Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia menahan tiga orang dua malam lalu. Tuduhannya tidak main-main: makar dan penodaan agama. Mereka yang ditahan adalah pimpinan organisasi yang telah bubar, Gafatar: Mahful Muis Tumanurung, Andri Cahya, dan Abdul Salam.
Nama terakhir tidak secara langsung bersinggungan dengan Gafatar. Dia sebelumnya dikenal dengan nama Ahmad Musaddeq, pemimpin al-Qiyadah al-Islamiyah, organisasi yang juga sudah membubarkan diri.
Penahanan ini benar-benar di luar nalar dan berpotensi mengusik bahkan mengancam demokratisasi yang sedang kita bangun. Penahanan ini juga menjadi penanda tentang masih bercokolnya angan-angan otoritarianisme dalam benak segelintir aparatus negara. Suatu romantisme tentang penyeragaman dan pendisiplinan a la Orde Otoriter. Satu-satunya cara untuk menghentikan ilusi otoritarianisme ini adalah membebaskan tiga warga republik itu. Mereka punya hak kemerdekaan yang sama dengan semua warga lainnya.
Indonesia saat ini sudah berada dalam situasi demokratis yang semakin mapan. Survei-survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan tingginya animo publik mendukung demokrasi dan kebebasan sipil. Walaupun publik semakin kritis pada penyelenggara negara, tapi dukungan pada sistem demokrasi tak pernah surut, bahkan semakin meningkat. Situasi ini bahkan juga terjadi di negara-negara lain di kawasan Asia yang belum demokratis (Mujani & Liddle 2015). Demokrasi adalah aspirasi warga dunia.
Betapapun mayoritas warga di negara-negara lain memimpikan demokrasi dan kebebasan sipil, mereka tak semujur Indonesia. Hampir semua negara-negara Asia lain masih berada di bawah rezim diktator, junta militer, kerajaan, semi diktator, dan rezim ketidak-bebasan serupa.
Sementara Indonesia, sejak 1999 sudah mengalami dan berada di dalam demokrasi. Kita sekarang bebas menyuarakan aspirasi apa saja. Semua aspirasi itu dikontestasikan dalam wadah pemilihan-pemilihan umum yang bebas dan semakin bebas di semua level pemerintahan. Warga berhak menghukum pejabat yang tidak bekerja dengan tidak memilihnya kembali. Demikian pula warga juga berhak memberi apresiasi pada pejabat publik yang sukses dengan memilihnya kembali atau bahkan mempromosikannya pada posisi yang lebih tinggi.
Di tengah situasi yang menggembirakan ini, makar bukanlah pilihan. Semua aspirasi bisa disuarakan, untuk apa makar? Satu-satunya kelompok yang secara tegas di banyak forum publik menyuarakan anti-NKRI, Pancasila dan demokrasi adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Jika HTI saja tidak dianggap berbahaya oleh aparat negara, apalagi kelompok yang lebih kecil seperti Gafatar yang aktivitas publiknya adalah pertanian dan perdagangan. Bagaimana sebuah kelompok yang coba menawarkan solusi ekonomi secara mandiri dikatakan makar? Sementara pada saat yang sama, sebuah kelompok yang setiap hari menyatakan anti-negara bangsa dan dasar negara tidak tersentuh hukum sama-sekali?
Alasan penodaan agama juga sama tidak masuk akalnya. Jika betul para pimpinan dan anggota Gafatar menganut paham keagamaan tertentu yang berbeda dari iman orang lain, bagaimana hal itu bisa dikategorikan sebagai penodaan? Bukankah iman adalah masalah yang sangat subjektif?
Tidak ada yang bisa membuktikan kebenaran objektif suatu iman. Jika suatu iman dianggap menodai iman lain yang berbeda, maka semua yang beriman adalah penoda. Karena antara satu iman dan iman lain bisa saling berbeda.
Lantas pertanyaannya, apakah negara akan terus-menerus dibuat dungu dengan mengurusi iman yang berbeda-beda itu?
Kita sedang asyik-asyiknya bernegara. Presiden Joko Widodo sedang getol-getolnya membenahi infrastruktur sebagai fondasi pembangunan untuk mengejar ketertinggalan. Pemerintah juga sedang berusaha memulihkan kepercayaan investor, baik dalam dan luar negeri.
Negara kita berangsur-angsur bangkit dan menjadi salah satu pusat ekonomi dunia. Kota-kota mulai dirapikan, dibikin bersih, dibikin menawan. Desa-desa dibangun. Lalu tiba-tiba muncul berita tiga orang ditahan dengan alasan makar dan menodai agama.
Maka kita semua terbelalak. Ampuuuun, masa lalu.
[Saidiman Ahmad]