Oleh: Hisyam*
Isu kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat subur di tengah keberagaman yang dimiliki oleh negeri tercinta ini. Mulai dari yang tampaknya cukup sederhana, seperti mengucapkan natal, sampai ke isu-isu yang lebih besar seperti penolakan pendirian rumah ibadah, pembubaran ritual peribadatan sampai persekusi-persekusi yang dialami oleh teman-teman minoritas (meski seharusnya tidak ada istilah ini di dalam negara bangsa). Saudara-saudara kita itu secara terang-terangan telah dirampas kemerdekaannya. Tentu praktik-praktik demikian tidak sesuai dan bertentangan dengan visi negara yang tertera dalam pembukaan UUD 1945.
Pada tahun 2006, kita dibuatkan Peraturan Bersama Mentri (PBM) No. 9 dan No. 8 yang mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan juga Pendirian Rumah Ibadat. Namun naasnya, PBM itu malah lebih banyak menjadi semacam alat untuk melegalkan diskriminasi dan persekusi terhadap yang minoritas. Untuk mengatasi polemik yang ditimbulkan oleh PBM tiga Menteri itu, ada yang mengusulkan untuk ditetapkannya Perpres yang lebih inklusif dan mengakomodir hak-hak umat beragama untuk dapat menjalankan ibadahnya masing-masing. Namuun malangnya, draft Perpres yang sedang diproses ternyata berisi aturan-aturan yang masih tidak inklusif, bahkan lebih sadis menurut Lola dalam konferensi pers pada Jumat kemarin (4/10/2024).
Sesuai judulnya, tulisan ini akan berefleksi atas sejarah kepemimpinan Raja Najasyi. Ingat kisahnya? Tepat, dia adalah raja di Abisinia yang memberikan perlindungan terhadap umat Islam. Pada waktu itu, lebih dari delapan puluh sahabat Nabi Muhammad saw. meminta suaka pada sang raja. Sang raja yang terkenal bijak itu, kemudian memberikan tempat perlinndungan serta memenuhi hak-hak orang-orang yang terpinggirkan itu, yang mendapat penganiayaan di negeri asalnya (termasuk hak keamanan dan kebebasan menjalankan ibadah sesuai keyakinan).
Dalam kisah tersebut setidaknya ada dua gambar besar yang dapat dilihat bersama: Pertama, potret tentang ketidak adilan dan penganiayaan. Kedua, potret tentang kearifan seorang raja. Potret pertama menyajikan gambaran tentang kaum muslim yang minoritas di kampung halamannya, Makkah, mengalami persekusi bahkan boikot selama kurang lebih tiga tahun yang mengakibatkan mereka tidak bisa melakukan aktifitas jual-beli dan tidak dapat memenuhi kebutuhan harian mereka. Kondisi ini mengharuskan mereka mencari tempat perlindunngan. Abisinia menjadi pilihan karena rajanya yang terkenal adil itu. Inilah peristiwa hijrah pertama yang dilakukan oleh umat Islam.
Potret kedua menampilkan kebijaksanaan seorang raja. Kebijaksanaan itu memang benar adanya, sehingga beritanya telah tersebar ke belahan bumi lainnya. Raja itu mengurusi problem kemasyarakatan dengan baik, ia tidak membeda-bedakan rakyatnya. Ia melayani kebutuhan rakyat dan menjaga ketertiban di dalamnya. Hal ini semakin dimantapkan dengan bukti perlindungannya kepada kaum Muslim yang meminta suaka di teritori kekuasaannya. Meskipun ia dan rakyatnya bukan pengikut Muhammad. Ia memberikan perlindungan dan tidak memaksa orang yang dilindungi untuk menjadi pengikut Isa. Ini merupakan salah satu contoh kepemimpinan tanpa hegemoni.
Kisah-kisah pemimpin yang memimpin tanpa hegemoni dapat kita temukan dalam sejarah-sejarah. Kepemimpinan Nabi Muhammad saw. pada saat di Madinah juga dapat menjadi contoh teladan. Melalui sejarah manusia dapat belajar untuk menentukan arah dan mengambil lagkah. Hal ini juga telah menjadi wisdom dalam kehidupan umat manusia. Alkitab, Al-Qur’an dan ajaran-ajaran yang lain juga sering menceritakan kisah masa lampau untuk diambil pelajaran.
Di Indonesia yang sangat beragam ini, kita tentu merindukan seorang pemimpin yang memimpin tanpa hegemoni. Seorang pemimpin yang kebijakan-kebijakannya tidak mendiskriminasi. Aturan-aturan yang diberlakukan melalui UU, Perpres, atau Peraturan Bersama Menteri merupakan aturan-aturan yang memberikan maslahat pada rakyat secara umum, bukan sekelommpok masyarakat atau segelintir orang saja. Tentu hal ini juga telah menjadi nilai universal yang dikenal peradaban mana pun. Namun memang di dalam pelaksanaannya dibutuhkan perjuangan panjang. Berjuang mengendalikan diri, berjuang dari rayuan dan bisikan, dan berjuang dalam mempertahankan nilai-nilai itu sepanjang perjalanan.
Raja Najasyi bukan tokoh fiktif yang memiliki kekutan super sehingga sulit untuk diteladani. Ia manusia, sama seperti kita, di sekelilingnya juga ada pembisik dan penghasut. Dia juga diuji dengan godaan-godaan berupa hadiah-hadiah yang menggiurkan. Ketika memberikan perlindungan kepada kaum muslim, ia dihasut dan dibawakan banyak hadiah oleh Abu Rabi’ah dan Amr bin Al-Ash, yang pada waktu itu sebagai delegasi kaum Quraisy, untuk menyerahkan delapan puluh lebih kaum Muslim yang meminta suaka di negerinya itu. Namun ia tetap memilih untuk melindungi mereka, menjamin keamanan mereka. Tentu sifat dan sikap ini tidak dibentuk satu dua hari. Pasti sikap dan kepribadian itu telah ditempa dan diuji sepanjang perjalanannya.
Dari kisah di atas, kita tahu bahwa semua orang membutuhkan tempat aman. Orang-orang Islam membutuhkan tempat aman untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, termasuk ranngkaian peribadatannya. Begitupun juga saudara-saudara kita dari Penghayat Kepercayaan, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu. Layaknya Raja Najasyi, Negara seharusnya tidak hanya melindungi kelompok-kelompok yang sesuai dengan orang yang sedang berkuasa saja. Maka dari itu, kehadiran negara sangat diperlukan untuk menghormati, melindungi serta memenuhi hak-hak warga negaranya. Inilah amanah yang harus terus diupayakan dan diperjuangkan.
*Penulis merupakan Member YIPC