen pada Kantor Departemen Agama Aceh, menyatakan pasal kontroversial itu dalam Qanun Hukum Acara Jinayat tidak begitu berpengaruh, karena yang terpenting adalah setiap umat beragama jangan melanggar aturan, sehingga tak perlu diproses hukum.
Sebagai bentuk penghormatan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, perempuan yang telah 35 menetap di Aceh memilih tampil mengenakan jilbab saat berada di luar rumah. Anak-anak perempuannya dan perempuan Kristen dianjurkan memakai jilbab, tapi tidak ada paksaan dan mereka bebas berpakaian asalkan sopan.
“Saya selalu pesan pada umat Kristen untuk menyesuaikan diri karena Aceh memberlakukan syariat Islam. Saya dan anak-anak selalu memakai jilbab bila keluar rumah. Begitu juga sebagian perempuan Kristen lain. Mereka nyaman saja meski tak ada kewajiban harus pakai jilbab,” katanya.
Tulisan sebelumnya:
Syariat untuk Non-Muslim [1]
Syariat untuk Non-Muslim [2]
* Penulis adalah jurnalis untuk www.acehkita.com dan merupakan salah satu peraih Fellowship Liputan Keberagaman SEJUK tahun 2014 kategori online. Tulisan di atas merupakan karya yang dihasilkan penulis untuk fellowship SEJUK.