Oleh Dian Lestari*
Enam non-governmental organisation (NGO) menginisiasi perdamaian dan rekonsiliasi di Kalbar. Melalui pendekatan edukatif, siswa di 38 SMP dan MTs, serta 25 SMA di Kalbar, diberikan pemahaman melalui Pendidikan Multikultur agar toleran terhadap perbedaan.
Enam organsasi yang tergabung dalam Aliansi Rekonsiliasi untuk Perdamaian (ANPRI) itu adalah Institut Dayakologi (berbasis etnis Dayak), Gemawan (berbasis etnis Melayu), dan Sekretariat Segerak Pancur Kasih (berbasis multi etnis).
Lembaga lainnya Mitra Sekolah Masyarakat atau MiSEM (berbasis etnis Madura), badan koordinasi credit union (BKCU) Kalimantan, dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan (PEK) Pancur Kasih (berbasis multi etnis).
Direktur Institut Dayakologi, John Bamba, menjelaskan selain 38 SMP/MTs dan 25 SMA, di tingkat perguruan tinggi, ada Sekolah Tinggi Pastoral Santo Agustinus Pontianak, yang juga aktif mengajarkan multikultur.
Ia menjelaskan lembaga-lembaga pendidikan tersebut aktif mengajarkan pendidikan multikultur melalui muatan lokal (mulok). Siswa diajarkan mengenal dan menghargai perbedaan buaya di Kalbar.
Di antaranya, Melayu, Dayak, Madura, dan Tionghoa. “Anak-anak diajari bahwa persahabatan bisa tumbuh dalam perbedaan, bukan dijadikan konflik,” kata John kepada Tribun, belum lama ini.
Ia menjelaskan potensi konflik dalam masyarakat dapat diidentifikasi melalui simbol-simbol budaya seperti istilah, peribahasa, mitos, benda budaya, stereotipe, dan konsep budaya tertentu. Pembiaran terhadap sterotipe, memicu kekerasan.
Pendidikan multikultur ini menurutnya menjadi signifikan karena berulang kali konflik antaretnis dalam skala besar terjadi di Kalbar. Sejak 1950 hingga 1999, misalnya tercatat 11 kali konflik antaretnis di Kalbar.
Renteten peristiwa tersebut telah merenggut nyawa, harta benda, bahkan terusir dari tanah kelahiran. John melihat kekerasan menjadi semacam budaya dalam keseharian. “Maka, budaya kekerasan juga harus dilawan dengan budaya, yakni budaya antikekerasan. Ada banyak wadah untuk menanamkan budaya damai, antara lain media massa dan lembaga pendidikan. Pendidikan formal merupakan wadah yang sangat baik untuk menanamkan budaya antikekerasan,” paparnya.
Strategi Mulok
John menjelaskan, upaya menginisiasi perdamaian ini sudah dilakukan Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara (YPPN) sejak 2004. Pada 2006, ANPRI melakukan intervensi untuk membangun budaya antikekerasan, menyokong perdamaian, melalui pendidikan multikulturalisme pada siswa Kelas VII, VIII, dan IX di 38 SMP dan MTs.
Koordinator Program Peace Building Institut Dayakologi, Julianto Makmur, mengatakan sekolah-sekolah yang menjadi tempat pelaksanaan pendidikan multikutur, berada di daerah yang pernah berkonflik dan rawan konflik.
Siswa dan para guru merupakan representasi warga dari empat suku di Kalimantan Barat yang memiliki catatan sejarah berkonflik, yaitu Dayak, Melayu, Madura, dan Tionghoa. “Awalnya dulu kita terapkan di 7 SMP. Kemudian berkembang jadi 14 sekolah, lalu sekarang 38 sekolah,” kata Julianto, kemarin.
Kenapa menyasar SMP sederajat? Ia menjelaskan secara psikologis pelajar SMP adalah usia untuk mulai membentuk jati diri. Jika yang ditanamkan adalah budaya damai, menghormati, dan menghargai perbedaan, maka terbentuk manusia cinta damai, antikekerasan dalam pikiran, ucapan, dan tindakan. “Kita menyasar pelajar SMP karena pada usia segitu biasanya mereka mulai berkelompok, nge-gank,” ujar Julianto.
Selain itu, esensi mulok adalah kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah. Termasuk keunggulan daerah. Sekolah dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran mulok setiap semester atau dua pelajaran setahun.
“Mulok bukan pelajaran wajib. Tergantung kebijakan sekolah. Meskipun tak wajib, kita melihat para guru antusias menerapkannya. Bahkan di Sompak, Landak, mereka bilang lebih tepat belajar multikultur dibanding mulok pertanian. Sebab anak-anak di sana justru banyak belajar pertanian secara otodidak dari orangtua dan alam,” ujar Julianto.
Pemilihan sekolah-sekolah yang menjadi tempat implementasi pendidikan multikutur, berdasarkan pertimbangan daerah yang pernah berkonflik atau rawan konflik. “Siswa dan para guru merupakan representasi warga dari empat suku di Kalbar yang memiliki catatan sejarah berkonflik, Dayak, Melayu, Madura, dan Tionghoa,” papar Julianto.
Jika ANPRI membina 38 SMP dan MTs, maka YPPN membina sekitar 25 SMA. Sekolah yang dibina mencakup Bengkayang, Sambas, Landak, Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, dan Kota Singkawang. “Selain membuat buku multikultur, kita juga melakukan kunjungan budaya, kemah remaja, jambore, pentas seni dan budaya,” kata Direktur YPPN, Magdalena.
Menurutnya konstruksi pendidikan multikultur Kalbar yang dibuat YPPN didapat dari riset bertahun-tahun. Tujuan dari pendidikan multikultur tingkat SMA adalah untuk mengenalkan budaya asli Indonesia.
Dalam pelaksanaannya tidak bercerita tentang konflik, melainkan belajar hidup bersama dalam perbedaan. Ia mengaku punya pengalaman mengharukan pada 2007 silam. Saat itu, dua siswi SMA berbeda etnis, mengikuti kemah remaja sebagai bagian pendidikan multikultur.
Penyusunan Buku
Kedua siswi itu semula menolak jadi rekan satu ruangan. “Alasan masing-masing katanya takut. Dengar dari orangtua masing-masing, katanya kalau orang suku Madura seperti ini, kalau orang Dayak seperti itulah,” kenangnya.
Usai diberi pemahaman dan menjalani kegiatan tiga hari, menurut Magdalena, dua siswi tersebut malah berteman akrab. Mereka bahkan mengaku sangat sedih harus berpisah saat kegiatan berakhir. “Persahabatan yang tumbuh, ternyata mampu menghilangkan stereotipe dalam pemikiran masing-masing,” imbuh Magdalena.
Sebelum penerapan mulok pendidikan multikultur, Julianto, menambahkan para guru dan kepala sekolah mengikuti workshop lebih dulu. Pendidikan multikultur berpedomankan buku ajar, yang disusun perwakilan kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum, dan guru mulok utusan dari SMP/MTs di Kalbar.
Proses pengajaran mulok pendidikan multikultur sudah melalui diskusi-diskusi kritis yang menyimpulkan bahwa pentingnya pendidikan multikultur bagi masyarakat Kalbar yang rawan konflik kekerasan.
Dari diskusi kritis, kemudian seminar tentang mata pelajaran mulok pendidikan multikultur dalam konteks Kalbar. Selanjutnya, baru disusun buku paket mulok pendidikan multikultur, uji coba silabus dan buku paket mulok di 7 SMP/MTs selama satu semester (semester ganjil tahun ajaran 2007/2008).
Tak berhenti sampai di sana, workshop evaluasi uji coba silabus dan buku paket mulok pun digelar. Buku ajar Pendidikan Multikultu selesai cetak pada 2011, sesuai ketentuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, dan diberi rekomendasi oleh Kepala Dinas Pendidikan Kalbar.
Buku ajar pendidikan multikultur disusun dalam kurun waktu 2007/2008, 2008/2009, dan 2009/2010. “Pada Mei 2012 kita mengadakan workshop di SMPN 1 Menjalin. Kepala sekolahnya adalah koordinator Subrayon IV yang mengepalai 24 sekolah. Beliau menyarankan semua sekolah di Subrayon agar menerapkan Pendidikan Multikultur. Makanya sekarang dari semula 7, lalu bertambah 14, lalu bertambah jadi 38 sekolah,” papar Julianto. (Harian Tribun Pontianak)
*Tulisan ini terbit pada HU Tribun Pontianak pada Selasa, 12 Agustus 2014. Penulis merupakan salah satu peraih Fellowship Liputan Keberagaman SEJUK tahun 2014 kategori media cetak. Tulisan di atas merupakan karya yang dihasilkan penulis untuk fellowship SEJUK