Sembilan tahun jemaat Ahmadiyah tinggal di penampungan Transito. Entah sampai kapan. Mereka harus rela merayakan puasa dan lebaran jauh dari tanah kelahiran. Kerinduan pada kampung halaman pun semakin menjadi.Tapi tidak daya. Sulit bagi mereka keluar dari tembok pengungsian.
***
LombokPOST. GUMPALAN asap mengepul dari tungku Inaq Fahriah, 55 tahun. Di depan tungku, wanita paruh baya ini duduk termangu sambil menjaga nyala api. Beberapa kali mulut keriputnya meniup lubang tungku bila api hendak padam.
Dapur ini sebenarnya merupakan lorong, tapi warga menyekatnya untuk digunakan sebagai dapur. Sempit. Tidak lebih dari 2×3 meter, dengan pembatas bedek dan seng. Di atas tungku ada sempare (rak dapur) untuk menaruh bahan bakar berupa kayu.
Di tempat inilah, nenek dua cucu ini memasak sehari-hari. Meski sudah tua, namun masih cekatan memasak. Ia kerap menjadi koki bagi para pengungsi Ahmadiyah lainnya. Tidak heran, meski hari masih siang, ia sudah sibuk memasak untuk buka puasa.
”Ini dia koki andalan kita di sini,” kata Anwar, pemuda Ahmadiyah di pengungsian itu.
Meski larut dalam kesibukan memasak, sorot mata Inaq Fahriah kosong. Sesekali melempar senyum kecut. Ketika ditanya tentang kampung halaman, sejenak ia diam. Lalu mendengus, mengeluarkan napas panjang.
”Tinggal di sini rasanya tidak enak, tapi mau apa lagi,” katanya pasrah.
Tinggal di pengungsian serba terbatas. Berdesak-desakan di penampungan sangat tidak enak. Tapi ia dan ratusan jemaat Ahmadiyah lainnya harus menerima. Baginya, tinggal di kampung halaman seperti dulu adalah angan-angan yang hanya bisa dipendam. Sebab tidak ada tanda-tanda mereka akan keluar dari pengungsian.
Apalagi saat ini sang suami, Kamarudin, 70 tahun sudah sakit-sakitan. Tidak bisa bekerja. Setiap hari ia harus merawatnya sendiri. Beberapa waktu lalu sempat rawat inap di rumah sakit.
”Dia sudah tidak bisa apa-apa lag.Sakit,” katanya.
Warga asli Selong Lombok Timur ini mengaku sedih bila mengingat suasana kampung halamannya dulu. Sebab sampai saat ini, wanita ini belum pernah melihatnya lagi. Untuk kembali ke sana hampir tidak mungkin. Trauma dengan penyerangan dan pembakaran masih membakas di benaknya. Ia dua kali terusir dari rumah dan tanah sendiri. Dari Selong, Lombok Timur dan Ketapang, Lombok Barat.
”Saya mau sekali pulang, asal kami diterima baik, kami tidak dianaktirikan seperti ini,” ujaranya.
Di pengungsian, Fahriah bergantung hidup dari pemberian anak-anaknya. Mereka sudah bekerja semua saat ini. Satu orang merantau ke Kalimantan.Setiap bulan mengirimkan uang Rp 300 ribu – Rp 400 ribu untuk membeli sembako. Sementara dua lainnya tinggal bersamanya, kini sudah bekerja jadi buruh bangunan dan satu honor di sekolah.
Kepasrahan juga terlihat di wajah Syahdin, Ketua RT 01 Transito ini sudah tidak punya kata-kata lagi untuk disuarakan. Tidak ada yang bisa dilakukan saat ini selain menerima keadaan.
”Kalau kami apa-apa maunya pemerintah sudah,” katanya.
Saat ini jumlah jemaat Ahmadiyah yang tinggal di Transito mencapai 116 jiwa dengan 29 kepala keluarga. 10 orang meninggal dunia dan dua diantaranya sudah berhasil keluar. Mereka yang punya uang cukup bisa keluar dari penampungan, dengan menjual tanah di kampung halaman kini membuka hidup baru di perumahan.
”Mereka beruntung. Tapi kami di sini lebih banyak tidak mampu,” ujar pria berkumis tipis ini.
Berpuasa di pengungsian baginya tentu tidak senyaman di rumah sendiri. Tapi kini mereka sudah membiasakan diri, merayakan puasa dan lebaran di segala keterbatasan. Mereka menempati Transito sejak 4 Februari 2006. Sejak saat itu, mereka tidak pernah kembali ke rumahnya.
”Entahlah sampai kapan, kami serahkan semuanya pada Ilahi, Allah SWT,” katanya. (Sirtupillaili/Mataram)