Rabu, Juli 2, 2025
  • Login
SUBSCRIBE
SEJUK
No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri
No Result
View All Result
SEJUK
No Result
View All Result
Home Agama

Rindu Puasa di Kampung Halaman

by Redaksi
22/06/2015
in Agama
Reading Time: 3min read
Syariat untuk Non-Muslim [1]
Share on FacebookShare on Twitter

Sembilan tahun jemaat Ahmadiyah tinggal di penampungan Transito. Entah sampai kapan. Mereka harus rela merayakan puasa dan lebaran jauh dari tanah kelahiran. Kerinduan pada kampung halaman pun semakin menjadi.Tapi tidak daya. Sulit bagi mereka keluar dari tembok pengungsian.

***

LombokPOST. GUMPALAN asap mengepul dari tungku Inaq Fahriah, 55 tahun. Di depan tungku, wanita paruh baya ini duduk termangu sambil menjaga nyala api. Beberapa kali mulut keriputnya meniup lubang tungku bila api hendak padam.

Dapur ini sebenarnya merupakan lorong, tapi warga menyekatnya untuk digunakan sebagai dapur. Sempit. Tidak lebih dari 2×3 meter, dengan pembatas bedek dan seng. Di atas tungku ada sempare (rak dapur) untuk menaruh bahan bakar berupa kayu.

Di tempat inilah, nenek dua cucu ini memasak sehari-hari. Meski sudah tua, namun masih cekatan memasak. Ia kerap menjadi koki bagi para pengungsi Ahmadiyah lainnya. Tidak heran, meski hari masih siang, ia sudah sibuk memasak untuk buka puasa.

”Ini dia koki andalan kita di sini,” kata Anwar, pemuda Ahmadiyah di pengungsian itu.

Meski larut dalam kesibukan memasak, sorot mata Inaq Fahriah kosong. Sesekali melempar senyum kecut. Ketika ditanya tentang kampung halaman, sejenak ia diam. Lalu mendengus, mengeluarkan napas panjang.

”Tinggal di sini rasanya tidak enak, tapi mau apa lagi,” katanya pasrah.

Tinggal di pengungsian serba terbatas. Berdesak-desakan di penampungan sangat tidak enak. Tapi ia dan ratusan jemaat Ahmadiyah lainnya harus menerima. Baginya, tinggal di kampung halaman seperti dulu adalah angan-angan yang hanya bisa dipendam. Sebab tidak ada tanda-tanda mereka akan keluar dari pengungsian.

Apalagi saat ini sang suami, Kamarudin, 70 tahun sudah sakit-sakitan. Tidak bisa bekerja. Setiap hari ia harus merawatnya sendiri. Beberapa waktu lalu sempat rawat inap di rumah sakit.

”Dia sudah tidak bisa apa-apa lag.Sakit,” katanya.

Warga asli Selong Lombok Timur ini mengaku sedih bila mengingat suasana kampung halamannya dulu. Sebab sampai saat ini, wanita ini belum pernah melihatnya lagi. Untuk kembali ke sana hampir tidak mungkin. Trauma dengan penyerangan dan pembakaran masih membakas di benaknya. Ia dua kali terusir dari rumah dan tanah sendiri. Dari Selong, Lombok Timur dan Ketapang, Lombok Barat.

”Saya mau sekali pulang, asal kami diterima baik, kami tidak dianaktirikan seperti ini,” ujaranya.

Di pengungsian, Fahriah bergantung hidup dari pemberian anak-anaknya. Mereka sudah bekerja semua saat ini. Satu orang merantau ke Kalimantan.Setiap bulan mengirimkan uang Rp 300 ribu – Rp 400 ribu untuk membeli sembako. Sementara dua lainnya tinggal bersamanya, kini sudah bekerja jadi buruh bangunan dan satu honor di sekolah.

Kepasrahan juga terlihat di wajah Syahdin, Ketua RT 01 Transito ini sudah tidak punya kata-kata lagi untuk disuarakan. Tidak ada yang bisa dilakukan saat ini selain menerima keadaan.

”Kalau kami apa-apa maunya pemerintah sudah,” katanya.

Saat ini jumlah jemaat Ahmadiyah yang tinggal di Transito mencapai 116 jiwa dengan 29 kepala keluarga. 10 orang meninggal dunia dan dua diantaranya sudah berhasil keluar. Mereka yang punya uang cukup bisa keluar dari penampungan, dengan menjual tanah di kampung halaman kini membuka hidup baru di perumahan.

”Mereka beruntung. Tapi kami di sini lebih banyak tidak mampu,” ujar pria berkumis tipis ini.

Berpuasa di pengungsian baginya tentu tidak senyaman di rumah sendiri. Tapi kini mereka sudah membiasakan diri, merayakan puasa dan lebaran di segala keterbatasan. Mereka menempati Transito sejak 4 Februari 2006. Sejak saat itu, mereka tidak pernah kembali ke rumahnya.

”Entahlah sampai kapan, kami serahkan semuanya pada Ilahi, Allah SWT,” katanya. (Sirtupillaili/Mataram)

Sumber berita: www.lombokpost.net

Tags: Headline
Previous Post

Pemberitaan Janggal Okezone tentang Permintaan Maaf Menteri Agama

Next Post

Dua tahun berlalu, komunitas Syiah yang terusir paksa masih dalam situasi tak pasti

Redaksi

Redaksi

Journalists Association for Diversity (SEJUK) is an organization formed by journalists, activists, and writers to encourage the creation of society, with the support of the mass media, to respects, protects, and maintains diversity as part of the defense of human rights. SEJUK actively promotes perspectives of pluralism, human rights, gender, and diversity of sexuality to revive peaceful journalism. The aim is to spread issues of diversity in religion/belief, ethnicity, gender, and sexual orientation as well as other minority groups.

Related Posts

Ahmadiyah

Global Peace Foundation Indonesia Gelar Peace! Project: Membangun Harmoni dalam Keberagaman

21/05/2025
Diskriminasi Beragama Kian Mencemaskan, Elemen Masyarakat Sipil Menggelar Konsolidasi Kebebasan Beragama di Provinsi Riau

Diskriminasi Beragama Kian Mencemaskan, Elemen Masyarakat Sipil Menggelar Konsolidasi Kebebasan Beragama di Provinsi Riau

17/11/2024
Masyarakat Adat, Pemimpin Agama, Akademisi, dan Media Bersama Atasi Perubahan Iklim

Masyarakat Adat, Pemimpin Agama, Akademisi, dan Media Bersama Atasi Perubahan Iklim

24/10/2024
Ilustrasi Istimewa

Raja Najasyi: Pemimpin tanpa Hegemoni

09/10/2024
Next Post
Dua tahun berlalu, komunitas Syiah yang terusir paksa masih dalam situasi tak pasti

Dua tahun berlalu, komunitas Syiah yang terusir paksa masih dalam situasi tak pasti

Please login to join discussion

Terpopuler

  • “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    “Mama, Aku Lesbian dan Aku tetap Putrimu”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Gereja Pertama di Indonesia yang Menerima LGBT dengan Terbuka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gereja Ortodoks Rusia di Indonesia: Menjumpa dan Menyapa yang Berbeda dengan Cinta

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dewi Kanti Rela Tak Punya Akta Nikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hotspace Privat Event Jakarta, Bukan Tindak Pidana!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Tentang Kami

Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) didirikan tahun 2008 oleh para jurnalis dari berbagai media mainstream, aktivis hak asasi manusia (HAM), dialog antar-iman dan penulis.

Hubungi Kami

Kontak

Karir

  • Facebook
  • Instagram
  • Twitter
  • TikTok
  • YouTube

Community Guidelines

Kontributor

Pedoman Media Siber

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

No Result
View All Result
  • Isu
    • Agama
    • Disabilitas
    • Gender dan Seksual
    • Etnis
  • Liputan Kolaborasi
    • 2023
    • 2022
    • 2021
    • <2020
  • Panduan Jurnalis
  • Kontributor
  • English
  • Agenda
  • Galeri

© 2020 Serikat Jurnalis untuk Keberagaman

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In